The Hurting People I

Dalam rangka memperingati HUT Pernikahan kami yang ke 21, tanggal 10 Mei lalu saya dan Cecilia pergi camping ke cagar alam Algonquin di propinsi Ontario. Camping season sebetulnya belum dimulai sehingga sarana yang tersedia di camp site sangat minim. Meski ramalan cuaca hari Kamis minggu lalu untuk seluruh daerah di Ontario buruk semuanya, hujan dan dingin sepanjang akhir-pekan, kami tetap pergi. Seorang tante teman kami di Toronto suatu ketika berkata kepada Cecile saat ia mendengar hobby kami camping. "Aduh, kog camping sih, cari susah." Memang kami senang cari susah, "menyakiti" diri sendiri atau "sadis" barangkali kalau memakai ukuran si tante tersebut :-). Hujan kehujanan, dingin kedinginan, panas kepanasan. Masak nasi, karena tidak pakai rice-cooker harus disiapkan dengan cermat dan kalau tidak biasa ya atau gosong atau tidak matang atau jadi bubur. Kalau campingnya di interior, di dalam hutan, yang mesti dituju dengan berjalan kaki beberapa jam, dibutuhkan persiapan yang lebih cermat. Tidak mungkin kan perlengkapan "satu rumah" kita pindahkan ke ransel di punggung kita? Mengapa kami senang "bersakit-sakit" begitu ya? Tunda dulu deh jawabannya dan beralih ke hal yang saya ingin kemukakan di tayangan ini.

"That's it. Kapok aku, tidak bakalan aku ... lagi." (Titik-titik itu Anda isi sendiri.) Bukankah itu kalimat yang paling sering kita dengar diucapkan orang yang tidak mau ke gereja lagi, keluar dari Dewan Paroki, berhenti dari kepengurusan Mudika, "bercerai" dari suatu kegiatan bersama, dsb.? Di dalam kadar yang serius dan lebih gawat perceraian itu adalah keluar dari imamat, dari tali pernikahan, dari suatu kontrak. Merekalah yang saya sebut 'the hurting people'. Saya ingin membatasi tayangan saya kali ini bagi yang 'hurt' atau sakit-hatinya tidak terlalu serius.

"What can we do? Not much, we cannot change other people." Itu mungkin jawaban Anda. Memang sukar atau mustahil mengubah orang lain, apalagi kalau yang bersangkutan tidak ingin berubah atau diubah. Namun ada yang dapat kita lakukan. Yang pertama adalah mengerti dan menerima akan adanya orang yang seperti itu, 'the hurting people'. Pastilah di dalam hidup kita ini suatu ketika kita akan menjumpai orang terluka. (Hehehehe, bagaimana kalau kita sendiri ya orang terluka?) Kemudian kita dapat memberikan atau menunjukkan 'empathy' kepada orang yang bersangkutan. Pakar bahasa Indonesia dapat membantu saya dalam menterjemahkan kata itu. Menurut Webster, empathy: capacity for participating in the feeling of another, dimana sympathy: ability of sharing the feeling of another. Jadi empathy adalah ikut senasib sependeritaan begitu, dibanding sympathy.

Suatu ketika saya diminta menjadi ketua Panitia Perayaan Paskah di Toronto. Pada saat perayaan tengah berlangsung, yakni seusai Misa, saya dipanggil oleh seorang anggota Panitia yang saya tahu sering terluka atau dilukai, 'hurting people' istilahnya. Sambil menangis ia menceritakan pengalaman luka-hatinya yang baru saja terjadi yang ia akhiri dengan "That's it, I quit for good." Sambil mendengarkan kesedihan dan keluh-kesahnya, ingin saya memeluknya dan menangis bersamanya karena saya dapat merasakan beban yang sedang dipikulnya. (Tetapi tidak berani lalu, ada suaminya sih disampingnya :-).) Saya masih berusaha menjelaskan bahwa orang-orang yang menyakitinya tidak bermaksud melakukan itu. Saya memang merasa bahwa kali itu, "that's it" untuk dia dan saya ikut bersedih karena saya tahu bahwa ia sebetulnya ingin sekali melayani dan membutuhkannya (apresiasi orang terhadap karyanya). Jadi saya ikut sedih karena kebutuhannya tidak terpenuhi dengan karyanya padahal ia hebat sekali kerjanya. Memang akhirnya ia keluar sama sekali dari kegiatan UKI. Saya hanya dapat mengatakan, "Jika memang hal itu terlalu sakit bagimu, carilah ladang dimana engkau dapat berkarya di antara orang yang tidak akan sering menyakitimu." Memang ia lalu berkarya di ladang lain dan setahu saya cukup oke panenannya.

Sejak pengalaman itu saya lebih hati-hati untuk menempatkan orang yang mudah terlukai di tempat yang akan membuatnya berinteraksi dengan banyak orang, terlebih orang yang tiada mempunyai empathy atau sympathy sama sekali. Kembali ke cerita camping yang saya tinggalkan di atas. Saya dan Cecilia mencari susah memang tidak sama tentunya dengan susah yang dialami 'hurting people'. Tapi dari satu segi saya kira ada kesamaannya. Kalau kita tidak pernah susah-susah, kebelangsak istilah anak Betawi, mengalami tenda yang bocor kehujanan, nasi yang gosong atau mentah, makanan yang dicuri binatang, mencuci dengan air yang dingin sehingga tangan hampir beku, bagaimana kita dapat menghargai hidup nyaman di rumah? Kalau kami camping di interior lebih "gawat" lagi. Menunaikan hajat harus gali lubang dulu :-), sungguhan, disiplin mas/mbak! Setelah lelah berjam-jam jalan kaki dengan beban puluhan kilo sehingga terkadang serasa kuda, eh ternyata site yang sudah kami reserve jelek airnya (biasanya kita hanya membawa air cukup untuk minum saja). Belum lagi kalau salah pilih tanggal, kita akan digigiti serangga bernama black fly, lalat hitam, yang sakitnya sepuluh kali lebih sakit dari digigit nyamuk betina Indonesia yang tergalak :-). Menyimpang sedikit, suatu ketika saya bertanya kepada Cecilia, "Mengapa Tuhan menciptakan lalat hitam?" (Ada jawaban ilmiahnya :-).) Jawaban Cecilia, "Supaya berkat pengalaman (sengsara) digigit itu kita dapat lebih berterima kasih kepada-Nya bahwa kita sehari-hari boleh hidup di dalam rumah dimana tiada lalat hitam." Hem, jawaban yang masuk akal untuk saya sih karena memang saya mengagumi filsafat Jawanya (nrimo). Meski mendapat puluhan bentol bekas nyamuk dan lalat hitam, katanya masih untung :-). Mungkin rugi bagi dia hanya kalau tidak pernah mendapat bentol hasil karya lalat hitam :-).

Nah, kalau tidak pernah mengalami susah seperti di atas, bagaimana kita dapat menghargai nyamannya menunaikan panggilan alam di rumah, sambil membaca koran dan mendengarkan musik atau radio (ini gaya saya lho, rahasia ya :-)). Kalau di dalam berkarya kita tidak pernah bertemu dengan romo yang menggigit seperti lalat hitam (maaf romo-romo :-)), bagaimana kita dapat menghargai mempunyai romo seperti Romo Is, Alex, Mardi, Paul, Andang, Hardi, Glinka, Marcel, Madhya, Baskoro, John dan yang lainnya (yang namanya belum tersimpan di ROM saya)? Kalau Anda belum pernah berjumpa dengan umat yang "toxic" bagaimana Anda akan menghargai mempunyai umat seperti di Net ini yang "manis-manis" semuanya :-)? Ya, mereka yang terluka dan pindah-pindahan gereja atau paroki atau lainnya, entah karena disakiti oleh siapa, hanyalah dapat kita harapkan semoga berjumpa dengan gereja atau paroki "taman Firdaus" di bumi ini.

Seperti saya katakan, waktu kami berangkat camping cuaca buruk dan ramalam cuaca sepanjang akhir pekan demikian pula. Hanya pasutri "sinting" seperti kami yang memilih akan merayakan HUT Pernikahan dalam keadaan seperti itu. Namun karena kami sudah pengalaman sintingan begini, seingat saya tidak pernah terus-terusan 3 hari 2 malam cuaca buruk terus. Kalau lalu terjadi 'break', hujan berhenti dan matahari bersinar, atau langit membersih dan bintang- bintang mulai kelihatan (seperti kami alami hari Sabtu malam Minggu dan hari Minggunya), kami lalu akan berteriak, yeah, hooray, pertanda kegembiraan hati. Kesenangan kami berlipatan dari kalau kami berangkat cuaca indah dan ramalan cuaca pun bagus. Begitupun yang terjadi di dalam hidup, Kalau habis menuliskan tayangan Mas Pras disikat oleh Jeff, begitu mendapat tayangan dukungan dari rakyat lainnya, Mas Pras kan akan berseri-seri dan bergembira lagi, lebih dari kalau sejak awal tayangannya sudah mendapat dukungan. Kalau Iwan tidak pernah berkelahi di Indoz-Net dan disikat habis-habisan disitu, darimana ia akan menghargai suasana "kasih sayang" yang ada di antara warga Net ini? Kalau saya tidak pernah 'deal with difficult people' di kantor, darimana saya dapat mensyukuri 'deal with nice people' di P-Net (hehehehe, manipulative? engga lho, lagi engga mau minta sumbangan kog :-)).

Semoga Anda masih tetap membaca tayangan ini dan belum di-D karena kepanjangan. Pokok pikiran ketiga atau terakhir yang ingin saya kemukakan adalah saya dan Cecile merasa kami termasuk 'the hurting parent'. We haven't seen nothing yet. Waktu kami berjumpa dengan puluhan, ratusan orang tua lainnya di dalam karya Parent Support Group kami, luka kami tidak ada artinya dibanding luka hati mayoritas ortu PSG. Kalau Anda menghadapi itu atau ada dalam proses terlukai baik untuk bertanya, "What you want from me God?", bukannya "Why me God?" Saya pakai resep itu dan manjur tuh. Dengan lebih cepat kami dapat keluar dari posisi 'hurting people' dan kembali menjadi 'productive people'. Tidak melarikan diri dari kenyataan tetapi menghadapinya dengan semangat berjuang. Kalau Anda bersungguh-sungguh, tulus berjuang dan berdoa, percayalah bahwa suatu ketika pahalanya atau hikmah luka-hati itu akan tiba. Di kantor saya, IBM Lab di Toronto, entah mengapa (saya tahu rasanya sih) mayoritas saya lihat adalah orang Cina dari berbagai negara. Suatu ketika teman saya anak Cina menjelaskan arti kata krisis atau tulisan kata itu di dalam aksara Cina yang terdiri dari 2 huruf, bahaya, danger dan kesempatan, opportunity. Jadi dengan bertanya "what you want from me Lord?" kita alihkan pandangan kita ke 'opportunity'; dengan bertanya "why me Lady?" kita terpaku pada 'danger'nya.

Pagi tanggal 10 Mei itu, karena mengingat lagu "Seek ye first ..." kami pergi ke Misa Kudus dulu di paroki kami sebelum berangkat camping. Jadi kami sangat bersemangat pergi camping di tengah cuaca mendung dan hujan gerimis. Belum terlalu lama di jalan kami sudah mendapat "pahalanya". Ada 3 kaset keroncong yang saya beli bulan lalu di Supermal Karawaci tetapi terlupakan untuk dibuka dan diputar sampai pagi hari itu. Wah, wah, wah, ternyata lagunya bukan main asyiknya karena berisikan 3 X 14 lagu bintang-bintang keroncong Indonesia. Yang paling bagus untuk Cecilia adalah lagu-lagu yang dinyanyikan mbak Waldjinah dan untuk saya 'Nyiur Hijau' oleh Sri Hartati yang sudah puluhan tahun tak saya dengar syairnya sbb. Mari kita nyanyikan bersama pertanda ikatan batin kita semua yang lahir di tanah air. Salam dari Toronto.
(...orkes keroncong P-Net mulai! ...)
Nyiur hijau di tepi pantai. Siar siur daunnya melambai.
Padi mengembang kuning merayu. Burung-burung bernyanyi gembira.
Tanah airku tumpah darahku. Tanah yang subur kaya makmur.
Tanah airku tumpah darahku. Tanah yang kaya permai nyata.

Mei '96

Home Next Previous