Tokoh-tokoh di kedua tayangan THP saya yang terakhir berasal dari lingkungan kantor. Masih banyak 'hurting people' di lingkungan itu. Saya pernah bercerita 'the lady with Prozac' kalau Anda masih ingat. Juga "Jon" tidak atau belum separah satu teman saya lagi yang terkena serangan jantung dan meninggal dunia setelah ia disuruh "minta berhenti". Memang korban penciutan tenaga kerja seabrek-abrek jumlahnya. Yang mengenaskan adalah hal ini tidak akan berhenti. Beberapa hari yang lalu saya berkumpul dengan kolega- kolega saya yang bekerja di dunia perbankan. Salah seorang mengatakan bahwa hanya soal waktu saja bank-bank besar (yang hanya sedikit di Canada) ini akan melakukan 'merger'. Pendapat ini ditunjang oleh satu dua kolega yang lainnya. Tujuan utama tentu terus bertahan hidup mengalami persaingan luar biasa di pangsa pasar dunia. Yang sedang menjadi berita hangat di kota Toronto ini adalah rencana pemerintah propinsi untuk menyatukan seluruh kota di dalam Metro Toronto sekarang ini, Scarborough, North York, City of Toronto (tempat si Mote tinggal) dan yang lainnya untuk bergabung di dalam 'mega city' bernama Toronto. Jadi semua kawula pemerintah atau pegawai negeri di seluruh kota di dalam Metro saat ini akan terkena dampaknya. Tujuan utama adalah kembali membuat operasi lebih "efisien" dengan menciutkan jumlah pegawai alias penghematan anggaran belanja. Kalau Anda nanti melihat signature Internet id saya sudah berganti dari Scarborough ke Toronto, Anda akan tahu bahwa tidak ada lagi kota bernama itu di Canada :-(.
Tokoh cerita kali ini adalah seorang teman saya dari luar kantor. Sebut saja namanya, siapa ya ..., oke Lucy deh sebab tidak ada rasanya warga P-Net bernama Lucy yang aktif. Sudah cukup lama saya mengenal Lucy, hampir 2 tahun. Ia sedang mengalami 'triple whammy'. Ini katanya sendiri. Kalau seorang perempuan sudah menikah sedang mengalami 'double, triple, quadruple, quintuple whammy', boleh dipastikan salah satu palu-godam itu adalah yang menyangkut ... siapa lagi ... suaminya :-(. Suaminya bukan warga P-Net jadi tidak heran :-) "toxic" dan saya tidak kenal pribadi, hanya dari cerita-cerita Lucy. Menurut Lucy, "kerja" suaminya di rumah hanya baca koran dan nonton TV. Sound familiar? Hehehe, semoga tukang baca koran dan penonton TV tidak tersinggung :-). Artinya lagi, urusan anak, ia tidak mau tahu menahu. Nah, anaknya Lucy lebih-lebih lagi "toxicnya" dibanding sang suami. Di dalam beberapa hari lagi anak ini akan tamat sekolahnya, bukan berarti lulus atau selesai, namun dikeluarkan! Ini yang menjadikan Lucy susah berat dan terluka. "Kid's school is not your problem," kata saya. "Yes, but what kind of future will he have, with just a grade 10 education?," kata Lucy. Anda bertanya, mengapa si anak dikeluarkan dan apakah tidak ada sekolah lain yang akan menampungnya? Jawabnya panjang, secara singkat tidak, alias anak itu sudah mendapat peringatan puluhan kali (termasuk dari pengadilan karena tindakan kriminilnya) dan juga sudah tidak mau ke sekolah. Suaminya sudah bersiap-siap untuk "melempar si anak ke jalanan" dan ini salah satu kesusahan hati Lucy yang lain. "I can't face this, no matter how bad my son is, I can't kick him out," kata Lucy lagi. Ia sudah tahu, hidupnya dari api pencucian atau neraka kelas atas, akan berpindah ke neraka kelas bawah alias akan lebih sengsara. Kalau sudah bercerita demikian, Lucy yang sebetulnya 'tough' akan mulai mengeluarkan air mata. "Don't think too much about his future Lucy, about what will happen to him with just a grade 10 education. If I were you, I will stop thinking about him and be selfish, think or care about me first. Your husband doesn't care about you, your son doesn't care, your daughter ('whammy'-nya nomor tiga) likewise. Who is going to start caring about you if not yourself? You are your best friend." Demikian saya mulai berkotbah kepadanya. "Live day by day, forget yesterday, don't think about tomorrow until it becomes today." (Lucy tidak tahu saya sedang merenungkan kalimat doa Bapa Kami yang satu itu, 'give us this day' :-)). Ia hanya menganggukkan kepala tetapi mukanya atau wajahnya jelas sangat tidak bahagia atau sedang susah luar biasa.
Satu hal yang Lucy sudah mampu melakukannya, yakni 'to let things go'. Banyak persoalan anaknya yang sudah tidak dibuatnya sebagai persoalannya. Dahulu setiap pagi ia "bergelut" dengan anaknya agar si junior mau bangun dari tidurnya dan berangkat ke sekolah. Sekarang tidak lagi. Dahulu ia repot sekali menelepon dan ditelepon guru-guru sekolah. Sampai ke suatu masa yang mengerikan mendapat telepon, takut kalau-kalau itu dari sekolah dan menyangkut anaknya. "When the phone rings, and I am all alone by myself, my heart leaps. Must be from school and must be bad news. I dread getting the phone calls, I wish I am not home," katanya. Dahulu ia tidak dapat tidur kalau anaknya belum pulang, jam 12 tengah malam, jam 1, jam 2 pagi, ia tunggui. Sekarang ia "tidak peduli" dan berusaha untuk tidur, sedikitnya tidak menunggui lagi. Dahulu ia layani suaminya berdebat dan berkelahi soal si junior ini, sekarang ia "EGP"-kan berurusan dengan sang suami. Masih banyak lagi yang sudah tidak dikwatirkannya namun dua hal di atas itu ia tidak dapat. Pendidikan anaknya dan membayangkan anaknya "tidur di jalan". "What good does thinking about it do to you Lucy?," kata saya lagi. "Nothing, but I can't help it." "Well if nothing good comes from thinking about it, for sure it will make you more depressed and frustrated, why would you still be doing this?" Ia terdiam dan saya juga terdiam sebab saya bukan dia alias mudah bagi saya berkata demikian. "Lucy, only when you are well, physically and emotionally, can you start caring and thinking about another person. If I were you, I would pamper myself. Go to places I fancy, do some things I love, listen to musics I enjoy, eat food I like, and so on." "Berdoa dan baca Masmur 69 atau Kitab Ayub," kata Anda? Forget it, don't ever think of saying it to Lucy. Ia pernah berkata di dalam nada kesal dan kecewa dan marah kepada saya, "If there is any God, why does He allow all those unfair things to happen to me?" Saya hanya berdiam diri. Tidak mungkin saya berkotbah soal Tuhan atau soal memanggul salib kepadanya. Ia tidak akan mau berbicara lagi dengan saya padahal saya masih ingin berjumpa dan mengulangi lagi semua kata- kata saya di atas. "Lucy, your son's problem of not finishing school is not your problem, nothing more you can do about it. Just be nice to yourself, this is the one thing you still can do." Semoga anaknya tidak jadi diusir si ayah dan bila sampai terjadi juga, "I am not going to worry about it because it is not my problem," hehehe :-). Becanda kog, memang bukan problem saya dan juga bukan problem Lucy tetapi sebagai seorang teman manusia yang disayang Tuhan, (meski sedang tidak mau mengakui Tuhan ada) yang sedang sengsara, saya perlu berbuat sesuatu. "Apa itu?", kata Anda. Banyak yang dapat saya perbuat, jangan kwatir, saya cukup berpengalaman :-). Tunggu kisah Lucy selanjutnya dan juga 'hurting people' yang lainnya di tayangan serial THP ini yang sudah setingkat alias bernomor X, sama seperti pengalaman si anak Betawi di kisah PAB. Salam dari Scarborough terutama kepada ortu yang anaknya enggan sekolah :-).