The Hurting People LXI

Anda yang pernah membaca syering sebagian kisah kehidupanku di dalam tayangan serial 'Pengalaman Imigran Toronto' mestinya setuju bahwa saya bukan hanya menulis yang bagus-bagus mengenai Kanada, tetapi juga yang bego dan yang menyedihkan maupun kisah-kisah THP seperti di serial ini. Kemarin saya sudah membaca berita sepintas di koran mengenai bunuh dirinya seorang ayah bersama anaknya berumur 3 tahun. Ia membuang dirinya ke muka kereta bawah tanah atau 'subway' dan membunuh juga anaknya dengan perbuatan nekadnya itu ketika kereta menggilas tubuhnya dan tubuh puteranya :-(. Hari ini beritanya masuk menjadi berita utama di halaman muka Toronto Star. Baru kuketahui ia imigran dari Srilangka yang bukan saja menjadi THP kelas berat karena belum lama di-PHK, juga sedang dirawat karena depresi dan paranoid. Meski ia dipecat awal tahun ini, sekitar 2 bulan lalu ia sudah bekerja lagi sebagai buruh pabrik. Tidak dijelaskan di koran apa latar belakang pendidikan ayah "toxic" berusia 41 tahun ini, yang menurut sedulurnya tidak pernah mengeluh soal keuangan atau senteres sehubungan dengan pekerjaannya.

Kata Dr. Sooria Balan, orang sekampung yang merawatnya, si ayah Jeyabalan Balasingam berhenti meminum obat anti depresinya atau tidak memakainya secara teratur lagi. Ia dari suku Tamil di Srilangka alias kelompok minoritas, yang "terhempas dan terkandas" di kota 3 juta imigran ini. Anak keduanya, seorang puteri, baru saja lahir 19 hari lalu dan kemungkinan, bertambahnya anggota keluarga baru ini memperbesar depresinya :-(. Kata koran lagi, Dr. Balan dan beberapa aktifis masyarakat Tamil di kotaku ini memang menyitir meningginya warga paguyuban mereka yang terkena depresi, sakit mental dan mempunyai keinginan bunuh diri. Banyak yang tidak mau mencari pertolongan. Banyak yang menjadi korban karena sukarnya mencari pekerjaan dengan keahlian yang mereka miliki, tidak mudahnya menyesuaikan diri dengan pola kehidupan masyarakat Barat, dihantui oleh perang yang pernah dan masih melanda tanah air mereka.

Karena tidak begitu banyaknya rakyat atau imigran dari Indonesia di kota ini, sedikit banyak saya cukup tahu. Tidak ada yang pernah mencoba bunuh diri atau berhasil bunuh diri. Satu dua memang ada yang menjadi gila atau schizoprenic istilah kedokterannya karena tidak tahan menghadapi tekanan hidup. Menurut hemat saya, para imigran Toronto dari Indonesia cukup oke di dalam hal bantu-membantu sesamanya, wan-wan-sib atau teman "senasib sepengungsian". Tingkat pendidikan kami yang boleh dikatakan cukup lumayan, mungkin membantu untuk lebih tabah di dalam menghadapi tekanan hidup. Sebagian besar orang yang kukenal beriman alias mempunyai agama dan jelas tawakal adalah suatu 'virtue' atau alat yang ampuh di dalam menghadapi senteres. Berprinsip EGP, HIV, 'to let go', 'tomorrow is another day', merupakan salah satu cara ampuh hingga tidak perlu kita membuang diri ke muka kereta atau loncat dari jembatan. Ya, saya pernah melihat seorang perempuan kojor terbujur di Highway 401 pada saat daku pulang bersepeda dari kantor. Ia loncat dari atas jembatan di Don Mills Rd., trayekku pulang pergi ke comberan ogut. Perbuatan nekad seperti itu akan menciptakan banyak sekali manusia THP, mereka yang 'compassionate' dan sempat menyaksikannya, supir kendaraan atau kereta bawah tanah itu yang "terpaksa" menggilas si nekad :-(, terlebih-lebih lagi keluarga si mati. Jadi pren sadayana, bila hari-hari ini Anda sedang bersedih, kecewa, senteres atau menjadi warga THP, yakinlah bahwa masih banyak orang yang lebih-lebih lagi sengsara dan THP-nya dibandingkan Anda. Count your blessing, sedikit ironis bahwa kita jadi lega membaca "nasib" lebih buruk orang yang lainnya tetapi itulah yang namanya "universitas kehidupan". Sampai tayangan mendatang, salam dari Toronto, mari kita mengingat kaum THP sedunia dalam doa-doa kita.

Home Next Previous