The Hurting People LVII

Anda pembaca setia serial THP-ku ini mungkin hapal atau ingat, bahwa tidak ada satupun kisah gembira di serial THP yang pernah kutayangkan, apalagi yang dibumbui humor sego t...k, yang ternyata tidak sopan bagi orang Jawa :-). Tapi hari ini aku berbahagia dapat mendongengkan kisah seorang warga THP yang telah beberapa bulan kutemani. Beritanya, terutama untukku, berita gembira. Di dalam hidupnya selama ini, banyak sekali palu godam kehidupan yang telah menghantamnya. Ia salah beli "lotere", suaminya toxic bukan main, bukan saja ia dicampakkan, hartanya ludas akibat ulah si toxic. Praktek medisnya dahulu sukses, sampai ia sudah bersiap-siap pensiun di usia yang masih muda, sebelum ia berkenalan dengan si suami yang abusive. Ia mendapat 2 anak bawaan suaminya yang masih bayi di kala ia menikah, dan sesudah menjadi remaja, menjadi 2 anak toxic juga. Tiga palu godam itu masih belum cukup. Karena tidak tahan hidup stress dan tidak bisa berkonsentrasi, ia kehilangan tempat prakteknya. Hampir setiap ia bertemu denganku, ia menangis dan terkadang tertawa, mirip orang gila memang. Akupun mungkin sudah sinting bila mempunyai kebutuhan seperti dia. Ya, awewek ini, kebutuhan 'love and belonging'-nya luar biasa.

Ia senang membaca buku sehingga semua buku di perpustakaanku kugali dan kupinjamkan, tentu yang kira-kira dapat membantu keadaannya. Kedua buku Melody Beattie, Codependent No More dan Beyond Codependency sudah kupinjami dan dipahaminya, tetapi tak dapat dipraktekkannya teori si Melody. Ya, cintanya adalah cinta yang mengikat, menghanyutkan, menjerumuskan. Itu sangat disadarinya tapi ia tak dapat keluar dari kekangan cinta "bego" itu. Entah berapa kali kuulang-ulang inti buku Melody ke doi, tetap saja ia hanya manggut. Entah berapa kali ia meneleponku di kantor, untung juraganku tidak tahu :-) dan kembali aku 'drill' apa yang perlu dilakukannya, apa pilihannya. Sami mawon sarua keneh tetap saja ia berada di dalam jurangnya. "I am not giving up on you D.," kataku. "But it's now all your choice, you can keep on coming to see me and I will give you listening ears, I can't do much for you anymore though."

Satu hal yang kukatakan dapat membawanya keluar dari jurangnya adalah pindah ke kota lain dan membuka praktek di kota tersebut. Suaminya sudah tidak ada urusan lagi dengannya, tetapi kedua anaknya masih mengintil dan menjadi parasit di dalam hidupnya. "If they would come with you and they agree to live by your rule in the new place, perhaps it's a good thing. They will be cut from their drug suppliers, from their toxic friends. They could go back to school, they will find different environment and hopefully it's better than our big city environment." Ia tidak pernah mampu melakukannya sampai beberapa hari yang lalu ketika ia mendapat tawaran 'deal of a lifetime' katanya. Ia diberikan tempat praktek gratis atau hanya perlu membayar se-dollar oleh dokter yang lama yang akan pensiun di suatu kota kecil di negeri ini, yang jauh sekali letaknya dari Toronto. Ia disewakan rumah 3 kamar yang hanya $ 350 ongkosnya. Setelah "berjuang" lahir dan batin, berhari-hari, katanya kepadaku, ia menandatangani kontrak hukum dengan dokter yang akan pensiun itu untuk menjadi dokter di kota tersebut. "I am very happy for you," kataku sebelum kami bersalaman dan lalu ia memeluk daku, hanya untung ia tidak seperti Pram yang menciumiku :-). Tempat tinggalnya konon suatu resort dipinggir danau yang indah dan ia mengundang Bang Jeha untuk canoeing, tiap waktu katanya. Jadi Cak Indratmo, apakah sudah kau hitung-hitung bilamana dikau bisa kemping bersama? Tempatnya akan lebih dekat ke kotamu dibanding kotaku :-). Salam dari Toronto, sampai kisah THP berikutnya.

Home Next Previous