Kemarin dulu, per japri, seorang warga Net ini setelah membaca salah satu komentar saya mengenai adanya orang dari Indonesia yang mengajukan permohonan menjadi refugee di Kanada, bertanya mengapa menjadi susah atau bermasalah. Yakni mengapa sukar untuk membentuk paguyuban kelompok pendatang baru asal Indonesia. Kalau Anda mempunyai akses ke Web, karena kutahu dikau tidak tinggal di Toronto, jawaban panjang lebarnya ada di Toronto Star hari ini, Jum'at 23 April di bagian 'Life-Health' berjudul 'Stress and pain of starting over'. Isinya adalah penderitaan warga THP yang termasuk ke dalam kelompok manusia bernama refugee claimant. Kumulai tayangan ini dengan beberapa petikan pernyataan mereka.
'My self-esteem was so low. I was from a country where I was the daughter of a middle-class professional. Here, I was no one. Refugee is such a negative word. People saw me as garbage.' (Refugee claimant dari Amerika Tengah.) 'I felt likea 200-pound bag of cement was always on my chest. There was so much stress I'd pinch my face and not feel it.'(Eno Causevic,Imigran Bosnia.) 'Everyone says you have to be positive. But when nothing happens, it's hard. Some days I feel empty, I feel "What is life actually?"' (Jasmin Geljo, aktor dari Yugoslavia.) 'My mother thought I was dead. I was hiding from her. I had nothing good to tell her. I'd always kept my problems to myself, I thought, "I can handle this."' (Maurice Adongo, mantan aktifis HAM dari Kenya.)
Anda yang sudah membaca pengalaman para imigran, terakhir melalui syering anak bae PAB yang mengungsi ke Australia, mengetahui bahwa tahun-tahun pertama hidup sebagai imigran adalah tahun penuh kesusahan. Dapat Anda bayangkan bahwa bila imigran saja susah, apalagi menjadi refugee atau pengungsi. Tidak heran orang-orang yang saya kutip pernyataannya di atas, menjadi THP. Sungguh merupakan tantangan untuk mengumpulkan para pengungsi yang kalau bukan 100%, hampir semuanya THP dan memberikan mereka lagi semangat untuk memulai "hidup yang baru". Itulah masalahnya.
Saya belum pernah berkecimpung langsung membantu kaum pengungsi tetapi saya mempunyai satu dua kenalan yang melakukannya. Dedikasi mereka luar biasa. Dahulu, saya suka kagum bila melihat kehebatan kerja teman-teman saya di paguyuban Katolik di kota ini. Dibandingkan mereka, tidak ada apa-apanya dedikasi teman-teman saya itu, yang sering-sering banyak pamrihnya bila bekerja, apalagi bila dimintai sumbangan :-). Bukan saja suatu kerja sukarela dan tidak dibayar, mereka yang berkecimpung di bidang hak asasi manusia ini, banyak yang tidak mengenal jerih payah, terkadang hanya tidur 3-4 jam dalam seharinya bila sedang sibuk. Yang lebih saya kagumi adalah karena Tuhan atau agama tidak pernah dibawa-bawa, jadi mereka benar-benar bekerja demi kemanusiaan guna meringankan penderitaan atau mengurangi ke-THP-an sesamanya.
Jelas para pengungsi ini sedang rendah PD-nya, tidak heran bila mereka tidak mau ikut berkumpul bersama-sama imigran yang datang sebagai 'independent', apalagi orang kaya raya yang masuk dengan modal atau investasi. Selain mereka malu harus menjadi pengungsi, sebagian tentu hidup di dalam keuangan yang serba pas-pasan. Kata seorang bernama Axelle Janczur, direknyatur komunitas kesehatan di kotaku ini bernama Access Alliance, "The stresses they face can affect their mental and physical health. Generally, the first few months up to a year after arrival is the honeymoon, a time of high hopes. Then reality hits: the struggle to learn English and get a job, the isolation, the culture shock. Some sink into depression."
Seperti pernah saya syerkan, terutama di milis 'Grief' P-Net, mereka yang sudah masuk ke dalam tahap depresi, pada umumnya tidak mampu keluar dari tahap itu dengan usaha sendiri atau tanpa bantuan orang lain. Sering mereka tidak sadar bahwa mereka berada dalam keadaan depresi. Oleh karena itu, sebetulnya mereka membutuhkan wadah untuk berkumpul bersama manusia yang lain, syukur-syukur yang berlatar belakang sama. Sering saya menjumpai THP dari masyarakat Timur, yang sudah menjalani konseling profesionil, mengeluh bahwa para sepikiater itu kurang atau sama sekali tidak menekankan terapi yang bersifat komunitas, tetapi individualis. Hubungan atau keharmonisan di dalam keluarga tidak penting, yang utama adalah kemerdekaan pribadi. Untuk mereka yang masih melekat ketimurannya, dimana keluarga adalah segala-galanya tentu saja terapi yang berbau "egois" ini sukar dicerna atau diterima.
Meskipun ini bukan serial 'Pengalaman Imigran Toronto' :-), di dalam serial itu saya berusaha menulis seimbang, apa yang baik-baik dan indah-indah serta menyenangkan, yang saya alami sejak saya tinggal di Kanada sampai saya sudah 'settled'. Hal-hal yang menyedihkan, antaranya mencuci mobil dengan air minum ya Romo Kus :-), dan banyak hal yang membuat saya jadi THP sesaat, juga saya tulis. Namun, satu hal saya sadari, sampai dengan Anda mengalami sendiri, betapa dapat menyedihkan dan senteresnya pindah sebagai imigran, segala yang saya tulis tidak akan mempersiapkan Anda dengan akibat Anda dapat menjadi THP kelas berat. Namun demikian, melalui serial ini, semoga Anda dapat "melihat" bahwa Anda tidak sendirian bila Anda masuk ke dalam kelompok THP. Ingatlah lagi, seberapa gaswatsnyapun situasi Anda, akan selalu ada orang yang lebih-lebih lagi menyedihkan keadaannya. Saya tahu bahwa hal itu tidak akan menghibur Anda bila Anda sedang jadi THP kelas berat, tapi berprinsiplah, 'habis gelap kan terbit terang'. Saya yakin Anda akan melihatnya, dan bila Anda kaum atau calon pengungsi, malam ini saya akan berdoa untuk Anda dan keluarga Anda, dimana saja Anda berada. Salam dari Toronto.