Suatu diskusi singkat di P-Net yang tidak berkembang lagi, sayang, mengenai soal bunuh diri, kita baca bersama beberapa hari lalu. Saya tidak pernah mencoba bunuh diri hanya mempunyai beberapa anggota keluarga yang mencoba bunuh diri dan satu dua berhasil. Saya juga bukan pakar urusan bunuh diri meski pernah mengikuti seminarnya. Jadi pengalaman saya serba terbatas tetapi sekarang ini, sehari-hari, saya atau bertemu atau ditelepon ortu yang anaknya mau bunuh diri :-(. Jadi saya katakan sayang diskusi di thread itu tidak mencerahkan saya. Mungkin THP ke 44 ini dapat merupakan pemicu sehingga bila ada pakar di P-Net (Bung Albert Maramis?) yang mempunyai pengalaman ataupun berkarya sehari-hari menghadapi orang yang mau bunuh diri, ia akan menulis.
Kemarin dulu saya bertemu dengan seorang ibu lagi, ia bersuami tapi suaminya termasuk kelompok "tough" alias tidak mau peduli dengan anak yang toxic, usir dan beres perkara. Suaminya tidak ikut "konseling amatiran" dengan Bang Jeha. Anaknya ada beberapa dan yang nomor dua, cewek, sedang toxic. "How come you call people toxic Pop?," kata anak kami yang tertua sekali-kali bila ia mendengar saya dan Cecilia mengobrol. "Because their behaviour is poisonous to other human-being and can get people killed," jawabku. Tadi saya ditelepon oleh si ibu THP, sebut saja namanya Putri. Anaknya yang sudah kabur-kaburan tertangkap polisi, naik mobil curian, beli bensin tidak bayar, kabur, ngebut, nabrak dan ringsek, lalu melarikan diri. Polisi berhasil menangkap puteri si Putri karena ada 'resume' sang anak di dalam mobil tersebut. Itulah ulah anak toxic, untung sekali yang ditabrak cuma benda mati. Minggu lalu, seorang anak toxic berusia 20 tahun menabrak mati seorang pastor yang nasibnya sedang sial karena mau membetulkan mobilnya yang mogok di pinggir jalan. Anak itu dikejar polisi dan ngebut di jalanan dalam kota dengan kecepatan 160 km/jam. That is why I call certain people toxic.
Nah, waktu saya bertemu dengan Putri ia sedang dalam keadaan senteres hebat atau hanya dapat bercerita dan menangis. Anaknya yang toxic berkelahi dengan anaknya yang tertua, saling jambak-jambakan sehingga Putri perlu menampar si toxic. Apa yang terjadi setelah kakak adik itu berkelahi, putri nomor satu makan satu botol Tylenol dan akibatnya harus masuk rumah sakit 3 hari. "Masih untung," kata Anda. Ia bukan orang Jawa jadi kurasa ia tidak menganggap ia sedang beruntung. Yang sedikit untung, ia tinggal di Kanada sehingga langsung si anak sulung akan menjalani konseling oleh sepikiater sepikolog secara intensip, agar usahanya menghilangkan nyawanya sendiri, tidak terjadi lagi. Masih untung yang kedua bagi Putri, anaknya yang toxic, belum terlalu toxic. Seorang temanku yang lain, THP-nya kepada polisi luar biasa sebab setelah ia menggampar anaknya, si anak lari keluar ke tempat telepon umum, memijit 911 dan dalam waktu beberapa menit, sang bapak malang sudah diborgol dan dibawa polisi untuk diinterogasi. :-( Saya katakan ke Putri (ia anak Asia), "This is a different country with a different rule of law than the country you and I grew up. There is no way you can hit your child and get away with it if she reports you to the police; it's called an assault." Ia hanya dapat termenung diseling isakan tangisnya. Mungkin lain kali bertemu, bila ia sudah lebih oke, apalagi bila dicerahkan dengan tayangan pakar soal bunuh diri, saya akan memberikan ia hal-hal yang perlu diketahui seputar anak yang mencoba bunuh diri dari pengalamanku yang terbatas. Salam dari Toronto.