The Hurting People XIII

Di dalam tayangan-tayangan yang lalu, kisah hidup saya menemani mereka yang terluka atau berkenalan dengan yang terluka, Anda sudah melihat bahwa dampak luka hati bermacam-macam. Kali ini saya mempunyai pengalaman kenal akan seseorang yang dampak dari luka hatinya belum pernah saya ceritakan, yang semoga tidak akan pernah terjadi terhadap Anda atau anggota keluarga maupun teman-temin Anda.

Saya sebut saja namanya Malin. Bukan, ia bukan anak durhaka, hanya karena ia anak Padang :-). Saya mengenalnya sangat baik, sejak ia masih kecil. Keluarga Malin adalah keluarga berada, hidup serba berkecukupan tak kurang suatu apa. Kasih sayang ortu juga diperolehnya dan dalam hal ini saya menilainya berlebihan alias 'kasih yang menyesatkan'. Mengapa? Karena ortu sangat melindungi Malin sehabis-habisnya. Ia tidak boleh menderita, segala kemauan dituruti dan juga tidak boleh mengalami kegagalan. Kalau ada mata pelajaran yang ia tidak kuasai waktu ia masih bersekolah, Malin disuruh les ke guru yang bersangkutan. Kalau sampai sang guru tidak memberi les, ada saja akal ortunya, maklum orang Indo sangat "kreatip" kalau soal begini. Anda tentu tahu apa yang saya maksud. Kalau sampai guru "payah" dan tidak bisa bekerja sama, guru kepala umumnya "lebih bijaksana". Nah, dari SD, SMP, SMA, Malin yang semakin lama sebetulnya semakin tolol karena cara bersekolahnya demikian, selalu "lulus" atau lolos, berkat "kasih sayang" ortu.

Akhirnya Malin menikah, tentu dengan jodoh yang dipilihkan, disetujui dan direstui ortu. "Kog kaya jaman Siti Nurbaya saja," kata Anda. Ya memang, apa Anda tidak tahu bahwa masih banyak Abdul Muis - Abdul Muis di Indonesia :-)? Nah, Anda mungkin dapat membayangkan, anak manusia yang 'overprotected' lalu harus masuk ke dalam hubungan pernikahan dimana ortu tentu tidak bisa ada di kamar pasutri terus kan. (Keluarga Malin tinggal serumah dengan kedua ortu.) Juga sang isteri bukan ortunya dong yang bersifat melindungi, di dalam hal ini manusia yang datang dari dunia lain dan tidak mengerti bahwa suaminya sebetulnya 'fragile'. Hubungan mereka jauh dari harmonis dan Malin pasti "mengalami bantingan terus" di dalam hubungan pernikahannya.

Masih belum saya ceritakan, Malin mempunyai adik yang kita panggil saja si Kundang. Kundang ini, ya "senasib" dengan Malin alias mendapat kasih sayang "luar binasa", lebih-lebih lagi karena ia anak bungsu dan ibunya hampir mati ketika melahirkannya. Pokoknya bagi orang yang kenal keluarga mereka, akan jelas terlihat perbedaan kasih sayang yang diberikan kepada Malin kalah jauh dari kepada Kundang. Meski Kundang juga bukan anak durhaka, tetapi suatu ketika ortu menjual harta pusaka yang nilainya bukan main, 1 juta $. Nah, boleh dikata Kundang menghabiskan harta ini dan Malin hanya terbengong-bengong. Setiap hari ia semakin bengong dan dunianya yang damai menjadi gonjang-ganjing, lebih hebat dari waktu ki dalang Peret masih menayangkan serial Ekoloyo :-). Disamping ia mengalami dampak dari ulah adiknya yang hidup foya-foya, isterinya juga "ada main". Mungkin tak tahan hidup di bawah "penjara mertua" dan suami yang lemah.

Lama kelamaan luka hati Malin tak tertahankan dan karena tidak ada tempat untuk ia mengadu ataupun minta didoakan seperti warga P-Net ini, ia mulai berbicara kepada dirinya sendiri :-(. Ya, Malin menjadi kehilangan ingatan, sakit jiwa, bahasa kasarnya sinting, kata anak Betawi 'jadi bego'. Kedua ortunya yang melihat semua ini juga tidak tahan lagi. Disamping itu lama kelamaan mereka jatuh miskin karena sumber nafkahnya telah tiada. Sang ayah tidak lama meninggal, 'mati mereres' kata anak Betawi dan sang ibu yang sama patah-hatinya, kemudian menyusul suami tercinta, bebas dari penderitaan di dunia. Celaka 13 belas memang, meski menurut iman Kristiani kita, angka 13 bukan angka yang sial lho. What is moral of the story? You decide it for yourself. Bagi saya, hanyalah secukil lagi kisah mengenal 'hurting people' yang saya ingin tulis. Salam dari Toronto.

Home Next Previous