Beberapa hari yang lalu saya berkenalan dengan salah satu THP. Menarik mendengarkan pengalaman luka hatinya. Memang manusia mempunyai ambang rasa atau kadar kejenuhan sebelum ia menjadi sakit hati atau marah. Untuk yang seorang, membaca ucapan imam di dalam sakramen pengakuan dipakai seenaknya di dalam konteks lain, sudah membuatnya meloncat ke langit. Untuk yang lainnya, membaca kata Cina kurang ajar sudah membuatnya marah dan sakit hati. Nah, ayah yang saya kenal ini termasuk 'the hurting people' karena ulah anaknya. Jarang saya menjumpai orang kulit putih seperti dia. Untuknya, anak adalah investasi atau harapan masa depan, persis seperti sikap banyak ortu Asia. Anak harus berbakti kepada orang tuanya karena rupanya ia juga anak yang sangat berbakti. Nah, suatu ketika katanya, anaknya berkelahi dengan dia dan terlontar suatu perkataan 'SOB'. "Apa itu?," kata sebagian di antara Anda. Anak haram-jadah, terjemahan bebasnya. Anak anjing betina, terjemahan harafiahnya. Namun, bagi dia yang sangat berbakti dan cinta kepada ibunya, perkataan itu seratus kali lebih sakrileginya dari 'ego te absolvo'. Ditambah ibunya sudah tiada sehingga tidak dapat berbantahan atau berdebat. "I lost it," katanya kepada saya. Ia kehilangan "akal" atau menjadi orang yang terluka hatinya. Sejak saat itu, ia tidak pernah lagi mau mengampuni anaknya dan akibatnya masuk ke dalam 'the hurting people'. Ia menyadari bahwa tanpa mengampuni tidak akan ia pernah keluar dari kelompok orang terluka. "I am stubborn," dalihnya.
Orang sakit hati yang lainnya lagi belum lama ini saya jumpai di dalam suatu upacara kematian. Konon ia anak perempuan satu-satunya di dalam keluarga dan dimanja habis-habisan. Waktu ia kecil segala kemauannya harus dituruti oleh semua orang, secara singkat ia menjadi pangeran puteri. Bad nurturing, kata saya. Akibatnya, sesudah ia dewasa, orang ini menjadi gila kuasa. Sedemikian gila kuasanya sehingga kalau ia hadir di dalam upacara kematian tidak pernah ia tidak pidato. Isi pidatonya hampir dapat dipastikan adalah "political statement" yakni upayanya untuk mengatakan kepada rakyat bahwa ia serba hebat. Yang celaka, Tuhan atau nama Tuhan pun dipakainya untuk mencapai tujuannya menguasai hajat orang banyak. Menarik memperhatikan orang-orang yang dekat atau ia temani. Mereka yang dapat dikontrolnya dan berguna bagi dirinya untuk mencapai maksudnya berkuasa, itulah teman sejatinya. Mereka yang tidak bersesuaian pendapat ataupun tidak ikut baris di belakangnya, menjadi musuh atau tidak disenangi dan digubris olehnya. Banyak kali ia terluka karena kehilangan "barisannya". Hehehehe, si jusni tidak mau berbaris di belakangnya dan lalu tidak digubris olehnya sehingga menjadi 'the hurting people' juga :-). Kalau Anda berkata begitu, Anda masih belum mengenal saya. Mana saya peduli soal gubris-gubrisan. Saya hanya kasihan melihat orang seperti itu, terlebih kasihan kepada orang-orang yang berusaha mendekati dan menjadi temannya namun tidak sadar bahwa "kamu hanya temanku bila kamu menuruti perintah dan kemauanku serta berguna bagi diriku". Untuk ortu yang anaknya masih kecil- kecil, ingatlah bahwa menyayang anak ya boleh-boleh saja. Tetapi kalau sudah ekstrim dimanjakan seperti contoh soal saya di atas, akibatnya nanti masyarakat yang mendapat "getah" atau "racunnya".
Satu lagi orang sakit hati yang saya lihat adalah yang tayangannya menyikat orang keturunan Tionghoa di milis lain dimasukkan oleh seorang warga P-Net. Saya setuju dengan pendapat sdr Heru TAMU bahwa pergaulan dari masa kecil antar segala suku membuat perbedaan, membuat satu sama lain saling mengenal. Ia katakan ia mempunyai teman orang Cina tetapi ia selalu hati-hati di dalam bergaul, siap waspada begitu. Mungkin ia sekolah negeri dari SD sampai ke perguruan tinggi :-). Karena sebenarnya ia tidak pernah akrab dan bergaul erat dengan orang Cina maka segala macam pandangan dan pendapatnya menjadi gawat alias ngaco luar biasa. Orang seperti ini banyak sekali di tanah air. Ia adalah produk dari bangsa Indonesia, sekolah Indonesia dan masyarakat Indonesia saat ini. Orang Cina yang seperti diapun banyak, pembenci kelompok pribumi. Sebagian memang membenci berlandaskan pengalaman sakit hati dan masih di dalam kadar tidak dapat mengampuni seperti ortu di contoh saya yang pertama di atas. Sebagian karena praduga yang ngaco ataupun "didikan" orang tua. Apa yang dapat kita perbuat menghadapi orang seperti itu? Tidak banyak. Kita tidak dapat mengubah tatanan masyarakat Indonesia. Kita tidak dapat mengubah sistim pengkotakkan sekolah di Indonesia. Kita bukannya pejabat pembuat kebijaksanaan pemerintah. Namun, kita dapat bersikap yang berlainan dengan pendapat picik orang seperti itu. Apalagi di P-Net ini, seperti kalau tidak salah dikatakan oleh Ter Kus. Tidak peduli kita berasal dari mana, suku apa, kita adalah saudara-saudari di dalam Kristus. To love is a decision, kata slogan Marriage Encounter. Yes, we can make a difference by deciding to love all our brothers and sisters in Christ, to love our neighbour as ourselves. Semoga. Sampai jumpa di tayangan berikutnya. Salam dari Toronto.