The Hurting People XXIX

Orang yang sedang terluka memang macam-macam ulahnya. Ada yang langsung mengembat orang yang melukai hatinya dan dibalas dengan 2 kali takaran :-). Ada yang tidak berani berkonfrontasi dan membahas isi, tetapi menyindir bak nenek nyinyir, menyerang pribadi dan berpraduga habis-habisan, seolah-olah ia dapat membaca hati semua manusia di dunia. Ada pula yang berteori macam-macam a la propesor linglung :-). Mas Noordin sudah menunggu-nunggu seri THP ini karena saya berjanji akan menulis soal orang Cina, Cina Indonesia tentu saja, sebagai kelompok THP. Bila Anda tidak 'comfortable' dengan kata Cina, apapun alasan Anda, gantilah di dalam hati Anda dengan Chinese, Tionghoa, Non-pri, WNI Keturunan, dsb. Memang, bagi sementara orang, kata itu traumatis. Bagi Cina yang mempunyai toko dan sedang tinggal di tanah air, kata itu sungguh menyeramkan. :-( Bagi saya, oke-oke saja dan akan saya jelaskan alasanku.

Seorang pemimpi kelas berat yang sedang hidup di awang-awang menganjurkan kira-kira untuk janganlah menjadi orang Cina yang mau dikotak-kotakkan. Orang gila saja tidak mau dimasukkan ke dalam kotak :-(. Silvi dan warga P-Net lainnya pernah berkata, kita tidak dapat memilih untuk dilahirkan sebagai Cina atau bukan, tetapi kita dapat memilih untuk bersikap sebagai orang Cina yang seperti apa. Betul sekali, dan tak perlu Anda merasa malu disindir dan dikatai bahwa kamu sendiri mengkotak-kotakkan dirimu. It is your right to feel that way. It is also your right to be proud of what you are. Janganlah membiarkan seorang manusia, baik ia berpretensi memakai jubah ataupun orang awam untuk mencoba membuat Anda merasa bersalah, 'instilling guilt feeling' istilahnya. Saya tambahkan, kita juga dapat memilih untuk tetap menjadi orang Cina THP atau yang sudah mengampuni mereka yang bersalah, apalagi kalau kita masih suka berdoa Bapa Kami :-).

Itulah sebetulnya esensi atau inti Anda menjadi Cina THP atau Cina yang oke, bebas merdeka dari rasa bersalah atau sakit hati. Mengampuni! Berbulan-bulan lamanya, di suatu masa dari hidupku, aku mengalami periode traumatis. Hati berbeban berat, memikirkan ketidak-adilan, tindakan rasialisme yang telah terjadi atas diriku. Bila pikiran itu datang sebelum aku tidur, dadaku serasa sesak dan sukar bernapas. Hanya karena aku seorang Cina, segala jerih payah dan usahaku amblas karena keputusan beberapa orang rasialis. Tetapi setelah melewati masa-masa yang sukar, dengan bekal iman yang lumayan, saya memang dapat memaafkan mereka yang sudah berlaku tidak adil kepada saya. Mereka menjadi rasialis karena mereka dididik sebagai 'racist', di dalam suatu sistim pemerintahan dan masyarakat yang subur dan mengijinkan terjadinya hal seperti itu, kalau bukan malah direkayasa. Saya harus mengampuni sebab bila tidak, sayalah yang akan mengalami pedihnya menjadi THP.

Yang lebih ironis lagi dari ulah manusia adalah menghantam orang yang sudah menjadi mangsa, 'victimized the victim', kata orang sini. Seorang diktator yang sewenang-wenang dan sedang dikutuki sedunia, dibelanya "mati-matian" demi "Hak Azasi Manusia" tetapi manusia yang hak azasinya sedang dirampas sehabis-habisnya, yang terpaksa harus menjadi pemborong bahan makanan, demi 'survival instinct', agar tidak sampai kehabisan, dihantamnya. Betul-betul tembakan membabi-buta yang sudah salah arah dan salah kaprah sebab penyebab orang sampai menjadi pemborong, malah dibelanya :-(. Kalau Anda termasuk mereka yang terpaksa sampai harus membeli susu beberapa kaleng, minyak, beras dan segala macam keperluan hidup lainnya, jangan memperkenankan diri Anda menjadi korban 'instilling guilt feeling' semacam itu. Ingatlah bahwa Anda tidak harus bertanggung-jawab kepada manusia, tetapi kepada-Nya semata-mata.

'Seventy Times Seven', judul suatu buku yang saya tengah baca, yang dikarang oleh pastor non-Katolik bernama Johann Christoph Arnold. Kata Johann, "It is impossible to tell someone HOW to forgive." Jadi saya juga tidak akan melakukannya. Namun, banyak contoh-contoh THP yang dibagikannya di dalam bukunya yang menyejukkan bagi saya membacanya, tidak seperti tulisan seorang yang mengaku pastor Katolik :-(. Ia menceritakan beberapa kisah THP orang Yahudi dan Negro yang terkena ulah rasialis. Kata Hela Ehrlich yang kehilangan kakek-nenek dari kedua ortunya maupun teman-temannya di kamp Nazi, pada saat ia memutuskan untuk mengampuni, "I sat down trembling, and as I did it dawned on me that if I looked into my own heart I could find seeds of hatred there, too. I realized that they are there in evey human being. Arrogant thoughts, feelings of irritation toward others, coldness, anger, envy, even indifference - these are the roots of what happened in Nazi Germany. I recognized more clearly than ever before that I myself stood in desperate need of God's forgiveness, and finally I felt completely free."

Saya memang sudah memaafkan mereka yang ber-rasialis kepada saya sehingga saya dapat tidur nyenyak dan dadaku tidak sesak lagi bila mengingatnya. Namun saya masih terus membutuhkan rahmat-Nya dari waktu ke waktu, untuk mengampuni mereka yang bersalah kepadaku. Anda yang sedang menjadi THP mempunyai pilihan yang sama, tetap tinggal di dalam lembah THP atau merangkak keluar dan menjadi manusia bebas merdeka kembali dari penjara bernama "sakit hati". Salam dari Toronto, semoga Mas Noordin mau merobek surat hutangku :-).

Home Next Previous