Kemarin dulu saya mendapat surat seterom dari sohibku, seorang anak bae di Betawi yang sedikit mengeluh atau bermimpi. Kalau saja Natal di Indonesia dapat dirayakan seperti di kampungku, alangkah asyiknya, begitu kira-kira sebagian isi suratnya. Langsung saya memberikan sisi sudut lain dari suasana Natal di kotaku, kota terbesar di negeri yang kata sementara orang "negeri kristen" ini. Kataku, sebagian orang ingin tidak pernah ada hari Natal, apalagi Natal saat ini adalah yang teristimewa katanya sebab Natal terakhir di tahun yang bermulai dengan angka 1. Ya, tahun baru Y2K adalah sesuatu yang harus dirayakan secara lebih hesbats. Jadi orang harus bergembira dua tiga kali lipat sebab bernasib mujur dapat mengalami tahun 2000. Mereka yang sedang mengalami penderitaan dan kesusahan, menjadi berlipatan bebannya.
Nah, kemarin saya bertemu dengan seorang ibu THP kelas berat karena beberapa hari yang lalu, tidak tahan dengan tekanan Natal dan Y2K, anaknya mencoba bunuh diri! Ia masuk ke dalam mobil di garasi, menyalakan mobilnya dan menunggu malaikat elmaut menjemputnya. Datang seorang temannya yang singkat cerita, berhasil menunda atau memperpanjang kesengsaraanya. Sang anak memang sedikit 'toxic' alias mempunyai masalah sosial. PD-nya juga rendah sehingga ia berhenti bersekolah. Dua bulan lalu pacarnya kabur dan ia sedang berduka nestapa jadinya. Tidak mampu menanggulangi tekanan hidup itu, ditambah tekanan dari mereka yang menyerukan agar kita semua mesti bergembira dan berbahagia karena esok Natal, doi menjadi nekads.
"What should I do?," tanyanya memelas sambil basah wajahnya. "I don't know, my sons have never tried to commit suicide," kataku mengulur waktu mencari akal. "Did he get psychiatric assessment at the hospital?" "No, that's why my husband was so angry at them. Before he hung up the phone he screamed, "I will hold you guys accountable if my son commits suicide again," katanya. "How old is he actually?," tanyaku. "Eighteen." "No wonder, that's why they didn't dare to do psychiatric assessment if he didn't want to. They could be sued or liable if he takes them to court," kataku masih mengulur waktu. Akhirnya aku teringat akan satu biro konseling yang biasa tersedia bila seseorang bekerja dan memang kantor si ibu mempunyainya, Employee Assistant Program. Kuanjurkan doi untuk secepatnya meminta bertemu dengan seorang konselor, biasanya sepikolog profesionil atau sudah biasa menghadapi baik orang yang mau bunuh diri atau anggota keluarganya.
Ya prens sadayana, itulah contoh bahwa Natal dapat membawa perkara. Bayangkan akan seperti apa dampaknya terhadap keluarga si 'pembunuh diri' bila misinya sempat sukses dan di Hari Natal mereka harus mengubur anaknya. :-( Sudah jatuh, ia masih tertimpa tangga ketika ia mengunjungi dokter keluarganya. "I will not give you anything. You can keep on talking to me," kata si dokter yang kuyakin anaknya tidak pernah mencoba bunuh diri. "Compose and collect yourself," kata doi lagi ketika mungkin melihat sang pasien menangis tersedu- sedu di kamar prakteknya. "You know what, right now you are your only best friend," kataku lagi ke doi. Ia sedikit bingung. "Be good to yourself, try to do something that you enjoy. I just went to see a good movie last Sunday, The Green Mile. Perhaps you may want to see it too. It told a story about people who are not as fortunate as us, the death row inmates." Doi mengangguk dan menghapus air matanya. Tidak tega rasanya untuk menganjurkannya ke gereja di hari Natal esok, tidak sreg juga bagiku untuk mengucapkan Selamat Hari Natal. 'Tis the season to be jolly', bunyi suatu lagu yang tadi kudengar beserta kiriman kartu seterom Met Natal dari sohibku. Semoga ya bagi Anda dan bila demikian halnya, mungkin Anda mau membantu mendoakan warga THP seperti si ibu sekeluarga di kisah dongengku hari ini dan paguyuban THP lainnya. Terima kasih atas nama kemanusiaan, salam dari Toronto.