Meski tayangan orang sakit hati sudah menghilang dari P-Net, ide saya untuk melanjutkan serial THP tetap berkembang subur, apalagi di negeri yang penuh dengan orang terluka saat-saat ini, yang tentu Anda semua maklum. Bagi saya, manusia yang terluka hatinya dan tidak atau belum dapat memaafkan orang yang melukainya adalah manusia pembawa beban. Beban ini besarnya dapat sebesar kerikil, dapat sebesar batu kali :-). Saya jadi teringat jaman masih suka main gundu dan mengantongi gundu hasil kemenangan di saku celana. Dari waktu ke waktu, tangan kita masukkan ke kantong dan kita goncang-goncangkan gundu di kantong itu pertanda kita "kaya raya" alias banyak modal gundunya. Show off, kata anak Amrik/Kanada. Nah, yang celaka adalah kalau orang mengantongi kerikil dan menggoncangkan-goncangkan alias "show off" sang kerikil ya :-).
Kerikil atau batu kali yang kita bawa sebagai beban kehidupan itu, mungkin dapat disamakan dengan kalau kita sedang berkanu di sungai kehidupan. Beban hidup atau kanu kita menjadi bertambah berat dan salah-salah atau nasib sial, kanu kita dapat kandas bila menjadi terlalu berat. Saya menjadi teringat lagi pengalaman canoe camping saya dengan Cecilia, isteriku dan Silvana, ibu admin kita serta 3 teman lainnya di musim panas lalu di danau-danau cagar alam Algonquin. Suatu ketika, kami harus melalui suatu sungai kecil (creek) yang airnya dangkal sekali karena tidak hujan-hujan. Pendayungan menjadi susah, melelahkan dan lambat sekali sebab terkadang kami harus memakai dayung untuk menarik atau mendorong perahu. Mirip dengan sungai kehidupan kita. Kalau saja kita dapat melemparkan semua kerikil dan batu yang selama ini membebani diri kita ke dalam sungai, bukankah perahu akan menjadi lebih ringan dan lagipula tinggi air sekaligus akan menaik? Memaafkan adalah sama dengan melemparkan kerikil atau batu kali kita. Kasihan orang terluka yang terus membawa kerikil di dalam hidupnya. Kasihan orang yang bersikap "tiada maaf bagimu". Berkata memang mudah, melalukan sendiri tidak gampang. Forgiveness! Berapa kali kita harus mengampuni? Anda semua tahu sendiri jawabnya. Kalau lupa, tanya "frater Heru" :-) ahli matematika kita di P-Net :-).
The London Times suatu ketika mengundang para penulis untuk memasukkan
karangan berjudul 'What's Wrong With The World?' Seorang pengarang favoritku
(hehehe :-) pengarang mana yang tidak saya jadikan favorit), G.K. Chesterton
mengirimkan karangan terpendek sbb.
Dear Sirs:
I am.
Sincerely yours,
G.K. Chesterton.
Ya, sayalah, kalau ada yang salah dengan dunia ini, penyebabnya. Bukannya saya berkarya untuk memperbaiki segala yang rombeng, yang lusuh, yang bobrok, saya berkelahi dan berhantam-hantaman dengan manusia lainnya yang kemungkinan bukanlah biang keladi atau penyebab kerombengan, kelusuhan dan kebobrokan yang saya lihat dan alami. Bukannya saya memaafkan oknum ataupun kelompok yang pernah bersalah kepada saya, saya hantam balik karena mereka pernah melukai saya. Peter Kreeft, seorang dosen filsafat di Boston College, USA, di dalam bukunya berjudul 'Making Sense of Suffering' bercerita sbb. Salah seorang nabi Islam (tidak disebutkan siapa oleh Peter) berkisah. Ada seorang umat Allah yang berani berkata kepada-Nya, "Berikanlah apa yang kuingini di dalam hatiku." Kata Beliau, "Engkau tidak tahu apa yang kau minta, namun terjadilah." "Brak gedubraaakkkk kaboommmm," rumah tetangga sebelahnya hancur berantakan. Ya, sang tetangga adalah orang kaya raya yang selama ini diirinya. Baru saja ia keluar hendak melihat sendiri apa yang terjadi, ia berpapasan dengan seorang anak yang dibencinya. Anak tersebut langsung hilang dari permukaan bumi. Kata si orang malang (yang masih ada rasa compassionnya, kemungkinan ia manusia Indonesia), "Jangan, hentikanlah, sudah cukup!". Kata Peter Kreeft, "Lihatlah ke dalam relung-relung hatimu hai orang yang terluka dan sedang menderita, engkau akan melihat kebencian, kedengkian, napsu, ketamakan dan keberhalaan."
Sudah cukup panjang ya, namun saya masih ingin menuliskan pokok pikiran saya yang ketiga. Di kapal terbang yang membawa saya dari Toronto ke Jakarta, saya membaca a.l. Readers Digest edisi Kanada, January 1997. Satu cerita berjudul 'The Cellist of Sarajevo' mengharukan hati saya waktu membacanya. Alkisah, seorang pemain cello di kota itu yang bernama Vedran Smailovic, adalah orang terluka hati atau masuk kelompok THP. Untuk menghibur dirinya yang terluka hati sangat berat melihat derita dan malapetaka yang menimpa Sarajevo, ia menyalurkan bakat bermain musiknya. Ia bermain cello bagi dirinya dan teman sekotanya di bawah hujan peluru dan dentuman meriam. Musik atau pagelaran solonya, yang dilakukan bak orang sinting, ditujukannya bagi martabat manusia, bagi mereka yang terhempas dan terkandas karena peperangan, bagi compassion dan perdamaian di antara umat manusia yang masih berkemauan baik. Seorang pengarang musik Inggris lalu menciptakan musik cello berjudul 'The Cellist of Sarajevo'. Yang mengharukan hati saya adalah ketika membaca Yo-Yo Ma, seorang pemain cello Kanada kelas dunia memainkan musik itu di suatu festival cello internasional di kota Manchester, Inggris. Anda harus membaca karangan di Readers Digest itu. Saya tak dapat melukiskan mengapa saya menitikkan air mata di kapal terbang waktu membacanya. Saya sangat terharu ketika pengarang menceritakan saat Yo-Yo Ma dan Vedran Smailovic berpelukan dan bertangisan di akhir pagelaran. Ya, kita semua manusia terluka. Seperti juga Vedran, kita membutuhkan penyaluran dan "air mata" untuk "meratapi nasib" dan berjumpa dengan teman senasib, sebelum kita dapat melemparkan kerikil yang selama ini tinggal di dalam diri kita. Semoga seperti Chesterton, kita sadar bahwa semua hanya mungkin bila dimulai dari kita sendiri. Salam dari kota Jakarta di hari-hari terakhir tahun 1996 ini.