The Hurting People IX

Prolog: Tidak lama, hanya beberapa jam setelah saya selesai menulis draft tayangan ini beberapa hari lalu, kita semua membaca tayangan tragedi kehidupan dari seorang warga P-Net yang mempunyai permasalahan yang sama dengan tokoh yang akan saya ceritakan. Itu hanyalah kebetulan, jadi tayangan ini bukan dipicu oleh kisah sedih yang telah kita baca bersama. Semoga angka statistik perceraian di tanah air jangan pernah mendekati angka di Amerika Utara :-(.

Kalau saya katakan banyak orang sakit hati yang saya kenal, sekarang Anda mulai percaya kan :-). Ya, entah mengapa, dari waktu ke waktu saya dipercayai- Nya untuk mendampingi orang-orang sakit hati. Kalau saya yang mendapat giliran dilukai atau disakiti dan bertanya kepada-Nya, "Why me Lord?", saya sudah tahu jawaban-Nya :-). "So that you can help others who will get hurt the way you are right now." Karena sadar jawaban-Nya akan demikian, segala cobaan hidup yang saya alami, mestilah dimaksudkan untuk menempa diriku sehingga menjadi manusia yang lebih tahan banting, supaya aku semakin dekat dengan-Nya. Kalau Anda tinggal di Amerika Utara ini, dari waktu ke waktu Anda akan menjumpai angka statistik 1 dari 2 pernikahan atau 1 dari 3 pernikahan bubar. Jadi tidak heran kalau saya mempunyai seorang teman anak Canada yang sudah masuk statistik. Hanya perceraiannya, menurut istilah sini 'messy' alias hantam- hantaman atau lebih tepatnya teman saya dihantam. Karena mempunyai telinga untuk mendengarkan keluh kesahnya dan mulut untuk memberikan satu dua nasihat kepadanya, saya mengetahui bahwa ia di-abuse oleh suaminya. Nah, suaminya adalah anak kesayangan atau pangeran di keluarga. Gawat ya pangeran atau pangerin, banyak yang toxic atau beracun bagi sesamanya manusia. Celakanya nomor dua, suaminya dari kelompok masyarakat dimana pria atau laki-laki warga masyarakat kelas satu, wanita atau perempuan kelas dua atau tiga. Bukan, bukan Indonesia dan kalau saya menyebut nama negara asalnya nanti saya dibilang rasialis. Pokoknya percaya deh :-). Teman saya anak Canada, imigran dari Irlandia atau orang sini menyebutnya 'Irish'.

Nah, dengan latar belakang seperti itu, maka teman saya mengalami banyak penderitaan dari mulai masih menikah sampai dengan proses perceraiannya selesai. Tentu ia sakit dan terluka hatinya. Satu dua kali ia menangis kalau berbicara kepada saya yang umumnya hanya lewat telepon. Lalu ia langsung meminta maaf. Saya hanya mengatakan, "It is okay to cry like that, good that you can still cry." Teman saya ini, di dalam usahanya membuat pernikahannya sukses, sampai berpindah agama dari Kristen ke agama suaminya. Namun setelah ia bercerai atau berpisah, saya suka bertanya kepadanya, sebut saja namanya Jane. "Do you still pray Jane?" "Yes, I do, that's how I got my strength even though I don't go to the church anymore." "Good for you, I will pray for you too." "What else do you do to overcome your crosses Jane?" "I jog." "You jog, wow, how long?" "Few kilometres a day." "Wow, no wonder you survive and can handle your stresses." "Yes, I need it jusni." "Keep on jogging then, I wish I can still jog but my feet hurt if I jog nowadays." "I will. You need good shoes, I bought myself the best jogging shoes." "You mean Nike made in Indonesia, I will never touch those shoes made by slave labours." Bohong, kalimat terakhir ini tidak saya ucapkan :-) tetapi benar Jane membeli sepatu jogging yang terbaik (bukan merk IBM :-)).

Selain di-abuse di dalam hubungan pernikahannya, Jane juga jatuh miskin karena rumah warisan orang tuanya yang ia peroleh sebelum menikah, ia gadaikan atau 're-mortgage' istilahnya, guna dipakai modal suaminya berdagang. Celakanya nomor tiga, uang hasil gadai itu dipakai untuk melakukan usaha suaminya di negeri asal si suami dan tidak terjangkau oleh hukum Canada. Celakanya nomor empat, anak-anaknya kena di-brainwash oleh suaminya yang menurut Jane jago sekali memanipulasi atau "ilmu mengontrol" manusianya, maklum gusti pangeran. Masih belum habis kemalangannya, Jane juga kena gerakan pembersihan di kantor alias menjadi 'rightsizing victim'. Wah, masih banyak litani kemalangan ataupun hal-hal yang membuat Jane menjadi orang terluka kelas berat. Tetapi Jane ini, mungkin karena ia wanita, tidak sekeras kepala seperti teman saya Jon. Ia tahu dan sadar bahwa ia tidak dapat membenci ataupun harus memaafkan bekas suaminya bila ia ingin tidak menjadi "sinting". "Yes, I know I have to let many things go jusni," katanya kalau saya bercakap- cakap dengannya. "It is still hurting though but I musn't hate." "I am glad you are aware Jane that hating your husband, and his lawyer, and your manipulated children, and the guys in the office who did harm to you, are like boomerangs. I know it is easy to say this and that's why I will keep remembering you in my prayers."

To make a long story short, kata orang sini, tidak lama setelah percakapan saya itu, Jane menelepon saya lagi dan mengatakan ia mendapat 2-3 interview. "Can I use your name for references?", tanyanya. "Go ahead, glad to be," jawab saya. Tidak ada yang menelepon saya untuk memeriksa resume-nya Jane karena memang anak ini bersemangat dan positif sikap hidupnya. Teleponnya yang kemudian adalah kabar gembira bahwa ia sudah mendapat pekerjaan lagi. Lalu saya dan ia (dengan sepengetahuan Cecilia tetapi ia tidak ikut :-)) berjanji bertemu di Pizza Hut untuk merayakannya. Jadi tidak semua 'hurting people' bersikap keras kepala dan mereka yang dapat berprinsip "EGP" atau 'let go' atau tidak mendendam, lebih lekas keluarnya dari lembah kekelaman. Semoga Anda tidak akan pernah mengalami 'quintuple whammy' seperti Jane. Bila Anda sedang mengalami 'whammy', sedang dipalu-godam kehidupan, usahakan jangan bertanya 'why me Lord' tetapi 'what you want me to do'. Semoga. Salam dari Toronto terutama bagi warga P-Net yang sedang memanggul salib yang berat.

Home Next Previous