The Hurting People VIII

Sudah sekitar 2 minggu saya kembali dari Jakarta namun sampai hari ini saya masih belum berhasil menelepon dan ngobrol dengan seorang sahabat saya. Di minggu pertama, karena langsung harus kerja lembur, setiap malam saya pulang sangat terlambat dan tidak sopan untuk meneleponnya di larut malam. Minggu lalu hampir tidak ada bedanya. Jadi baru akhir pekan ini saya berusaha menghubunginya, namun teleponnya tidak ada yang mengangkat. Semoga ia oke- oke saja dan mungkin sedang keluar kota berliburan. Ia membutuhkannya. Ya, ia salah seorang sakit hati kelas berat juga namun sebabnya lain dari yang lain dibandingkan dengan 'hurting people' lainnya yang sering saya jumpai.

Sudah lama saya berkenalan dengan dia, seorang imigran Toronto seperti saya namun dari negeri Arab. Jadi kalau saya berjumpa dengan dia, sebut saja namanya Jon, dari Jonah atau nabi Junus yang akan menjadi salah satu tokoh bacaan Misa hari Minggu esok, saya menyapanya dalam bahasa Arab :-). "Assalam mu'alaikum wr.wb. Jon," kata saya. Ia menyapa saya juga sambil tersenyum manis, "Mu'alaikum salam wr.wb. Husni Mubarak." Ya, ia memanggil saya Husni Mubarak yang saya terima meski tokoh itu bukan idola saya :-). Jon seorang 'workaholic'. Ini ia akui. Sejak saya mulai berkenalan dengannya ia sering sekali bekerja sampai larut malam, padahal waktu itu rumahnya di Burlington, lebih dekat ke Niagara Falls dari ke Toronto alias jauh sekali. "Jon, go home and see your family," demikian kata saya kalau melihatnya. "Go home yourself, you are staying late too," katanya. "Yes, but my home is minutes away while yours hours away, as well I don't work this late every night," kata saya lagi. Ia lalu hanya tersenyum dan terus bekerja.

Jadi dedikasinya ke kantor luar biasa dan rajinnya bukan alang kepalang. Senang kalau saya melihatnya dari waktu ke waktu mendapat penghargaan dari kantor dan juga mengamati karirnya menaik. Sampai pada suatu saat, beberapa tahun lalu. Pada saat itu kantor mengadakan gerakan pembersihan atau istilah politisnya "right-sizing" dan Jon bakal kena tersapu. Demikian ceritanya kepada saya. Ia tidak beruntung mendapat juragan yang 'SOB' (istilahnya ke saya) yang sayang saya tidak kenal sehingga tidak mampu melakukan apa-apa. Apa yang lalu terjadi? Sebelum ia "dikeluarkan" (ya kantor saya tidak pernah mengeluarkan orang kecuali pencuri atau maling) alias disuruh minta berhenti, ia jatuh sakit. Sakit sungguhan secara fisik tetapi terlebih sakit hati! Jon tidak dapat menerima seiotapun bahwa ia yang sedemikian berbaktinya kepada perusahaan dan boleh dikata "tidur" di dalam computer room selama berhari berminggu bertahunan, akan dikeluarkan. Ia sakit hati luar biasa. Sakit itu ditambah sakit fisik yang sampai hari ini dideritanya dan tiada dokter yang mampu menyembuhkannya. Sedih melihat keadaannya waktu terakhir kali saya menyambanginya. Seperti nabi Junus dan banyak orang sakit hati lainnya, ia keras kepala, 'stubborn like a mule'. Entah sudah berapa puluh jam saya mencoba menasihatinya lewat telepon, tidak mempan. Memang sukar mengubah orang lain kalau yang bersangkutan tidak mau. Yang gila, ia katakan ia akan menuntut (sue) kantor yang sudah memperlakukannya dengan tidak adil seperti itu. Saya katakan, "You want to sue the company? You've got to be joking. Don't you know they can hire the best lawyers in the world and who could you? Be nice to your family, they already suffer enough to see you like this. Don't let them see you in court battle. Only the lawyers who will gain, this I can assure you." Satu dua kali berdebatan dengannya soal ini, syukurlah ia dapat melihat pokok pikiran saya dan tidak jadi menuntut. Dalihnya adalah dengan menuntut ia akan "mengajar" sang perusahaan dan si SOB bahwa lain kali jangan seenaknya berbuat tidak adil kepada pegawai.

Kesulitannya yang utama adalah mengampuni. Sering ia menanyakan tentang si SOB dan saya katakan, "Forget him in your life, that's the very least you can do if you can't forgive him." "How can I forgive him, look to what he has done to my life," katanya. "Yes, but you don't have to be like this Jon. You decide to not forgive him and you're paying it." Ia suka terdiam kalau saya berkata begini. Lalu sering saya menyuruhnya berdoa dan saya tahu ia melakukannya dan hal itu yang membuatnya masih hidup atau masih bersemangat hidup :-(. Memang mengampuni adalah suatu karunia, saya percaya itu. Hanya orang yang dikaruniai atau sementara orang mengatakan "berjiwa besar" dapat mengampuni dengan tulus. Ketegaran atau kekerasan hati (untuk tidak mengampuni) bukanlah patent yang hanya dimiliki oleh teman saya Jon. Kekecewaan manusia yang tadinya sangat loyal ini kepada perusahaan dan majikan yang mewakilinya bukan main. Kalau berbicara dengan dia tampak nyata dan juga tampak ketinggian-hatinya untuk tidak mengampuni si SOB. Yang ironis, ia tahu bahwa dengan tidak mengampuni ia menjadi sakit hati dan sakit fisik, namun ia seperti berada di lingkaran setan. Karena sakit seperti itu, ia semakin tidak dapat mengampuni. Saya hanya percaya kepada kuasa doa dan selain meneleponnya dari waktu ke waktu, saya hanya dapat mendoakan semoga suatu ketika ia dapat keluar dari lingkaran setan dan mengampuni si SOB di dalam hidupnya. Ya, Jon memicu saya untuk menulis hari ini dan untunglah tidak banyak orang seperti Jon yang saya jumpai. Kalau Anda juga percaya akan kuasa doa, doakanlah ia dan juga banyak orang sakit hati lainnya, entah karena sebab apa, untuk mencoba mulai mengampuni. Banyak tayangan doa Bapa Kami segala macam bahasa ditayangkan akhir-akhir ini. Semuanya saya yakin mempunyai kalimat 'seperti kamipun mengampuni ...'. Hampir setiap hari mungkin Anda mendoakannya, terlebih yang sering berdoa rosario. Semoga Anda tidak akan pernah seperti Jon karena kuasa doa Bapa Kami. Amin oke? Amin, kata pak Djoko Sandal yang sedang koleksi doa Bapa kami itu :-). Salam dari Toronto yang sedang tidak mungkin sandalan.

Home Next Previous