Belum lama ini kartunis koran Toronto Star yang idenya sering gemilang, menggambarkan tiga tahap evolusi manusia. Pertama, di paling kiri adalah homo sapiens, manusia modern. Di sebelah kanannya menyusul manusia pra-sejarah yang tampangnya mirip pithecanthropus erectus. Di sebelah kanannya lagi "manusia" monyet bertampang gorilla dan di bawahnya tertera: Toronto driver. Ya, kalau Anda seperti saya mengemudi di kota ini, sering kita bertemu monyet di belakang setir :-). Di milis ParishNet "kepunyaan" Wan Nawi, thread WYD rugi $30 juta yang dimulainya, masih dipenuhi komen. Adapun wan Nawi pren eks secomberanku berpendapat tidak adil lach yauw, warga Vancouver yang tidak berkesempatan ke Toronto untuk ikut World Youth Day, harus (engga sih) membantu ketekoran panitia WYD yang kerjanya sering kelihatan kaya karya monyet :-) (baca serial tayangan 'Jadi Volunteer WYD'-ku).
Seriusan sekarang. Manusia yang paling lantang melontarkan 'life is not fair' (bila ia sudah keluar dari denial stage ke anger stage dalam grieving-nya) adalah mereka yang kehilangan orang yang disayangnya secara mendadak. Dari semua kelompok tersebut, mereka yang anggota keluarganya meninggal ditabrak karena kecelakaan lalulintas adalah salah satu yang THP-nya berats sekali. Seperti saya tulis belum lama ini, sejak pensiun dan kembali ke Toronto setelah dua bulan kelilingan, saya aktif lagi di newsgroup alt.support.grief. Jelas sekali orang yang sedang berduka adalah warga THP, tetapi bila kedukaan itu karena kesalahan manusia lainnya, maka THP-nya berkelipatan.
Alkisah 2 "monyet remaja" alias pengendara berusia 17 tahun suatu ketika memutuskan untuk balapan di jalan raya Toronto. Yang satu memakai Mazda MX3 dan satunya lagi mobil bermesin alaihim, Ford Explorer. Menyingkat cerita, setelah kecepatan mereka mencapai 160 km/jam, keduanya kehilangan kontrol ketika berjumpa mobil 'slow poke' di muka mereka. Begitu ban sang Ford menyenggol trotoar, ia "terbang" menghunjam seorang anak, Steven Francisco yang sedang berjalan pulang ke rumah dan tewaslah Steven seketika itu juga. Sembilan bulan berlalu, kedua anak remaja itu masing-masing dihukum penjara 35 dan 45 hari doang. Sangat tidak adil, kata ibunya yang setiap hari masih mengunjungi kuburan anaknya, dua kali sehari. Kata doi ketika mendengar keputusan hakim, "He (sang pembalap) gets to walk out of here. His mother gets to feel him, hold him. Whatever this judge gives him, his life isn't over." Betul sekali tentunya, 45 hari, 45 tahun hukuman, sang remaja tetap tak kehilangan nyawa seperti anaknya.
Dari perspektif sang ibu, ayah dan sedulur Steven tentu saja keputusan hakim itu tak adil banget. Namun dari sisi lainnya, sang hakim mesti memikirkan bahwa kedua "monyet" itu masih hidup, perlu mempunyai masa depan karena mereka tidak sengaja membunuh. Kita sebagai "penonton" dan Anda pemirsa tayanganku mungkin sependapat dengan oom hakim, Russell Otter yang memandangi ortu Steven ketika menjatuhkan keputusannya. Seberapa lama pun hukuman yang ia beri, seberapa beratpun, tidak mungkin kedua ortu tersebut akan dapat terhibur. Kedua anak itu selain mendapat hukuman penjara juga harus melakukan 'community service' 100 jam, mengunjungi sekolah-sekolah dan mensyer perbuatan atau ulah mereka. Itu salah satu hukuman yang tak kalah beratnya sehingga mereka pun menjadi THP, salah seorang mencoba bunuh diri. Selain dipenuhi rasa bersalah, para sedulur mereka harus berurusan dengan asuransi, kantong mereka maupun pengadilan karena keluarga Steven menuntut ganti rugi 1 juta $.
Keputusan untuk 'have fun' dalam waktu beberapa detik, tak mau kalah ditantang balapan telah menciptakan beberapa warga THP abadi dalam sekejap. Itulah memang ulah manusia yang evolusinya terkadang berubah menjadi monyet kembali. Semoga kita semua tidak pernah berada di dalam posisi para THP di atas, sangatlah adil bila kita membantu ketekoran "monyet panitia" WYD 2002 dengan setoran dua dollar doang per orang. Anggap saja kita tidak ngopi di Tim Hortons atau jajanan untuk sehari ini saja :-). Salam dari Toronto.