'Merdeka atau mati!', begitu bunyi semboyan yang sering diucapkan pemimpin bangsa waktu Indonesia masih dijajah orang berlainan bangsa. Sebagai seorang imigran alias yang pindah dari Indonesia karena waktu itu merasa "sesaknya" hidup, saya kira Anda akan setuju kalau saya mengatakan bahwa kebutuhan saya akan kemerdekaan, need for freedom, termasuk tinggi sekali sekitar 4.5 dan karena tidak baik untuk mencla-mencle, maka saya katakan 5 deh :-), ekstrim. Memang sih proses saya untuk dapat pindah ke Toronto tidak sampai berisiko hilang nyawa, tetapi hati tetap terluka, seperti pohon yang akarnya dicabut dari tanah tempat hidupnya berpuluhan tahun.
Jelas orang yang kebutuhan akan kebebasannya besar sekali, akan berdaya upaya segala macam, termasuk "mengorbankan" kenyamanan isteri, suami, anak, atau anggota keluarganya yang lain agar kebutuhan itu dapat tercapai. Di dalam skala yang lebih kecil, kebutuhan ini tampak akan senangnya yang bersangkutan untuk dapat berkarya di bidang yang disukainya, tidak peduli gajinya lebih kecil atau lebih kurang dibanding mendapat pekerjaan di bidang yang tidak disukainya. Karya kreatif sangat membutuhkan kebebasan dengan contoh di negeri superbebas seperti Amrik, total penemuan ilmiah atau pendaftaran hak patentnya juga top di dunia. Jadi kreatifitas selaras dengan kebebasan, namun menurut Dr. Glasser, kebebasan sering bertolak belakang dengan 'love and belonging'.
Contohnya yang paling mudah, banyak orang yang masih membujang atau memilih hidup tidak menikah dengan alasan utama, ingin bebas merdeka. Ada benarnya. Seorang sahabat karib saya di Betawi, sudah mencapai umur 40 ketika masih tetap melajang. Kalau saya bertandang ke Jakarta, saya usahakan menemuinya dan bertanya, "Kapan lu?" :-). Biasanya ia selalu menarik napas panjang dan berbagi rasa. Ia kwatir karena kedudukannya yang sudah lumayan, di atas daun kata orang, termasuk rejeki duniawi yang dimilikinya, ia akan mendapatkan pasangan "bau bensin". Sampai terjadi suatu peristiwa. Ia sakit berat dan di dalam proses penyembuhan, ia harus pindah dari rumah yang ditinggalinya sendirian, ke rumah pamannya. Lalu ia berkata, "Gue baru berase jus, sedi banget deh idup sendirian, kaye tempo gue sakit ntu. Mulaiin ari eni gue mau seriusan deh nyari temen idup." Tidak lama kemudian saya memang mendapat surat undangan pernikahannya yang sayang tidak disertai ticket ke Betawi :-).
Nah, kebutuhan akan kebebasan yang tinggi, bila dimiliki oleh kedua calon ataupun pasutri dapat menimbulkan persoalan. Apalagi bila keduanya tidak sadar. Cinta yang kurang kuat, terutama yang belum berakar dalam, dapat "rontok" bila menghadapi suami (umumnya lebih besar dibanding isteri) yang senang "bebas". Jelas mereka yang kebutuhan kemerdekaannya relatif kecil, kemungkinan sukses lebih besar di dalam hidup perkawinannya. Isteriku juga senang atau tinggi kebutuhan untuk bebasnya. Tetapi jelas tidak seekstrim saya. Karena kami sadar akan hal itu, maka kemungkinan konflik menjadi lebih kecil. Jarang sekali kami berkelahi soal kemerdekaan ini, apalagi sampai perlu berrevolusi :-). Ia sangat cukup memberikan atau mengendorkan "tali kekangnya" dan demikian pula halnya saya. Memang tidak mungkin saya memperoleh lagi kebebasan seperti waktu masih bujangan, tetapi untuk apa? Masa "jaya" si anak Betawi sudah menjadi sejarah :-). Bagi saya, kehilangan "kemerdekaan" itu, not too bad at all, karena "ditukar" dengan mendapat cinta kasih yang syukurlah langgeng kalau bukan semakin membara dan berkobar :-). Isteriku menjadi teman berbagi suka dan duka, pasangan untuk saling mendapatkan kebutuhan. Di tayangan berikutnya saya akan menuliskan kebutuhan yang satu lagi, fun, sebelum lalu menyimpulkan semua kebutuhan itu di dalam tayangan KTKTKawin II. Salam dari Toronto, terutama kepada para pasutri muda di Net ini.