Sekitar dua minggu lalu, di suatu pertemuan antar pendatang atau imigran baru kota Toronto ini untuk saling tukar-menukar informasi, saya bertemu dengan seorang sahabat saya. Sekitar 10 tahun lalu, ia dan saya beserta satu dua orang lainnya memberikan cem-macem ceramah bagi angkatan waktu itu. Jadi saya cukup kenal akan doi dan isterinya. Menyingkat cerita, isterinya terkena kanker rahim stadium lanjut dan beberapa bulan meninggal. Doi hidup menduda beberapa lama dan sekitar 2 tahun kemudian, menikah lagi. Wadow wadow gosip dan cemooh yang beredar di kota ini pren sadayana. Dasar lelaki doyan lah, emang laki-laki engga bisa menang sama perempuan lach, kog cepet banget udah kawin lagi, dsb., dst. Itulah nasib yang akan menimpa seorang duda atau janda yang menikah kembali, diomongkan orang dan syukur-syukur tidak menjadi THP kelas berat meski pasti menyinggung hati.
Anda yang sudah sering membaca syering kehidupan saya mungkin masih ingat bahwa saya dan Cecilia berprinsip yang sama. Bila salah satu dari kami amblas lebih dahulu, langsung ijin diberikan untuk si 'survivor' kalau memang bertemu dengan calon 'for better for worst' berikutnya, untuk menikah kembali. Menurut hemat kami, ini bukan suatu tanda ketidak-setiaan atau sudah tidak ingat lagi kepada si mati, tetapi malah sebagai tanda cinta kami yang abadi agar pasangan kita dapat lekas keluar dari proses THP-nya. Lagipula anak-anak pun sudah "bisa cari makan sendiri" alias tidak akan sengsara bila sampai sang ibu/ayah tiri "judes" :-). Nah, kolom Ann Landers di koran hari ini memicu saya untuk melanjutkan lagi salah satu serial tulisan saya di Paroki-Net yang sekarang hanya kutulis untuk Anda semua warga Paroki-Sby.
Judul tulisan adalah 'many widows long for someone new to love'. Suami tokoh yang diceritakan Ann meninggal 10 tahun lalu di usia 47 tahun dan ia sendiri baru berusia 42. BTW (by the way), usia tidak merupakan faktor yang perlu dipedulikan sebab malah semakin tua seseorang, semakin ia membutuhkan teman untuk menjalani sisa-sisa hidupnya. Kata doi di suratnya ke Ann, "My life is filled with family, church and civic activities, but I must confess this does not fill the void I fell. I long for someone to love, and with whom I can talk, cuddle, laugh and play. I miss the companionship and intimacy of marriage and would like to have that again." Ya, ia merasakan kehilangan sekali akan suaminya dan bagi doi, menikah kembali bukan berarti ia sudah tidak sayang atau tidak akan ingat lagi kepada sang suami tetapi karena ia sangat mengagumi keindahan hidup pernikahan.
Ibu mertuaku (hehehe, kesempatan ceritain mertua :-)), menjanda sejak beliau berumur 43, tidak beda jauh dengan si nyonya di atas. Ia tidak pernah tertarik untuk menikah kembali dan "bintang jasa" yang "disematkan di dadanya" adalah ia mampu hidup menjanda, ditinggalkan 6 anak dari remaja sampai ke bayi berumur 4 tahun. Itulah salah satu kebanggaannya bila ia menceritakan pengalaman hidupnya kepada para pengagumnya :-). Tekanan (baca: cemoohan) masyarakat Indonesia pada saat ini saja masih sedemikian seperti dialami temanku, apalagi di akhir tahun 50-an yang lalu. Sebetulnya lagi, masyarakat Baratpun masih sering bertanya-tanya "mengapa" bila seorang janda atau duda ingin menikah lagi. Si janda di kisah Ann, karena sudah mengalami sendiri ke-THP-annya ditinggalkan sang suami, ketika pamannya meninggal berusaha menjelaskan kepada sedulurnya ketika bibinya ingin menikah kembali. Namun ia tidak yakin apakah "jualannya" berhasil atau mereka lalu dapat menerima atau mengerti. Inilah yang kukatakan bedanya seseorang yang pernah THP dan mengalami sendiri, dengan yang tidak pernah. Titik tolak pandangan dan pemikirannya tidak akan sama dengan orang yang "normal" :-).
Saya teringat lalu kepada sedulurku yang lain di kampung Melayu. Duda juga dan ditinggal mati relatif masih muda. Ia ingin menikah kembali tetapi "minta ijin" kepada anak-anaknya. Lha wong sang anak tidak ada satupun yang bernama Bang Jeha atau pernah membaca tayangan ini bahwa oke sekhalei untuk laki-laki maupun perempuan menikah kembali bila ditinggal mati sang pasangan. Akibatnya ya seumur hidup beliau hidup menduda dan mungkin karena sering senteres, mungkin lantaran tidak ada lagi yang memelukinya, meninggal juga dalam usia yang relatif masih muda. Hampir tidak pernah rasanya di serial THP kututup dengan pertanyaan syering tetapi karena hanya 100 orang yang ngerumpi di milis ini, mungkin Anda yang sudah menikah, mau menjawab pertanyaan syering, "Apakah aku rela dan berbahagia bila isteriku/suamiku menikah lagi bila aku kojor lebih dahulu?" Selamat menulis, nuwun sewu sadurunge, salam dari T.O.