Anda masih ingat tayangan 'Crossing the Abyss of Fear' yang kutulis belum lama ini? Itu adalah intisari dari buku di atas, sama seperti kata Bung Karno, kalau ke lima sila Pancasila diperas, ia akan menjadi gotong-royong. 'Crossing the Abyss of Fear' merupakan pemerasan ke lima bab buku di atas. Bila Anda tinggal di kotaku yang diberi nama bagus Toruntung oleh Bu Wuri, sejak hari Senin lalu Anda dapat mendengar lewat Radio CBC, RRI-nya Kanada, ceramah Jean Vanier atau tepatnya pembacaan buku 'Becoming Human' setiap malam selama satu jam. Berkat gerak cepat dan dibantu oleh mpoknye aye, mungkin Bang Jeha adalah orang Indo pertama yang memiliki buku hesbats itu. Soalnya, baru beberapa hari lalu sang buku diterbitkan. Setelah menelepon ke segala macam toko buku di kota ini, toko buku biasa maupun toko buku rohani, hanya satu yang sudah memilikinya yakni toko buku Amrik bernama Chapters :-). Karena orang Amrik sudah kaya raya, setiap hari jutaan $ dibuang ke Teluk Persia dan sekitarnya, membiayai "siskamling" terhadap Saddam Husein, maka toko buku itu yang terakhir kutelepon :-). Pada saat Cecilia tiba di Chapters, meski buku itu sudah "kelihatan" di komputer, secara fisik belum ada dan harus dicari di gudang bagian penerimaan.
Setelah mendengarkan ceramah ataupun membaca bukunya, tidak heran bahwa Jean, oleh sementara orang dijuluki Mahatma Gandhi-nya Kanada. Memang ia seorang humanis dan daya pemikiran maupun kepeduliannya melampaui segala macam batas geografis, ras, agama, dan segala atribut lainnya yang dipakai manusia untuk saling membedakan diri. Bila Anda belum mengenalnya, Jean berumur 70 tahun, pendiri komunitas l'Arche (bahasa Perancis: bahtera) yang sudah terdiri dari 100 lebih komunitas di 30 negara termasuk di di Afrika. Tujuan l'Arche adalah memberikan perasaan berkelompok dan harga diri kepada para penderita 'tuna-pikir', istilah yang lebih kasar cacat mental atau 'intellectually disabled'. Pada tahun 1964, setelah bertahun-tahun belajar dan mengajar filsafat, Jean membeli sebuah rumah di desa Trosly-Breuil di Perancis. Seperti juga karya Mother Teresa yang dimulai dari sekelompok anak-anak, Jean memulai karyanya dengan mengundang 2 penderita tuna-pikir tinggal di rumah itu. Tidak salah lagi memang bahwa Jean lebih bermodal dari Mother Teresa yang kata anak Betawi, modal dengkul doang :-), karuan ia adalah anaknya Georges Vanier yang pernah menjadi gubernur jendral di Kanada. Jabatan itu adalah jabatan kehormatan yang kira-kira mewakili ratu Inggris di Kanada.
Bab pertama bukunya berjudul 'Loneliness' dimana selama satu jam atau 30 halaman Jean berdongeng :-) tentang cem-macem kesepian. Tentu banyak ia dasari tulisannya dari pengalaman hidupnya di l'Arche yang diberinya nama demikian guna mengingatkan kita ke bahtera nabi Nuh. Sedikit dapat kuselami apa yang disyerkan Jean di bab itu, yakni karena sesekali saya ikut menemani Cecilia mengunjungi sahabatnya di panti jompo. Kalau Anda merasa kesepian, tunggulah sampai Anda harus masuk atau dimasukkan ke rumah jompo. Disitulah Anda dapat atau boleh berkata, "Aduuuh sepinya." Di bab ini Jean menulis demikian. 'Many people engulfed in chaos today were conceived and born in chaos; they have known little else but abuse and hate. Since they have never received love, they remain unable to give love. As they were engulfed in chaos at an early age so now they can only transmit chaos. Love, like fear and hate, is communicated from generation to generation.' Pikiran saya langsung meloncat ke tanah Palestina dimana jinnya wan Nawi anak Pengkuper yang lebih hesbats dari jin di pilem 'The Seventh Voyage of Sindbad' geleng-geleng kepala ketika diminta mendamaikan orang Arab dan Israel disana. Tidak heran kedua anak bangsa itu terus saling hantam-menghantam, benci-membenci, bunuh-membunuh, karena mereka lahir dan tumbuh di tengah-tengah 'chaos'. Lalu saya teringat juga kepada seorang sohibku mantan warga P-Net ini yang sudah memutuskan dan berhasil mengikuti jejakku menjadi imigran di luar batang, karena tidak mau anak-anaknya dibesarkan di dalam lingkungan yang 'chaotic' di tanah air.
"Yaaach Mas, gimana nasib kami-kami ini yang tidak mampu mengikuti jejak sohib ente," demikian mungkin komentar satu dua dari Anda. Jangan kwatir, wong saya pun baru mulai merenungkan bab pertama, sebab masih ada empat bab lainnya di buku ini yang dapat memberikan pencerahan kepada kita semua, bagaimana caranya "menjadi manusia" dimanapun kita berada. Satu lagi yang ditulis Jean di bab awal ini yang dikatakannya sebagai suatu paradoks, akan saya ketengahkan sebagai akhir tayangan ini. 'As humans, we crave belonging, we need the connectedness to others that brings security, but this connectedness can prevent the natural movement and evolution that we need in our lives. It can also get in the way of creativity and stifle the natural loneliness that pushes us to discover something new, that pushes us closer to God. This loneliness is the loneliness of the individual who steps out from the group, who takes a chance on what can be discovered and done outside the norm. So here is the paradox: As humans we are caught between competing drives, the drive to belong, to fit in and be part of something bigger than ourselves, and the drive to let our deepest selves rise up, to walk alone, to refuse the accepted and the comfortable, and this can mean, at least for a time, the acceptance of anguish. It is in the group that we discover what we have in common. It is as individuals that we discover a personal relationship with God. We must find a way to balance our two opposing impulses.'
Bila suatu ketika, pasutri dijadikan santo-santa oleh Gereja Katolik, saya berani bertaruh ambil-ambilan kanuku yang masih baru :-), keduanya adalah Georges dan Pauline Vanier, bokap dan nyokapnya Jean. Saya tidak main-main sebab belum lama ini, koresponden HNN (Hilwan Network News) dari Roma melaporkan bahwa 'The Sacred Congregation of Causes of Saint' sudah mulai "melirik" pasutri Vanier itu. Konon, satu kendala yang mereka hadapi, ada suatu aturan bahwa penobatan santo atau santa, adalah individualis alias sendiri-sendiri dan tidak pernah sepasang manusia. Madame Pauline juga berkarya di l'Arche bersama puteranya sehingga beliau ikut dianugerahi bintang buatan manusia 'The Order of Canada' bersama Jean. Nah, tidak heran jadinya kan, dibesarkan oleh calon santo-santa seperti apa jadinya satu manusia bernama Jean Vanier ini ya.
Bab kedua buku di atas membahas mengenai 'Belonging'. Pasti istilah itu sudah Anda pahami, dan salah satu kebutuhan manusia sebagai mahluk sosial memang adalah 'to belong', menjadi anggota kelompok atau komunitas. Yang menarik bagiku adalah dongeng Jean di bab ini mengenai konflik antara manusia. Secara cukup jelas ia uraikan sebab-musababnya. Ideologi menurut Jean adalah salah satu yang menjadi "penyakit". Ia menulis demikian: 'An ideology is a set of ideas translated into a set of values. Because they are held to be absolutely true, these ideas and values need to be imposed on others if they are not readily accepted. A political system like 'Orde Baru' (bohong, ini tambahanku :-)), a school of psychology, and a philosophy of economics can all be ideologies. Religious sub-groups, sects, are based upon ideological principles. Religions themselves can become ideologies. And ideologies, by their nature are not open to new ideas or even to debate; they refuse to accept or listen to anyone else's reality. They refuse to admit any possibility of error or even criticism of their system; they are closed up in their set of ideas, theories, and values'. Kulihat banyak di antara Anda yang manggut-manggut dengan kekecualian Bu Wuri :-). Meski 1 Januari 2000 masih sekitar setahun lagi, penanggalan komputer doi ude nyungsep, kata anak Betawi :-), jadi ia sedang senteres dan gampang moring-moring :-).
Itulah yang menurut Jean, sumber segala macam konflik di dunia, bahwa aku benar kau salah, kelompokku diberkati Tuhan kelompokmu dirasuki iblis. Anda boleh berteori dan berideologi macam-macam, tetapi bagiku, kalau Anda belum mengalaminya, Anda tidak atau kurang bonafide. Anda boleh benci kepada orang homo atau lesbian, kepada kelompok pro-aborsi, tetapi selama Anda belum pernah bergaul dengan mereka, pendapat Anda adalah ideologi belaka. Itu juga sebabnya, Jean oke-oke saja bergaul dengan kelompok manusia yang disisihkan seperti kelompok sect, terlebih kaum tuna-pikir. Ia mengemukakan contoh kegilaan seperti di Aljazair, Rwanda, Bosnia, Israel dan Palestina (ia belum tahu Indonesia), dimana manusia diperlakukan sekeji-kejinya hanya karena kepercayaan dan karena mereka lemah atau dapat dimangsa.
Jean mengemukakan tentang 'closed group', komunitas yang tertutup yang hanya berfungsi sebagai suatu kelab, untuk saling umpak-mengumpak, penonjolan status, pengesahan kekuasaan, yang pada akhirnya akan amblas bila tidak membuka dirinya. Katanya, 'Under such system, individuals are encouraged not to think too much for themselves. Such systems encourage total obedience, cohesion and efficiency; they are geared to obtaining, harnessing and maintaining power in order to fulfill the mission. Such groups, which have become a kind of basic unit in our society, insist more on belonging, cohesion, and the unity of the group than on the growth of individual members to inner freedom or service to others. Those who leave are seen as unfaithful, those who question authority, as rebels.
Sepertinya Jean tahu sekali akan keadaan suatu komunitas di Toruntung ini yang persis seperti itu. Mereka yang sedang berkuasa dan menjadi pemimpin bertindak sedemikian agar kekuasaan tetap langgeng, konon demi persatuan. Suara-suara yang berlainan dan tidak sesuai dengan "misi sang pemimpin" tidak laku, masuk tong sampah. Kasarnya, enyahlah dikau dan kami tidak membutuhkan kaum penghianat atau pemberontak. Tidak salah lagi, itulah yang dikatakan Jean, bila agama sudah menjadi ideologi dan bukan lagi panutan hidup sesuai dengan suara hati.
Beberapa hari yang lalu, saya membaca woro-woro KWI sehubungan dengan tragedi atau tepatnya pembunuhan Semanggi. Perlu beberapa puluh tahun rupanya untuk "wali-wali gereja" berani bersuara dan tidak bungkam karena ketakutan. Di bab ini Jean menyitir Donald Nicholl, pakar sejarah dan teolog ekumenis yang di dalam bukunya 'The Beatitude of Truth' menulis bahwa gereja Katolik dan Protestan di masa Nazi Jerman tidak mampu untuk bangkit membela kaum Yahudi yang disiksa Hitler meski mereka tahu apa yang sedang terjadi, meski mereka sadar akan kejahatan itu. Ini yang dikatakan Jean bahwa gereja-gereja itu menjadi tertutup dan buta akan prinsip lebih besar yang seharusnya mereka yakini.
Bila Anda pernah membaca serial Pengalaman Anak Betawi-ku di P-Net, Anda tentu masih ingat bahwa saya bergaul dengan segala macam suku ketika saya masih kecil di Betawi. Saya mempunyai pengalaman-pengalaman yang menyenangkan. Hal ini memudahkan saya untuk mencintai manusia lain di luar kesukuan atau rasku. Sungguh berlainan dengan sementara kelompok atau agama, yang hanya oke bila Anda menganut ideologi atau agama yang sama. Itulah sebabnya, dimanapun Anda berada, tidak mungkin Anda menutup diri dari pergaulan sosial, to belong to others, bila Anda tidak mau diri Anda meluncur di dalam perjalanan menuju "jurang maut", bila agama yang Anda anut bukan menjadi sumber yang menyegarkan hati-nurani Anda. "Apa itu nurani, aku tahunya Nuraini," kata Kang Heru TAMU yang sekarang konon sudah menjadi dosen tetapi tetap tak laku-laku alias masih bujangan :-).
Memang tidak mudah hidup sesuai dengan hati-nurani atau 'conscience', tidak mudah untuk hidup di dalam yang namanya 'healthy belonging'. Itu sebabnya 34 halaman ditulis Jean di bab kedua ini untuk menerangkannya secara panjang lebar agar kita dapat waspada akan 'belonging' yang menjerumuskan sehingga kita dapat tumbuh "menjadi manusia". Katanya lagi, 'In healthy belonging, we have respect for one another. We work together, cooperate in a healthy way, listen to each other. We learn to resolve the conflicts that arise when one person seeks to dominate another. In a true state of belonging, those who have less conventional knowledge, who are seemingly powerless, who have different capacities, are respected and listened to. In such a place of belonging, if it is a good place, power is not imposed from on high, but all members seek to work together as a body. The implication is that we see each other as persons and not just as cogs in a machine. We open and interact with each other so that all can participate in the making of decisions. Kuakhiri tayangan ini dengan paragraf terakhir yang ditulis Jean di bab kedua. 'Our personalities deepen and grow as we live in openness and respect for others, when weakness is listened to and the weak are empowered, that is to say, when people are helped to be truly themselves, to own their lives and discover their capacity to give life to others. Fear closes us down; love opens us up.
Meski saya seorang kutu-bukuis terus terang baru pertama kali ini saya membaca buku Jean Vanier padahal puluhan karya tulis dan bukunya sudah diterbitkan. Memang saya sudah memiliki dan membaca beberapa buku Henri Nouwen, seorang pastor yang magang dan "menjadi manusia" di l'Arche Daybreak Community di Toronto, persisnya di Richmond Hill. Itu adalah ndeso :-) tempat tinggalnya Meme anak P-Net yang sekarang sedang belajar bahasa 'wo ai ni' di Kaohsiung, Taiwan :-). Ketika mencari toko yang menjual buku ini, saya berusaha mencari penerbitnya Anansi Press, baik lewat buku telepon biasa maupun lewat Website (Canada 411). Entah bagaimana, mungkin salah 'search parameter'-nya, tidak bertemu dan setelah memiliki bukunya baru saya lihat bahwa kantor Anansi Press hanya semenit jauhnya dari trayekku bersepeda ke kantor.
Ya, judul bab ketiga buku Jean ini adalah 'From Exclusion to Inclusion', mencerminkan saya yang selama ini tidak pernah membaca buku beliau padahal bertahun-tahun Jean mengajar ilmu filsafat di University of Toronto, almamaternya si MoTe yang lagi melungker di Palembang, mungkin takut dicekal rezim Orde Baru, padahal waktu di Toronto galak mengeritik :-). Di bab inilah Jean memulai dongengannya dengan cerita pengemis Lazarus. Ia berteori bahwa kita menghindari 'Lazarus-Lazarus' di dalam hidup kita karena kita tidak ingin mengubah diri kita yang sudah toto-tentrem adem ayem. 'Fear is at the root of all forms of exclusion', katanya. Mana ada manusia yang masih makan nasi yang tidak memiliki ketakutan :-). Hanya apa yang kita perbuat atau tidak kita perbuat di dalam ketakutan itulah, yang membedakan siapa aku. Belum lama ini saya "diprotes" oleh sementara Cindo karena berusaha memuat iklan yang pernah dimuat di Jakarta Post ke dalam koran-koran seperti Kompas atau Suara Pembaruan atau Pos Kota. Bila Anda belum pernah membacanya, isinya pada intinya menghimbau pemerintah RI maupun warga masyarakat di tanah air untuk hidup saling harga-menghargai antar suku-suku yang ada di Indonesia dan supaya dijauhkan dari praduga. Kata saya kepada mereka, tentu saja saya takut bukan saja untuk diri sendiri, tetapi juga untuk mereka. Namun, kalau saya tidak berbuat apa-apa karena ketakutan, siapa lalu yang mau mengambil risiko agar terjadi perubahan. Lihat saja, tanpa ada iklan-iklanan, toh tetap saja ada bakar-bakaran toko dan barang-barang milik Cindo pada 13-14 Nopember lalu. :-(
Jean memang benar bahwa 'mentally disabled people', orang gilak kalau Anda tinggal di Betawi adalah manusia yang dijadikan sampah masyarakat dan terkadang disiksa. Waktu saya masih kecil saya "berkawan" dengan seorang gilak yang kami, anak-anak, namakan si Baduy. Pakaiannya compang-camping tidak karu-karuan, tubuhnya jarang bertemu air alias bau, rambutnya kusut dan penampilannya sungguh memalukan bangsa. Mengapa si Baduy bersahabat dengan Bang Jeha? Karena adikku. Ya, saya berbeda 8 tahun dengan adik saya yang memang mungil waktu ia masih kecil. Dari semua anak-anak sekampung, si Baduy paling atau hanya senang kepada adikku Jul. Kalau ia pulang dari sekolah, Baduy mengikutinya dari muka gang sampai ke dalam rumah sambil cengar cengir. Meskipun agak ngeri, ibuku berhasil berkomunikasi dengan dirinya dan ia lalu bercerita mengapa ia menjadi seperti itu. Anaknya yang pada saat itu sebesar dan semungil adikku, meninggal :-( dan rupanya ia tidak tahan akan pukulan kehidupan itu sehingga menjadi gilak. Karena ada yang peduli dan mau mendengarkannya, ia mampu bercerita siapa nama sebenarnya dan sedikit kisah kehidupannya. Ada baiknya juga ia sayang atau senang kepada adikku sebab ibuku lalu dapat mempengaruhinya untuk mandi dan memperbaiki penampilannya sehingga tidak terlalu menakutkan dan tidak diejek anak-anak lagi. Senangnya bukan main bila ia diperkenankan mengamat-amati adikku, apalagi boleh memegang pipi Jul. Kegilaannya menjadi hilang dan ia tidak beringas lagi seperti biasanya, malah ia dapat tertawa berseri-seri. Yah, itu satu pengalaman saya dengan seorang manusia yang menjadi kaum terhempas dan terkandas di tanah airku.
'When political leaders - kings, most frequently - were seen as the representatives of God on earth, protectors of truth, religion, and morality then whoever opposed such leaders were necessarily regarded as evil, agents of the devil. If the status quo was ordained by God, whoever stood against the status quo, stood against God and the natural order. The appeal to "God on our side" was always a powerful justification for torture and killing in the name of truth. Manggut-manggut lagi kan kita semua mendengar dongengan Jean itu. Ya, pengalamannya selama 30 tahun bergaul dengan kelompok yang disisihkan masyarakat membuatnya sampai ke "filsafat" seperti itu. Baru saja saya membaca berita Kompas Online tentang si Wiwid, mata-mata Cijantung yang membuka rahasia keterlibatan militer di pembunuhan Semanggi. Segala macam cara dilakukan manusia untuk menjaga status quo, agar kelompoknya tidak sampai amblas. Baru saja saya pulang menonton pagelaran 'The Grapes of Wrath'-nya John Steinbeck. Amrik yang sekarang kampiun demokrasi dan katanya 'land of the free', beberapa puluh tahun yang lalu sama saja korupnya dengan tanah Melayu. Polisinya sekongkol dengan para tuan tanah dan orang kaya untuk memeras rakyat.
Setelah panjang lebar menjelaskan bermacam-macam rasa takut dan sebab-sebabnya, Jean menghimbau agar kita mampu berpaling dari sikap eksklusif ke inklusif dengan perlahan-lahan membuka hati kita ke beberapa orang yang berbeda dari kita dan menjadi teman mereka. Hanya lewat cara inilah masyarakat atau lingkungan sosial kita dapat berubah. Tentu saja tidak mudah dan ini sangat dipahami oleh Jean. Beberapa pengalaman hidupnya ia bagikan di dalam pergulatannya dari keekslusifan ke sikap inklusif. Karena mengerti sukarnya mengubah hati, maka Jean tidak mengakhiri bukunya di bab ini melainkan masih ada 2 bab lagi yang semoga masih ada waktuku untuk membagikannya kepada Anda-anda meski esok kami akan mendapat tamu istimewa anak Paroki-Net :-). Sebagai akhir tayangan ini dan juga di akhir bab ketiga, Jean mengutip petuah Aung San Suu Kyi, salah seorang manusia yang pernah memenangkan hadiah Nobel untuk perdamaian.
'All barriers of race and religion can be overcome when people work together in common endeavours, based on love and compassion. Together we can help to develop a happier, better world, where greed and ill-will and selfishness are minimized. This is not impractical idealism; it is a down-to-earth recognition of our greatest needs. Sometimes it takes courage to grapple with the difficulties that lie in the path of development. Unpopular decisions may have to be made and prejudices overcome. It may be necessary to defy despotic governments, to stand by the downtrodden and underpriviliged in the face of oppression and injustice. But "perfect love casts out fear," and everything becomes possible when charitable projects are carried out with true charity in the heart.'
Tayangan tertunda beberapa hari setelah terseling segala macam esmotsi, terutama bila membaca berita-berita dari tanah airku, yang kemarin masuk halaman muka Toronto Star sebagai judul berita utama. Judul berita besar hari ini 'APEC Scandal: Scott resigns', memberitakan terpaksa berhentinya Attorney General (Jaksa Agung) Kanada gara-gara polisi Kanada menyemprot merica (pepper spray) mahasiswa UBC waktu Suharto ke Pengkuper. Jadi nama Indonesia memang semakin "wangi merica", sehingga tidak heran kalau Suara Pembaruan memberitakan bahwa orang Indonesia yang masih punya rasa malu, sudah tidak mau lagi mengatakan ia orang Indo. Karena bukan tujuanku menulis tayangan kritik, terutama lagi hari Minggu esok Masa Advent dimulai, saya teruskan renunganku membaca buku Jean di bab keempat.
Judul bab ini adalah 'The Path to Freedom' mencerminkan anak P-Net bernama Windu Astuti yang setelah melampaui cem-macem perjuangan deg-deg-an, akhirnya berhasil menghirup udara kebebasan di negeri tempat lahirnya Jean. Hanya saja, kriteria Jean untuk yang bernama kebebasan adalah diluar atau diatas ukuran Natali atau Bang Jeha :-). Katanya, 'To be free is to put justice, truth, and service to others over and above our own personal gain or our need for recognition, power, honour, and success. When we cling to personal power and success, when we are frightened of losing social status, then we are in some way denying our humanity; we become slaves to our own needs. We are not free.'
Membaca kalimat di atas, saya tidak tahu apakah Jean sering membaca buku Anthony de Mello yang namanya sedang menjadi "termasyur" karena buku-bukunya "dilarang" oleh Kardinal Ratzinger dkk. Melenceng sedikit, kalau saya jadi penerbit Kanisius, senang sekali saya dengan woro-woro Ratzinger itu sebab buku-buku de Mello mendapat prosmotsi sedunia :-), gratisan! Ini yang di dalam iklan disebut 'brand awareness' dan sementara perusahaan harus membayar mahal. Anda orang-orang dari tanah Java, sekarang ini juga secara gratis sedang mendapat promosi, baik berupa "iklan" di Toronto Star, maupun sedang maraknya para programmer melakukan coding dalam Java.
Kembali ke jalur tayangan, itulah kesanku membaca bab keempat pada umumnya, sama seperti bila membaca buku-buku Anthony yang mempunyai banyak pesan yang "tersamar" dan sukar dilihat kebenarannya oleh sementara kaum ideologis :-). Seperti saya katakan, kebebasan yang didongengkan Jean, beberapa tingkat lebih tinggi dari kebebasan ukuran kita. Mungkin dapat saya samakan seperti kalau saya melakukan kata (gerakan karate), rasanya sudah sebaik-baiknya dan sehebat-hebatnya kucoba. Tetapi lalu kalau saya melihat guruku yang tingkatannya (Shotokan, Dan VI) jauh di atas murid-muridnya melakukan kata yang sama, saya selalu kagum karena langkah-langkahnya seperti "kebebasan a la Jean". Kecuali Anda bertahun-tahun latihan karate, sukar bagi Anda menikmati keindahan kata yang hesbats. Bila Anda seorang manusia Indonesia yang sedang hidup atau tinggal di Jakarta, mungkin mustahil rasanya bagi Anda untuk sampai ke tingkat kebebasan seperti itu. Ini dikatakan lagi oleh Jean: 'A lack of freedom equals fear - fear of reality, fear of others; lack of freedom means clinging to illusions and prejudices and sometimes even to lies. A lack of freedom means being governed by compulsions instead of governing them. It is imposing a vision on reality or wanting to change reality through force instead of forming a new vision of reality. Lack of freedom means thinking that you alone have the truth and that others are wrong or stupid. It means being controlled by prejudice.'
Belum lama ini, Nelson Mandela, presiden Afrika Selatan mengunjungi Toruntung, Kanada dan tentu ia dielu-elukan dan digua-guakan alias dijamu cem-macem di dalam "gua" :-). Yang saya kagumi dari Nelson adalah kemampuannya untuk mengampuni. Ini perkataan Nelson yang dikutip Jean: 'I am not truly free if I am taking away someone else's freedom, just as surely as I am not free when my freedom is taken from me ... to be free is not merely to cast off one's chains, but to live in a way that respects and enhances the freedom of others.'
Selanjutnya, secara panjang lebar Jean membagikan tujuh langkah menuju kebebasan yang dialami dan dihayatinya. Supaya bukunya masih laku dibeli Anda dan tayangan ini hanyalah prosmotsi buku di atas, saya persilahkan Anda membelinya dari Chapters di Toronto. Untuk Anda yang tidak memiliki Can $ 16 atau tinggal setengah dunia jauhnya, saya tuliskan ke tujuh langkah itu sbb. 'The first step to freedom is to learn that fear can be a good counsellor... The second step to freedom involves becoming aware of our own limits and blockages... The third step to freedom is to look for the wisdom that comes from unexpected events: the death of a friend, sickness, an accident that creates a severe disability or an apparent misfortune that breaks the pattern of our life and obliges us to reevaluate our lives, to find new values... The fourth step to freedom involves accompaniment... Fifth step to freedom has to do with role models - people who are witnesses to the truth and have a clear vision... The sixth step to freedom is to recognize that the road to freedom is also a struggle... The seventh step on the road to freedom is the recognition that the liberation of the heart comes about when we live in communion with the Source of the universe, with God.'
Bab keempat ini diakhiri Jean sbb. Kata 'forgiveness' kutulis dalam huruf besar karena itulah judul bab terakhir atau bab kelima bukunya. 'Humanity needs to return to this humble, loving God who is all heart. It needs to rediscover the message of gentleness, tenderness, nonviolence, and FORGIVENESS, to rediscover the beauty of our universe, of matter, of our own bodies, and of all life. This path of rediscovery will be a struggle, but a worthwhile one.'
Jean suka membaca Injil dari versi bahasa Yunaninya sehingga ia tidak sering bingung mestinya seperti saya yang suka kebingungan membaca Injil yang dalam bahasa Jawi, eh Indonesia :-). Adapun di dalam bahasa Yunani, 'forgiveness' atau mengampuni adalah 'asphesis' yang berarti dibebaskan, 'to liberate, to release from bondage', pembebasan dari hutang, rasa bersalah dan hukuman. Jean sependapat denganku :-), bahwa tidak ada manusia yang tak pernah terlukai hatinya, THP istilahku (The Hurting People) ketika masih sering mendongeng bagi Paroki-Net. Seperti pernah kuceritakan, tidak banyak musuhku di dunia ini, bisa dihitung dengan jari satu tangan :-). Tadinya paling satu dua tetapi beberapa bulan belakangan ini bertambah lagi dengan dua tiga, gara-gara peristiwa 13-15 Mei di Betawi. Karena ke-THP-anku, sukar memang untuk hanya dengan nalar mengampuni yang bersalah kepadaku, apalagi yang bersangkutan tidak pernah merasa bersalah :-(. Perlu membaca ulang buku ini 70 x 7 kali :-).
Melalui beberapa pengalaman pribadi yang dibagikannya di bab ini Jean mengupas tentang THP atau kesakitan hati dari sudut sepikologi. Ia menerangkan tentang beberapa macam kelompok THP. Kesakitan hati ada yang disebabkan oleh 'personal hurt', yakni bila seseorang menyakiti hati orang lainnya. Menurut Jean ke-THP-an ini hanya dapat disembuhkan melalui proses pendekatan atau lebih mengenal orang yang menyakiti hati kita. Salah satu musuh saya di atas, yang sampai saat ini tidak mau mengampuni kesalahan saya, meski saya sudah meminta maaf kepadanya dan mengampuninya, pada waktu kecilnya disiksa oleh ibu tirinya :-(. Saya tahu bahwa ibunya meninggal waktu ia masih kecil dan ayahnya menikah lagi. Tetapi baru setelah saya berkelahi dengannya, saya lebih mengenalnya, mengapa ia seperti itu, kurang PD sekhalei. Sensitifitasnya luar biasa dan tentu ia lebih berusaha dibanding manusia umumnya, untuk memperoleh kasih-sayang yang tak pernah diperolehnya waktu ia masih kecil. Kalau saya mengingat- ingat perlakuannya kepada saya yang sungguh menyakitkan hati, tidak mungkin saya mau berdamai dengannya. Tetapi, bila rasa empathy-ku sedang tinggi dan aku dapat membayangkan seperti apa anak yang ditolak oleh ortunya, pada saat itu aku bersedia memeluknya dan memaafkannya lagi.
Di hadapanku terletak sebuah buku yang dibawa Natali, 'Sujud di Hadapan Korban', terbitan Team Relawan Untuk Kemanusiaan (Romo Sandyawan dkk). Sebagian dari isinya pernah ditayangkan di P-Net oleh Frater Ipunk kalau tak salah. Membaca bagian berjudul 'Transkripsi Pengaduan Para Korban Pada Komisi Nasional HAM' mengingatkanku ketika melihat tayangannya melalui videotape yang dipinjami wan Nawi anak Pengkuper. Salah seorang korban yang memang mengenaskan membaca kesaksiannya maupun melihatnya ketika divideo adalah Chaerul. Bagaimana perasaannya kalau ia membaca bab kelima buku Jean ini? Pada tahun 1996 Jean mengunjungi Rwanda dan tentu saja bertemu maupun berbicara dengan keluarga korban (bunuh-bunuhan Hutu-Tutsi). Ini yang ditulisnya setelah bertemu dengan seorang wanita yang 75 anggota keluarganya dibantai. 'Crimes of oppression and massacre leave deep wounds. Can they ever be healed? In order to be free, this woman needed help to accept her feelings of anger and revolt, reactions that made her feel guilty. But are these not natural, healthy reactions? It IS important to express them (tekanan dari Jean sendiri). If this woman has not reacted, but had accepted passively the horror and injustices suffered by her people, wouldn't there be something wrong? Apathy in these circumstances would be a sign of depression and of a refusal to live. But this woman was able to say that she did not want revenge on those who had killed her family. She has seen enough killing.'
Jean menyitir ucapan Yesus (Lk.6:27-28) untuk mencintai musuh-musuh kita, maupun ucapan Dalai Lama dan Muhammad di Kur'an sehubungan dengan itu. Katanya, '"Enemy" is such a strong term, it's easy for us to deny that we have enemies. But when Christ, the Dalai Lama and Muhammad all speak of enemies, they refer to something that can be much simpler, much closer to home. An enemy is someone who stands in the way of our freedom, dignity, and capacity to grow and to love, someone whom we avoid or with whom we refuse to communicate.' Tentu saja tidak mudah untuk mengampuni dan itulah sebabnya Jean mensyer bagian dari kehidupannya dimana ia berjumpa dengan para THP atau mantan THP kelas berat. Ia memberikan tiga prinsip dan lima langkah yang dapat kita pakai di dalam mengampuni musuh-musuh kita. Kutulis secara singkat. Prinsip I: There can be no forgiveness of ourselves or of others unless we believe that we are all part of a common humanity, that is no one individual, no one group is superior to others. Prinsip II: To forgive means to believe that each of us can evolve and change, the human redemption is possible. Prinsip III: To forgive means to yearn for unity and peace.
Dari semua dongeng, petuah dan nasihat Jean jelas sekali bagiku, di antara manusia yang saling mencinta, penganten baru seperti Yoseph dan Sisca anak P-Net ini :-), mudah sekali untuk saling mengampuni dan memaafkan. Juga menjadi jelas, di dalam komunitas tanpa cinta-kasih, mudah sekali orang untuk saling hantam-menghantam dan benci-membenci serta yang namanya maaf adalah sori wae alias tiada maaf bagimu hai asu-monyet-biawak-kebo-babi- kambing-badak dan seluruh mahluk dari Kebun Binatang Ragunan lainnya. Di antara wan-wan-sib alias teman kempingan, mudah sekali untuk saling memaafkan meskipun terkadang si pendayung kanu di haluan tidak melihat ada batu karang sebesar pantatnye ngejogrok :-), kata anak Betawi. Di antara pasutri yang mempunyai hobi sintingan kemping di suhu 0 C, maaf lekas sekali diberikan meskipun sang isteri di buritan lengah dalam mengemudi sehingga batu karang itu tak bisa dihindari. Tidak heran bahwa hadiah Nobel perdamaian tahun ini diberikan kepada dua tokoh di Irlandia Utara, John Hume dan David Trimble karena mereka patut dijadikan contoh soal saling maaf-memaafkan setelah berpuluhan tahun saling bunuh-membunuh.
"Mas, katanya tadi mau memberikan langkah-langkah yang ditulis Jean," :-) kata Anda yang selama ini menyimak isi tayanganku yang terkadang memang melenceng kesana kemari sebab baru saja mendapat surat seterom dari Silvana teman kanuanku yang sedang berliburan. Oke-oke, ini yang diberikan Jean sebagai lima langkah menuju pengampunan atau maaf. 'The first step is the refusal to seek revenge... The second step is the genuine, heartfelt hope that the oppressor be liberated... The third step is the desire to understand the oppressors... The fourth step is the recognition of our own darkness... The fifth step is patience'. Silahkan Anda merenungkan langkah-langkah itu yang sengaja kusingkat supaya bukunya Jean masih laku.
Bagi Anda yang sedang tinggal di tanah air dan bagiku yang meski tinggal di Toronto ini sedang menyaksikan kekuasaan sewenang-wenang seorang imam, menarik sekali membaca bagian akhir bab kelima. 'Reconciliation is a bilateral affair; it is the completion of the forgiveness process, the coming together of the oppressed and the oppressor, each one accepting the other, each acknowledging their fears and hatreds, each accepting that the path of mutual love is the only way out of a world of conflict'. Namun Jean menyadari bahwa sukar sekali untuk pihak penindas mengaku salah. Begini logikanya. Yang namanya kekuasaan selalu menuju ke bawah ke arah yang lemah. Contohnya ortu terhadap anak. Kekuasaan si ortu sering dikaitkan dengan hak mereka. Bukankah ortu yang paling tahu apa yang terbaik untuk anak-anak mereka? Hal serupa terjadi bagi si pemilik kekuasaan, hanya mereka yang tahu mana yang baik dan yang benar dan tidak suka mendengar kritik karenanya. Kata Jean, 'So few of us have the necessary maturity and wisdom to exercise authority in a loving and freeing way through what we might call "servant leadership", helping people to find trust in themselves and to grow in freedom'.
Adalah tujuanku bila menulis tayangan agar bagian pengalaman hidupku atau apa yang kutulis dapat Anda jadikan bahan renungan di dalam perjalanan hidup Anda, entah sebagai rohaniwan, terlebih sebagai awam sebab Bang Jeha ga cocok jadi pastor selibat :-). Semoga kelima tulisan serial ini dapat Anda manfaatkan agar selangkah demi selangkah, kita bersama dapat sungguh menjadi manusia. Baik kita warga THP kelas berat, kelas bantam, welter atau kelas bulu, kita memang wajib untuk saling memaafkan bila suatu ketika kita ingin login di komputer pembuka gerbangnya oom Petrus dan diberikan password-nya oleh doi :-). Mari kita saling mendoakan dan kalau Anda masih mempunyai waktu semenit, tolong doakan Jean agar ia menulis lagi dan bukunya tidak terlalu mahal dijualnya sehingga dapat kubeli lagi dan kubagikan kepada Anda. Inilah paragraf terakhir di buku 'Becoming Human' sebagai upah Anda mendoakan doi. 'If each one of us today begins this journey and has the courage to forgive and be forgiven, we will no longer be governed by past hurts. Whereever we may be - in our families, our work places, with friends, or in places of worship or of leisure - we can rise up and become agent of a new land. But let us not put our sights too high. We do not have to be saviours of the world! We are simply human beings, enfolded in weakness and in hope, called together to change our world one heart at a time.'