Gros Morne Park VII

Kemarin Jum'at tanggal 27 Agustus adalah tepat seminggu, hari ketujuh kami dalam perjalanan, hari yang patut dicatat di dalam buku sejarah. Tentu bukan buku pelajaran sejarah Indonesia yang kebanyakan ngibulnya :-), tetapi buku sejarah warga Indonesia-Kanada di Toronto sebab saya yakin haikul pasti, kamilah keluarga manula Indonesia pertama yang tinggal di Kanada dan mampu mendaki Gros Morne Mountain. Trail nomor 9, gunung Gros Morne ini tercatat sebagai yang terpanjang, 16 km dan tersukar, 3.5 di 'rating diffictulty'-nya dan itu pastilah untuk kawula muda seperti Benny dan Janti. Untuk si Jeha dan nyonyanya angka kesukaran itu top 4 (highest rating) sebab di pendakian terjal berbatuan, Cecilia hampir kejengkang kebelakang saking beratnya ransel yang digendolnya. Berapa tingginya sih gunung tersebut, tanya para pendaki gunung pembaca serial ini. Tidaklah terlalu tinggi sebetulnya, cuma 800 meter pendakian kami tetapi selain jalanannya penuh batu-batu, trims kepada glacier yang sudah mengikis habis daerah ini bilyunan tahun lalu, trail-nya panjang sekhalei. Sedemikian sehingga saya dan partner manula saya alias si bojoku membutuhkan 10 jam lebih, dari mulai start jam 10 pagi sampai kami tiba kembali di tempat parkir mobil jam 8:15 malam. Panjang trail 16 km dan GPS-ku mencatat trip meter 11.5 km alias sekitar 4.5 km kami tempuh sebagai pendakian penurunan karena seperti mungkin Anda ketahui, jarak yang mampu diukur oleh GPS adalah lintasan horisontal, bukan vertikal seperti manjet dan turun. Sekarang saya tahu bahwa kami berdua masih kuat mendaki CN Tower di Toronto, menara tertinggi di dunia yang cuma 550-an meter tingginya. :-)

Inilah yang tertera di buku petunjuk Gros Morne National Park of Canada, yang oleh PBB dipilih sebagai salah satu 'World Heritage Site' saking aduhainya pemandangannya. Gros Morne Mountain Trail (nomor 9): It is very important to be well prepared undertaking this hike - sturdy footwear, extra clothing, food and water, and enquire about weather conditions at a park facility before leaving. Bang Jeha Anda memakai sepatu hiking eks Malioboro, Yogya, alias kaga bermerek rek, bayangkan :-). Sudah gitu, si Benso yang sudah membacanya (saya si telmi ikutan wae) tidak memberitahukan kepada saya 'rating' kesukaran pendakian 3.5. Akibatnya saya dan Cecilia hanya membawa air di satu botol Nalgene, seliter, satu botol air buat bersepeda, paling 300 ml dan satu botol air di eks botol Coca-cola yang 500 ml. Akibat lebih jauhnya, di jam 5 sore kami sudah kehabisan air minum padahal melihat kecepatan rata-rata di GPS dan jarak yang masih perlu ditempuh, saya tahu bahwa baru jam 8 kami akan tiba. Untunglah sekitar 200 meter sebelum parking lot, si Benso menjemput kami membawakan air sehingga akhirnya kami mampu untuk sampai di mobil berjalan dengan kaki sendiri, tidak ditandu :-).

The view from the top is renowned, as is the exhausting climb up the gully. The top of Gros Morne Mountain is a sensitive tundra environment, and home to special species such as rock ptarmigan and Arctic Hare. Demikian bunyi tulisan selanjutnya di sang buku petunjuk. Meskipun pemandangannya memang aduhai, tidak heran banyak iklan TV seperti iklan Coca-cola menampilkan pemandangan dari atas puncak gunung Gros Morne, nasihat saya kepada rekan kami para manula, nonton atau lihat keindahannya dari TV azha dah :-). Dibayar 1000 dollar juga sahaya ogah balik lagi sebab di akhir trail, sambil melihat curamnya turunan yang harus kami tempuh dan kagum akan Oom Han yang sudah memberikan kami kaki yang kuat untuk mendaki sebelumnya, kaki kananku mulai ngadat ototnya untuk dipakai turun. Soalnya, ketika mendaki, saya sempat membayangkan pendakian tersebut mah belum apa-apanya dibandingkan dengan si Sysiphus di dalam dongengan legenda Yunani, dimana setelah ia berhasil mendaki dengan membawa batu, ia harus menggulirkan batu ke bawah, turun dan mendaki lagi memanggul batu, demikian seterusnya. Ya, ingatlah teori psikologi 'downward social comparison' di dalam setiap kesusahan :-). Tidak ada dongengan atau legenda yang dapat kupakai di trail penurunan sehingga itulah, kakiku dan juga si nyonya, amblas rek :-).

Karena kami selesai jauh melewati jadwal makan malam, maka 'dinner' hari itu dinikmati perut kami di suatu restoran di kota terdekat dengan campground Berry Hill, yakni Rocky Harbour. Cukup enak sajian hamburger maupun 'fish and chip' di resto Fisherman's Landing itu. Sangatlah enak setelah mengalami masa-masa lapar dan haus sepanjang perjalanan :-). Tidak heran kalau sementara anak Indo di Toronto menjuduli kami berenam, termasuk kedua anak si Benso (yang relatif kuat banget apalagi puteri bungsunya Clarisa) sebagai sintingers :-). Sekian dulu dongengan untuk Jum'at 27 Agustus, hari bersejarah bagi kami semua. Sampai kisah selanjutnya, bai bai lam lekom.

Home Next Previous