Anda pernah menjadi THP? Banyak yang manggut, pasti! Anda pernah menjadi THP kelas berat? Ada lagi yang manggut, tidak kalah pastinya. Anda pernah merasa bersalah, 'guilt feeling' istilahnya, sewaktu menjadi THP? Ada yang jujur dan mengangguk lagi. Ya pren sadayana, perasaan bersalah adalah sesuatu yang lumrah bagi kaum THP, seperti halnya kalau makan cabe mulut menjadi pedas. Masalahnya, berapa lama Anda berada di dalam suasana "rasa bersalah" itu dan lalu yang lebih penting, apa yang Anda lakukan sebagai penyilih atau penebus "dosa" Anda? Begini kisahku berjumpa dengan seorang ibu THP temanku kemarin.
"I am so happy, she is at home now," kata doi memulai pembicaraan. "I am happy for you too," kataku. Anaknya ini sudah hampir setengah tahun kabur atau tepatnya digondol seorang anak toxic dari Amrik, tak perlu kusebut kotanya, yang pasti bukan dari Huntsville, Alabama. :-) Jelas awowok 20-an tahun dan awewek 17 tahun hidup bersama, nasihat si Indah anaknya Liong Kim untuk jangan 'goes all the way' sebelum menikah, telah dilecehkan mereka. Bagaimana keduanya mendapat nafkah meski konon tidak bersekolah tidak bekerja, walahu'alam tetapi selama bermodal nekad, relatif mudah untuk mencari uang di Amrik. Bukan ini yang ingin kusyer. "How come she came home, what's her motivation?," tanyaku lagi kepada doi yang tentu masih kwatir terus, kalau- kalau anaknya kabur lagi. "I promised her a trip to Europe." "Oooh, I see." Mana ada anak berumur 17 tahun tidak mau pulang diiming-imingi jalan-jalan ke Eropa yang mahalnya aujubilah. Tapi dengarkan apa yang doi, si THP lakukan. "She hugged me when she saw her room." "What happened to her room?" "You know it was a mess. Nail polish marks were all over the wall and the door. That was the things she did when she was angry. She just threw and splashed her nail polish to the wall. So the room looked awful. So we renovated her room. We put new carpet and her dad put a new wallpaper. I also bought her a new futon (kursi yang dapat dijadikan ranjang). She always wanted a futon but I never considered buying it for her."
Saya memang tidak dapat berkata apa-apa selain banyak mengangguk dan mendengarkan apa yang diceritakannya kepadaku. Hanya dalam hati saya kasihan kepadanya namun sama sekali tak kuperlihatkan. Mengapa saya kasihan? Stay tune. "So how long will she be in Europe?" "Three weeks, with us all. However I am taking one day at a time these days. She just came the day before yesterday, I don't know what will happen. Her boyfriend is in California (ia menyebut suatu kota) but I don't think he has called her yet. You know what?" "What?" "I found an email from her today to her friend, telling him she will return after she comes back from Europe." "Oh my, I told you the Internet is bad and not to snoop." Tidak pren, bohong, saya tidak bisa berkata-kata, sungguh, sebab saya melihat cukup jelas apa yang sedang terjadi. Saya hanya dapat berkata, "Yes, take one day at a time, enjoy her being nice with you from day to day and don't think too much into the future."
Ibu THP ini sedang "membeli kasih" anaknya dan ia akan kecewa berats sekali. Anaknya pulang bukan karena kesadaran "Si Anak Yang Hilang" tetapi karena hadiah atau penyilih perasaan bersalah. "Ah Mas, Anda kog pesimis," kata Anda kaum optimis. Itulah, soalnya saya sudah cukup banyak melihat contoh soal klasik seperti di kisahku kali ini. Anak yang kabur-kaburan pada dasarnya ahli manipulasi meskipun berlainan keahliannya dengan para politikus di Indonesia, kaum manipulator tingkat pakar. Setelah kembali dari jalan-jalan ke Eropa, atau ia akan meminta mobil yang baru, atau ia akan kabur lagi ke Amrik. Syukurlah kalau Anda yang benar, bahwa anak itu sudah insyaf. Meski hanya setitik harapanku ke arah itu, tentu aku akan bergembira bersama temanku di atas bila tiga bulan lagi ia melaporkan anaknya sudah benar-benar insyaf, mau bersekolah lagi, mengerjakan kewajibannya di rumah dan menjadi anggota masyarakat yang bertanggung-jawab. Salam dari Toronto.