The Hurting People II

Sdr Eko Rahardjo yang disayangi Tuhan menulis a.l.:
>Saya menyadari mungkin Bung Jusni umat Katolik yang begitu dalam
>menggereja. Tetapi, maaf saja, menurut saya Bung Jusni bermental
>INQUISITOR dan EXCOMMUNICATOR, mental yang dimiliki Gereja
>pada jaman lampau, yang banyak disadari bertanggung jawab pada
>banyak kesengsaraan umat manusia. Tentu saja bertanggung jawab
>pula terhadap terjadinya PERPECAHAN dalam tubuh Gereja.
... disetip sisanya (jh) ...

Terima kasih banyak atas cap, label dan penghakiman Anda atas diri saya sdr Eko :-). You make my day man :-). Meski saya tidak merasa bahwa saya mengatakan "enyahlah kau" (saya katakan "I wish"), saya dapat mengerti mengapa Anda mencap saya seperti itu. Meski saya merasa Anda terlalu cepat mengambil kesimpulan padahal Anda belum mengenal saya, saya dapat menerima "jabatan baru" dari Anda ke saya. Sebetulnya, kalau Anda lebih lama saja sedikit (baru sebulan kan?) di P-Net, Anda dapat melihat sendiri bahwa tidak selalu 300 orang saling mengamini yang lain. Pendapat sering berlainan tetapi jarang-jarang tuh ada yang sakit hati seperti Anda yang saya jadikan judul tayangan ini. Wadah Paroki-Net ini saya sadari kog, terbuka untuk siapa saja, mana mungkin saya bilang "enyah kau".

Ya, saya sudah mempersiapkan 2 versi tayangan sebetulnya. Versi berkelahi atau versi "belajar dari kasusnya Eko". Sebelum menayangkan versi pertama, saya menyebut sebentar, "Bunda, yang mana ya Bunda?". Kata beliau, "Apakah kamu mau Roh Kudus dalam dirimu menangis?" "Ya tidak Bunda, tetapi kan Roh Kudus di dalam diriku mungkin tidak sekudus orang yang lahir di Kudus?" "Husss, jangan mulai edan seperti ki dalang dari Peret itu, nanti kamu kemasukan roh kuda." "Oke, oke deh," jadi apa yang saya mesti lakukan?" "Lanjutkan seri tayanganmu 'The Hurting People', agar rakyat belajar." "Oh gitu toh, oke deh, trims me acih ah Bunda."

Pertama-tama, terima kasih kepada Anda yang lewat japri menyabarkan saya dan mengatakan jangan diladeni, percuma. Persis itupun nasehat saya suatu ketika kepada sahabat saya di P-Net yang diembat oleh sdr. Eko yang dikasihi Tuhan. Memang melayaninya berdebat dan berkelahi, membuang waktu saja. Kita tidak akan mampu mengubah orang yang sakit hatinya kepada Gereja dan imamnya dan hirarki sudah sedemikian mendalamnya. Hanya ia yang mampu untuk mengubah dirinya sendiri. Kita juga belum tahu mengapa atau apa yang menyebabkannya menjadi sakit hati seperti itu. Namun kita dapat belajar dari menghadapi orang seperti Eko karena banyak sekali manusia seperti dia. Pengalaman traumatisnya membuat ia menjadi orang sakit hati kelas berat. Anda yang sudah lama di P-Net mungkin masih ingat di tayangan saya yang pertama, sengaja saya hindari memberikan contoh kasus kelas berat model sdr Eko karena sungguh kasihan melihat ada orang yang seperti itu sebetulnya. Teman saya yang membantu di Panitia Paskah itu hanya mengatakan, "That's it, I quit." Ia lalu tidak menjadi sakit hati dan berkarya di ladang lain, serta tidak "mencari perkara" ataupun membalas kesakitan hatinya itu dengan cara-cara yang sedang kita tonton dilakukan Eko yang membuat P-Net gonjang ganjing kata ki dalang :-).

Kalau kita jatuh ke dalam perangkapnya mendebati dan berkelahi dengan dia, atau memberikan reaksi yang sesuai dengan citra yang dibawakannya, keras, kita lalu sama "sakitnya" dengan dia. "Lihat tuh apa kataku, orang Katotelek, kaya tembelek kan." Jadi, orang sakit hati tidak kena dilawan seperti itu, akan semakin toxic beliau. Manusia yang sakit hati, the hurting people, mempunyai beberapa cap saja sebab pandangannya sebetulnya sempit. Jadi melihat si jusni seperti itu, langsung masuk cap inquisitor dan excommunicator, melihat Uskup Belo seperti itu, masuk cap 'dibaptis kembali', dan sebagainya. Memakai cap-cap mempermudah dirinya untuk menganalisa orang lain yang tidak sama atau berlainan sekali dengan dirinya. Kalau ada pendapat 'complicated' yang tidak ada dicapnya ia menghindar.

Kembali ke tayangan saya yang pertama berjudul di atas, saya sengaja tidak memakai contoh kasus kelas berat sebab selain jarang pengalaman saya bertemu orang seperti itu, juga umum bahwa mereka "sakit" sebenarnya. Ini sebetulnya keahlian mbah Pras yang sedang bertapa di kantornya atau masalah psikologis. "Healing the inner hurt," merupakan salah satu resep untuk orang sakit hati kelas berat dapat keluar dari lembahnya. Saya yang hanya bermodal pengalaman memang tidak mampu untuk membahasnya secara mendalam, hanya ingin mengetengahkan, sesuai "wangsit" yang saya terima, pakailah contoh Eko di dalam tayanganmu. Kembali kita semua tidak dapat menyembuhkan Eko, ia harus sadar sendiri. Namun di dalam bermasyarakat, apalagi kalau kita kebetulan menjadi "tokoh" atau memegang peranan, menjadi "leader", semoga kita sadar bahwa banyak manusia yang mudah menjadi orang sakit hati kelas berat seperti dia. Bila Anda tokoh di gereja, imam, uskup, seluruh Gereja bisa kena disikat. Bila Anda mewakili pemerintahan, sami mawon. Anda direktur suatu institusi, sarua keneh. Kesalahan Anda, sebagai oknum, akan dijadikannya kesalahan institusi. Kesalahan nenek moyang ratusan tahun lalu selalu diingat-ingatnya.

Seperti saya katakan, saya dapat berbantahan dengannya namun tidak akan membuat kebaikan bagi diri saya maupun dirinya. Hanya satu hal, mungkin memenuhi kebutuhannya (untuk dilayani) sama seperti pecandu rokok yang mendambakan nikotin. Tidak sehat maksud saya. Nah, saya manusia yang bebas dan mempunyai pilihan, berbantahan dan berdebat kusir dengan dia, atau tidak mengacuhkan capnya dan tidak membalas dengan cap lain sebab kalau demikian saya sama "sakitnya". Saya memilih yang kedua dan betapapun reaksinya atau cap tambahan lain kepada diri saya yang akan diberikannya, paling-paling saya akan buat menjadi tokoh di 'The Hurting People III' -). Salam dari Toronto, banyaklah berdoa untuk orang seperti Eko, hurting people kelas berat seperti saya juga sudah dan akan melakukannya lagi.

Home Next Previous