The Hurting People LXII

Tidak mudah memang menjalani hidup sebagai seorang imigran. Di tayangan yang lalu saya sudah menceritakan kisah seorang imigran Srilangka yang bunuh diri karena depresi. Tidak banyak data yang diceritakan di dalam koran mengenai mengapa ia terkena depresi. Meski pernah di-PHK, sejak Juni lalu ia sudah bekerja lagi. Mungkin juga kelahiran anak keduanya, seorang puteri, membuat ia menjadi nekad di dalam keadaan depresinya. Yang kelihatannya terjadi, sebagai seorang imigran Asia, ia tidak mempunyai kelompok pendukung untuk mencurahkan isi-hatinya karena orang Asia sering menganggap aib, keburukan atau kelemahan diri sendiri diceritakan di muka orang asing. Nah, kali ini saya ingin menceritakan kisah THP seorang imigran dari Shanghai, Tiongkok.

Ia seorang perempuan bernama Yu-Sze Chu Chan. Ia menjadi THP karena ibunya meninggal setelah menjalani pembedahan jantung untuk perbaikan katupnya. Kematian ibunya adalah awal dari kisah panjang ke-THP-annya sampai hari ini. Mengapa? Karena sudah 6 tahun berlalu sejak ibunya meninggal ia masih terus memperkarakan dokter yang melakukan pembedahan, Hugh Scully, seorang ahli bedah jantung terkenal di kota Toronto ini. Sejak ibunya meninggal itu, entah karena obsesi entah sudah "kepalang basah", ia mengalami banyak hal yang membuat THP-nya semakin bertambah. Kesehatannya menjadi mundur, pernikahannya menjadi tidak sehat, ia sudah tidak mampu untuk bekerja. Sudah beribu-ribu dollar dikeluarkannya bagi biaya ahli hukum, belum waktu yang dipakainya untuk memperoleh segala macam dokumen dari rumah sakit maupun dokter pemeriksa mayat. Di dalam tuntutannya kepada Dr. Hugh dan rumah sakit, ia mendakwa bahwa pada saat operasi si dokter melakukan kesalahan atau melukai dinding jantung ibunya sehingga mengakibatkan sobekan sebesar 4.5 cm yang akhirnya berakibat fatal karena sang jantung pecah. Tentu tuntutannya ia dasarkan kepada beberapa pendapat dokter ahli lainnya dan tidak begitu penting apa yang akan terjadi di sidang pengadilan nanti. Yang pasti si Yu-Sze sedang menjadi THP setiap hari.

Ini yang dikatakannya kepada wartawan koran, "I keep fighting because I want justice. I can't give up. I have to finish this, otherwise I don't feel happy. I couldn't be happy because I know my mother - she loved life. I'm doing this for her." Ia tidak mau dan tidak bisa berhenti meski anggota keluarganya termasuk suaminya sudah memohon memelas agar ia menghentikan proses tuntutan hukumnya. Kembali, data atau cerita koran terlalu sedikit untuk memahami mengapa Yu-Sze ngotot "berkelahi" dengan sang dokter dan R.S. Apakah ia seorang anak yang sangat berbakti dan sayang kepada ibunya, apakah ia sedang mengikuti "nafsunya" atau kebutuhannya untuk mendapatkan sesuatu yang bernama 'power' atau kontrol? Membaca kisah THP-nya, saya jadi teringat kisah seorang ibu yang pada suatu ketika ikut ngerumpi di salah satu 'grief support group'-ku.

Ketika ia datang atau mulai ikut, keadaan kesehatannya sangat memprihatinkan. Ia diberi monitor jantung dan diberikan obat untuk menurunkan tekanan darah tingginya. Selama ia berbicara, setiap 2-3 kalimat ia harus berhenti untuk mengontrol emosi dan terkadang tangisnya. Anak kesayangannya, si bungsu yang baru berusia 19 tahun, hanya di dalam waktu beberapa minggu, meninggal! Anak ini kuat seperti gajah sebab mendapat beasiswa masuk ke satu universitas di Amrik karena kehebatannya bermain 'football', salah satu jenis olahraga yang paling populer disana. Singkat cerita, si anak jatuh sakit, mesti masuk ke rumah sakit, menjadi bengkak tubuhnya dan diagnose dokter pating seliwir alias tidak ketemu penyebabnya. Seminggu dua minggu, si bungsu meninggal dan si ibu menjadi setengah sinting.

Kami para warga paguyuban "anak lama" yang sudah tidak menangis lagi kalau menceritakan mengapa kami ikut 'grief support group' (umum di suatu kelompok pendukung, ada prosedur 'check in', perkenalan diri kami mengapa kami ikut) mulai berpikir bagaimana untuk membantu si ibu keluar dari "jurangnya". Jelas sekali kebenciannya kepada dokter yang menangani anaknya. "You killed my son!," katanya memperagakan jeritannya kepada si dokter ketika bertemu sesudah anaknya meninggal. Kami lalu menyarankan kepadanya agar ia berbuat sesuatu. Tidak kami katakan tentunya, semoga di dalam segala kesibukannya, ia lalu dapat sebentar berhenti berduka dan membuat kesehatannya tidak semakin merosot. "Gather all the facts and the historical data surrounding your son's case from his illness or admission to the hospital until he died. Then write a complaint letter to the Ontario Medical Association." (Ya, anaknya masuk ke rumah sakit di propinsi Ontario, Kanada.) Tidak pernah terpikir olehnya untuk melakukan hal itu. Ia menjadi bersemangat dan mengangguk. Ia manggut ketika kami tanyakan apakah ia mampu melakukannya. Hampir selalu kita manusia diberi pilihan di dalam menghadapi sesuatu permasalahan. Yang paling umum adalah 'to let go', EGP (Emang Gua Pikirin) kata anak sekarang, atau 'to do something', lakukan sesuatu sehingga ke-THP-an kita tidak menjadi suatu depresi seperti dialami si imigran Srilangka. Akan halnya si imigran Tionghoa yang memicuku menulis, ia sudah memilih untuk 'do something'. Tentu jauh lebih oke daripada mengakhiri hidup ini. Semoga Anda juga diberikan banyak pilihan bila suatu ketika Anda menghadapi permasalahan. Salam dari Toronto.

Home Next Previous