Tayangan ini dapat kuberikan cem-macem judul sebetulnya, 7 hari 6 malam tanpa televisi, renungan api unggun, atau dongengan dari Killarney (lagi). Karena judul di atas sedikit mencerminkan perkelanaan Bang Jeha dan Empoknya semingguan terakhir ini, kupilih demikian. Seperti biasanya pulang kemping, oleh-oleh tidak banyak atau hampir tidak ada, kekecualian beberapa puluh bentol bekas gigitan nyamuk maupun lalat, deer fly, horse fly, atau lalat jenis kurang ajar lainnya yang kalau nemplok langsung nyelekot. Yang pasti dan mestinya ditunggu para penggemar dongenganku, oleh-oleh berupa kisah kemping berkanu kami kali ini. Kami adalah 9 manusia yang senangnya mencari susah, sudah bagus punya rumah atau tinggal di apartemen, memilih cari susah tidur beralas thermarest di atas tanah atau batu karang selama 6 malam. Tujuh di antaranya warga milis Serviam di Toruntung, yang satu sohibku anak bulek dari Ottawa si J yang kusingkat saja namanya sebab ga bisa ngebales kalu dijailin, yang satu lagi warga P-Sby. Anak bulek ini, seumur hidupnya baru pertama kali ini kemping dengan 8 melayu dengan akibat, ia akui sendiri, ia makan nasi 3 kali sehari :-). Bayangkan, menu makan malam pertama nasi dengan ayam panggang a la Bebeth, paginya bubur ayam Cecilia, siangnya nasi dengan daging Pilipin tukaran dollar si Trisna/Ayrin, malamnya lagi nasi pake babi kecap kreasi si Bebeth. Seumur hidupnya belum pernah ia makan nasi selama 4 kali berturut-turut sehingga ia bertekad akan "membalas" untuk di tripnya mendatang, masak pasta 4 kali terus menerus. Itu sebabnya Bebeth anak Melayu ogah ikut di canoe camping kami tanggal 12 Agustus nanti bersama J :-).
Bukan hanya karena ia tidak doyan pasta, disuguhi macaroni and cheese, ia milih masak lagi Indomie goreng. Tapi karena dengan hanya sekali kemping pergi bersama kami di trip ini, ia sudah mengalami semuanya yang kami, para oldcrack berpuluhan kali kemping belum tentu sekali melihat. Bayangkan, dari dahulu saya tahu bahwa batu-batuan di sekitar Killarney itu istimewa variasinya. Ladalah biyung-biyung, si Bebeth ternyata geologist eks NTM, Ngenstitut Teknologi Mbandung. Pantes jowone cukupan mantepnya :-). Tentu saja ia merasa seolah benar-benar berada di surga, dikatakannya sendiri. Sekarang barulah ia percaya kalau kukatakan Killarney bak kahyangan atau surga di dunia. Untung ia hanya pergi seminggu. Kalau saja sebulan, bagasi mobilku akan penuh dengan cem-macem batuan oleh-oleh yang digondolnya. Kukatakan kepadanya bahwa ia sungguh disayang Oom Han. Betapa tidak, sudah dapat menikmati kemping di Killarney Lake 3 malam berturutan, padahal aturannya hanya bisa maksimum 2 malam. Padahal si Trisna setiap bulan sejak Pebruari menelepon Ontario Parks untuk ngebook dan ga dapet-dapet. Berkat Bebethlah kami diberkahi cuaca yang sungguh asoi. Hanya sekali hujan yang berarti dan itupun di jam siesta di sore hari sesudah kami sempat hiking beberapa jam memanjat suatu bukit karang. Dewa hujan, tak sampai hati harus menyirami tanaman sekitar Killarney, menyuguhkan pemandangan full-rainbow alias pelangi berbusur lengkap 180 derajat agar dapat dinikmati oleh Bebeth seusai hujan :-).
"Lah Bang Jeha, mau liat pelangi sih engga usah ke Killarney, ambil kaca prisma atau sirami air azha ke atas," kata Anda. Tunggu dulu pren. Coba ngacung, berapa dari antaramu yang sudah pernah melihat aurora borealis, northern light? Di dalam interior campingmu yang pertama di Kanada ini? Ya, di malam terakhir, si Bebeth sekali lagi dipeluk oleh kasih sayang Oom Han dan diberikan pertunjukan cahaya dari utara itu. Tidak tanggung-tanggung, selama hampir 1 jam, sepanjang kira-kira 90 derajat cakrawala langit utara. Memang ia anak sakti. Tak heran. Sebelum berangkat kemping, ia ikut retret dulu soalnya :-). Ombak Georgian Bay yang ditakuti para canoeist, ketika Bebeth dan man-teminnya masuk di teluk itu dari muara sungai Chikanishing, hampir tidak ada. Cuma berupa riakan kecil, sama seperti mendayung di empang bandeng di Cengkareng :-). Memang sudah kuketahui bahwa geologist banyak yang sakti, kemampuan mendaki gunung mereka hesbat sekhalei, tapi baru kali ini kubertemu yang sesakti Bebeth. Tak heran ia doyannya nasi doang :-). Sekian dulu jailan, eh dongengan pertama oleh-oleh canoe tripku ke Killarney 3 malam disambung dengan George Lake semalam dan Georgian Bay 2 malam. BTW prens sadayana, makanya Bang Jeha berani ngejailin si Bebeth, belon ada satpam atau kang pukulnya :-). Doi masih epeilebel, jadi cepetan sebelon ente keburu keduluan. Pokoke kemping ama si Bebeth, asalkan doyan babi kecap, anak itu benar sakti :-).
Tiada yang istimewa dalam perjalanan kami berdua mobil dari Toronto ke George Lake campground di Killarney Park. Jarak sekitar 400 km itu dengan lancar kami tempuh, antara lain berkat ban bo'il baruku yang kuganti sehari sebelumnya :-). Ya, demi menghormati kedua penumpangku, Bebeth dan 'Chuck' Indratmo alias si Cak, kumodali ban baru. Sebetulnya kanpasan ban lamanya masih oke sih buat wong Melayu, apalagi yang pelit, eh hemat kaya Bang Jeha. Tapi karena Highway 69 terkenal salah satu jalan raya maut, sekali meleng, amblaslah dikau, kutukar dengan Motomaster radial, 301 $ termasuk tax. Soalnya kupilih ban murahan itu, bukannya Michelin MX4 yang tadinya kupakai, sebab temanku si B yang tinggal di dekat Columbus, Ohio, pake Motomaster. Kutanya 2 mingguan lalu ketika ia pulang nyetor ke bininya, gajinya :-), "Eh B elu setiap 2 minggu bolak balik ribuan kilometer,elu pake ban apaan?" Dari jawaban dan nasihatnya, percuma beli ban mahal, yang penting ngegelinding, kutelepon hampir seluruh Canadian Tire dekat rumahku sebab sang Motomaster yang lagi obral :-) terjual habis alias laku keras. Orang Kanada memang hemat-hemat.
Sesuai dengan perkiraan dan taksiranku, pas jam 3 siang, 3 kanu dengan 9 penumpangnya, ga bisa lebih hemat lagi :-), meluncur dari George Lake menuju Killarney Lake. Pendayungannya termasuk asyik karena ombak setinggi sekitar satu kaki,30 cm,datangnya dari buritan. Portage menuju Freeland Lake dan dari situ ke Killarney Lake, masing-masing 80 dan 455 meter dengan ecel dijalani Cecilia sambil memanggul kanu karena ia sayang suami :-). Hanya kesayangannya masih kalah oleh Trisna yang bukan saja memanggul kanu, tapi balik kembali mengangkut ransel dan cem-macem benda milik keluarganya. Setelah mendarat di campsite nomor 20 yang cukup oke dan mengirimkan tim ekspedisi untuk mencek beberapa campsite lainnya, laporan sang "motorboat" Kang Trisna adalah, nomor 20 pilihan yang jitu. Tak tahan kepanasan dan melihat air hijau biru turquoise yang rupawan itu, Bang Jeha memulai eksyen alias berenang di Killarney Lake. Asyiknyaaa :-). Berenang yang paling sedap memang sehabis kepanasan bersimbah-peluh di kolam berair yang jernih. Tak heran Cak Indratmo tidak berkeberatan untuk kalau ia ada waktu, berenang di Nellie Lake lagi :-). Ya, tahun lalu rombongan yang sama kecuali tiada Bebeth tapi bersama beberapa man-temin anak Ottawa, kami melakukan kemping berkanu yang kisahnya dapat Anda baca di Kemping Kanu 10 Hari 9 Malam: http://ca.oocities.com/hilwan/kemping.htm.
Setelah acara mencari kapling pemasangan tenda kami, 4 jumlahnya, selesai, persiapan memasak nasi alias makan malam dimulai. Dengan 2 kompor, MSR dan Primus yang nasibnya akan kudongengkan nanti, ditambah asistensi dari tukang masak nasi berpengalaman puluhan tahun :-), hidangan tak lama kemudian kami santap disusul dengan acara api unggun. Kali ini saya hanya perlu meminjamkan gergajiku ke tukang kayu kami J yang rajin menyediakan cem-macem kayu untuk dibakar, ditonton dan direnungkan. Pertanyaan renungan pertama. Mengapa batu- batu yang selama ini kulihat, kucuekkan saja, semuanya sama bagiku :-) tetapi bagi seorang geologist kaya si Bebeth, setiap batu membawa pesona dan cerita? "Lantaran ente sekolahnya jadi kang listrik dan si Bebeth pemulung batu," kata anak pinter di milis kita ini. Bejug, bener juga. Bagi seorang awam yang naif batu hanyalah batu, bagi seorang geolog batu mempesonakan. Bagi manusia yang normal, setiap manusia lainnya adalah normal seperti dirinya, bagi seorang sepikolog semuanya "abnormal" :-). Seriusan, bagi psikolog yang bertahunan mempelajari perilaku manusia, tentu saja setiap manusia akan menarik hatinya untuk disimak dan dianalisis. Bagi seorang awam dari tanah Melayu, pohon pinus ya sama dengan cemara. Bagi anak Kanada yang sudah berkanu 160 km sehingga dijuluki 'child of nature' oleh Oom Pierre, pohon cemara ada ratusan jenisnya, dari mulai balsam fir yang sering dipakai sebagai pohon Natal, sampai ke jack pine yang menjadi terkenal karena pelukis Tom Thompson hingga ke douglas fir yang menjadi sumber kayu terbesar se-Amrik Utara lantaran ukurannya yang gede dengan tinggi puluhan meter. Asyiknya merenungi persepsi setiap insan diiringi aroma api unggun dari berjenis-jenis cemara. :-)
Hari kedua dimana si J makan nasi 3 kali, 'rice for breakfast' katanya sambil ketawa-ketiwi, memang salah satu hari yang terindah. Inilah hari dimana si Bebeth merasa bak ada di surga :-). Betapa tidak, santapan pembukaannya saja sudah bubur ayam a la Cecilia yang sudah terkenal seantero Toronto. Meskipun ia memasak sepanci penuh, tidak pernah bubur ayamnya sampai harus dibuang sebab kalau tidak di acara makan siang, akan dihabek peserta kempingan kami di malam harinya. Bubur ayamnya juga lengkap sekali, dari mulai cakwee yang bisa dibeli di banyak "warung encek" di Toruntung, sampai ke daun bawang, bawang goreng dan tongcai. Selesai makan, kami sepakat untuk motong jalan, tidak mengambil rute ber-portage panjang 455 meter tetapi yang 130 meter azha dengan satu kendala, harus melintasi satu beaver dam. Seperti Anda sudah sering kudongengkan, menemui beaver dam di dalam canoe trip, selalu membuat jengkel, 'ja'ul lu Ver' :-). Semakin tinggi sang bendungan, semakin ja'ul memang para beaver itu sebab artinya kita mesti mengosongkan kanu kita dari cem-macem perbekalan. Untungnya 'day trip' atau perjalanan turne model hari kedua itu adalah, tak banyak barang yang kami bawa sehingga kanu tinggal digelosorin di atas tumpukan kayu bendungan.
Seusai portage pendek di atas kami tempuh, terbentanglah danau O.S.A., satu- satunya danau bernama singkatan di Ontario ini kalau bukan di seluruh Kanada. Tak heran kalau ia memang indah sebab digandrungi 'Ontario Society of Artists' yang sering ke Killarney untuk melukis. Karena menjelang makan siang, kami langsung mencari sebuah pulau untuk tempat mangkal dan bersantap. Weleh-weleh, kompor Primus kebanggaan Akang Trisna, ngadat engga mau bekerja. Montir anak murid Bang Usman mulai menganalisis apa kebegoannya. Ternyata kepala kompornya rada oblak, pertama karena ia dipakein tangki minyak merek MSR alias ga cocok. Kedua, karena Kang Trisna maksa waktu memasukkan sang kepala kompor ke botol. Kata pabrik Primus sih, 'compatible with any fuel bottle', buktinya engga. Tidak mempunyai atau membawa teflon tape, Bang Jeha memakai plastik dari plester band-aid untuk dikalungi di sang sekrup kompor ke tangki minyaknya. Berhasil akalan Bang Jeha Usman ini dengan akibat daging Pilipinnya lebih asyik dimakan karena dipanasin dulu.
Habis makan, acara siesta alias tidur-tidur non-ayam dilakukan dipimpin oleh ogut :-). Namun Ayrin dan Bebeth yang tidak suka tidur, tak dapat menahan nafsunya untuk nyemplung ke perairan OSA Lake dan berenang menuju suatu pulau lainnya. J anak bae, tahu bahwa akan dibutuhkan usaha yang cukup berat untuk berenang balik, tidak lama kemudian menurunkan kanunya ditemani Cecilia yang sejak tadi punya rencana tersendiri. Mereka menjemput kedua perenang kami untuk berempat pergi menuju suatu 'diving platform'. Ya, isteriku terkenang ketika ia loncat 'au naturel' dari tebing itu di seberang pulau kami. Jadi ia ingin mengulangi lagi tetapi karena banyak penonton maka kali ini ia memakai baju renangnya :-). Akan halnya Bang Jeha dan Cak, kami memutuskan tidak ikut acara loncat sebab waktu kecil beta sudah kenyang loncat ke Kali Ciliwung :-). Sepulang dari OSA Lake barulah daku berenang di dekat "rumah" dan kali ini tentu 'au naturel' alias dengan pakaian pemberian Oom Han doang. Rakyat berteriak: "Awas digigit kuya," namun mereka tidak tahu bahwa kuya yang memang sekali-sekali nongol di pinggir danau itu akan menganggap 'ini sih pren' begitu melihat gantolan istimewaku yang antik mirip kepala kuya. :-)
Acara malam hari di 'interior camping' akan tidak sah bila tiada api unggun, tak peduli nyamuknya lumejen jumlahnya. Namun, kasihan rupanya dewa angin alias si bayu kepada Cak Indratmo yang kalau malam membungkus rapat tubuhnya, angin kencang menghembus api unggun kami. Dalam keadaan demikian, tak akan ada lagi nyamuk yang mampu berkeliaran. Jangankan nyamuk, kapal terbang beras ketannya Habibie pun akan nyungsep terbang serendah itu :-). Nah, hanya tinggal kami bertiga yang masih main api di saat itu, saya, J dan Cak. "Look at that," kata J setengah berteriak. Kayu gelondongan tempat kami bertengger alias duduk di sekitar api unggun yang letaknya cukup jauh sudah terbakar. Gilak sekhalei, angin yang berhembus membuat lelatu api unggun seperti ngelas sang kayu. Dengan sigap J menyebrok sang api dengan air seember kecil yang memang sudah disiapkan karena air bekas cucian piring. Itulah salah satu faktor yang dapat menyebabkan kebakaran hutan. Pesan renungan hari itu, tak layak kita memandang enteng lelatu api. Banyak manusia yang kelihatannya "setitik doang" tetapi bila suatu ketika "dihembus angin", ia dapat menjadi perkasa. Tidak percaya? Ga pa pa sebab namanya juga dongengan Bang Jeha :-).
Memang, main api di dalam hutan tidak bisa main-main. Sesekali bila kami kemping ke interior, tertera larangan memasang api unggun karena keringnya udara alias satu percikan api dapat menyebabkan kebakaran sejuta jenggot. Karena seringnya memasak air panas untuk mencuci piring padahal waktu trip tahun lalu ke West Killarney, air seperti itu selalu kami masak di atas api unggun, naphta 3 liter yang kubawa bersama Trisna, hampir habis di babak pertama trip kami. Sambil melamunkan panas dan besarnya kobaran api unggun kami, kubandingkan dengan 3 liter bahan bakar kami. Kalau dipakai sebagai "api unggun", enersi sedemikian hanya mampu bertahan beberapa menit, padahal dengan kayu yang tersedia kami dapat menikmati api berjam-jam.Tak terbayangkan enersi yang terkandung dalam alam, baik kayu bagi api, air bagi minuman maupun sumber daya lainnya. Suatu hari, bo'il Anda akan berjalan memakai air pada saat Pertamina bangkrut alias kehabisan sumber minyaknya. Ya, mesin canggih bersumber bahan bakar hidrogen hanyalah soal waktu belaka.
Salah satu penemuan canggih yang sudah mampu dibeli oleh rakyat adalah GPS, Global Positioning System yang isinya pada dasarnya komputer dengan transmisi radio dari satelit di langit. Bukan saja ia dapat memberitahukan posisi kita di bumi, ia juga memberikan kemampuan trekking. Itulah sebabnya, ketika kami di hari ketiga selesai mendaki suatu bukit karang, dengan mudahnya hamba dapat menemukan jalanan pulang tanpa perlu memanjang-manjangkan leher untuk mengamati dari arah mana kami manjatnya. Itu juga sebabnya ketika saya dan nyonya suatu saat dilanda hujan badai waktu kemping di interior Bon Echo dan belum memiliki GPS, kukatakan "percuma turun pulang Yang, tidak bakalan kita bisa menemukan jalan melintasi daerah batu-batuan karang di trail dalam keadaan gelap begini." Cecilia anak bae mengerti dan sebagai hadiahnya harus mendekam di dalam tenda yang bocor berats, kudongengi ia cerita yang masih dikenangnya sampai kini hingga disinggungnya di trip Killarney ini kepada para peserta. Ya, kisah wartawan AP Oom Terry Anderson yang disandera di Beirut bersama beberapa wong Amrik lainnya. Selama 500 hari lebih mereka tak mampu keluar dari "tenda" dan pulang ke rumah. Kesengsaraan Bang Jeha dan Empoknya pada malam itu tak ada artinya sehingga meski kedinginan dan kebasahan, kami tetap dapat tidur cukup nyenyak.
Seperti sudah kusinggung di tayangan terdahulu, hari ketiga kami di Killarney hanya diisi dengan hiking mendaki bukit quartzite yang sudah somplak sedikit batuannya karena dicongkel dan dibawa pulang oleh si Bebeth :-). Karena sejuknya udara dan juga basah, tidak lama kami bermain api unggun di malam itu. Ketambahan keesokan harinya kami harus cabut, pindah ke George Lake campground alias kemping di sebelah mobil. Perjalanan kembali kami dari Killarney Lake pun tidak begitu mengesankan seperti berangkatnya, terutama karena tiadanya pemandangan g-string favorit si J :-).
Membandingkan fasilitas campsite di George Lake dengan yang di interior memang tidak adil. WC-nya 'flush toilet', lebih bagus dan modern dari di rumah nyokapku di Betawi. Mereka yang kepalanya ketombean :-), tidak melewatkan kesempatan untuk keramas. Dimulai oleh Cecilia yang kolokan dan meminta seember kecil air panas, si J ikut-ikutan minta dipanasin air juga. Mereka keramas di dalam WC sebab tidak tahu bahwa sudah ada fasilitas shower tahun ini karena tidak membaca 'readme file' alias brosur George Lake campground maupun bertanya ke si noni di kantor. Cak Indratmo beristirahat memompa air danau malam itu karena air di ledeng campground langsung dapat diminum. Api unggun kami nyalakan memakai kayu bakar sekantong boleh beli 5 $ dan dapat beberapa biji. Karena hujan sempat turun alias kayunya basah, tidak semuanya kami habiskan sehingga Ayrin si hemat, menyimpannya untuk kemping minggu depan bersama 27 melayus di Algonquin :-). Jadi ente-ente yang akan kemping bersama Kang Trisna di Pog Lake, kalau merenung di muka api unggun, berdoalah untuk Ayrin supaya modal kayunya semakin banyak :-). Tak ada renungan malam itu sebab kayu bakarnya kurang banyak alias kami hanya sebentar duduk di muka api unggun.
Sambil membereskan barang-barang untuk dibawa keesokan harinya, saya merasa lega bahwa ada "babak istirahat" di trip kali ini, 3 malam di interior lalu semalam ke peradaban dan 2 malam kemudian ke Georgian Bay. Tak terbayangkan membawa makanan 2 kali lipat dari babak I dengan 3 kanu yang dimuati 9 orang. Itulah juga sebabnya ketika daku menurunkan makanan seton di trip tahun lalu, saya harus hati-hati dan terkadang memakai sarung tangan agar tanganku tidak "terbakar" oleh tali yang lari meluncur. Perencanaan yang baik sangat menentukan kenyamanan kemping, hal ini tak dapat dibantah lagi dan penting untuk Anda ingat bila mau mengikuti jejak Bang Jeha menjadi 'child of nature'.
"This is the day," begitu kata hatiku ketika bangun sebab kami akan mengarungi Georgian Bay, teluk yang seluas laut di selatan Killarney. Senang juga ketika matahari pagi mulai bersinar terik. Salah satu kebahagiaan para campers adalah membongkar tenda di tengah matahari yang kenceng nyetrumnya :-). Selain akan lebih ringan dibandingkan bila tenda dilipat dalam keadaan basah, juga sang "kekasih" akan lebih bersih. Ya, tenda untuk mereka yang kempingnya di Himalaya patut dicintai habis-habisan sebab nyawa mereka tergantung kepada sang tenda. Tak mungkin mereka bangun lagi bila tidur tanpa tenda.
Kesalahan kecil di dalam perencanaan memasak makanan pagi, penugasan ke Trisna dan Ayrin yang 'slowpoke' di dalam beres-beres karena perlengkapannya segudang termasuk dua anak :-), menyebabkan baru jam 11 pagi kami menyusuri sungai Chikanishing. Sebetulnya menu masakan pagi mereka asyik juga, Spanish Omelette berupa kentang yang diiris dicampur bawang bombay dan dikocokin telor. Sayang harus dimasak dan dimakan dalam keadaan yang kurang rileks, next time better. Pendayungan di sungai adalah salah satu yang paling menyenangkan daku. Sayang sungai Chikanishing itu pendek sekhalei dan tak lama mendayung, kami mulai mendekati Georgian Bay. Hatiku agak was-was meskipun kanu kami sudah kubuat seimbang mungkin, kiri kanan, depan belakangnya. Cecilia yang jagoan alias tahan lama untuk mendayung sambil berlutut, sejak awal sudah dalam posisi itu. Demikian pula Bang Jeha Anda, begitu ombaknya semeter, langsung akan kusuruh si Bebeth yang duduk di tengah tiarap :-) dan kami berdua mendayung sambil berlutut. Weladalah, sekali lagi si Bebeth memang sakti! Ombak di George Lake masih lebih besar dari di Georgian Bay. Monika anaknya Akang Trisna dan Mbak Ayrini pun mampu untuk mengemudikan kanu di Georgian Bay yang seperti itu. Jadi dengan asoi kami mendayung dan mengemudikan kanu menuju Collins Inlet.
Tidak lama mendayung, pulau idaman hati yang saya dan Cecilia pernah kunjungi mulai tampak dari kejauhan. J yang meski jauh lebih muda dariku lebih pikun, masih menyuruh kami terus. Kukatakan, "No, I am positive this is the island. Look at that small island rock there where we all swam at one time to." Ia mengamati gugusan pulau-pulau mini yang kutunjuk dan mengangguk membenarkan. Kanu kami belokkan menuju pulau tujuan, suatu crown island alias kemping gratisan mau setahunan pun karena tanah milik pemerintah :-). J yang untung masih mengingat medan pulau itu, menyuruh kami memilih kapling masing-masing sebab daerah yang layak "dihuni" terbatas. Kuincer suatu lahan di bawah pohon cemara yang dulu pas karena tenda kami adalah 'honeymoon tent' alias tenda mini. Karena nyonyaku sudah kurang suka tidur di tenda itu, bosen dipelokin terus ama lakinya :-), kami sekarang memakai tenda yang lebih besar. Akhirnya kami memilih lahan lain di atas batu karang sehingga pemasangan pasak menjadi sedikit lebih sukar. Meskipun honeymoon sudah 26-an tahun lalu dan tendanya juga bukan tenda honeymoon lagi, dengan kerjasama yang erat, dalam waktu yang singkat, tenda kami sudah ber-Eureka alias memamerkan mereknya :-).
Keadaan pulau masih tidak berbeda jauh dari ketika kami kemping beberapa tahun yang lalu. WC di tengah alam raya, dimana sambil menunaikan kewajiban alam kita sungguh dapat memandangi alam raya dan mendengar burung berkicauan, masih tetap berjaya. Ya, WC itu kreasi kedua temanku dari Ottawa, D dan C. Teringat akan D salah seorang anak Kanada terajin di dalam perkempingan yang pernah kujumpai. Tidak pernah ia berdiam diri melamun seperti ogut. Ada saja kerjanya untuk kenyamanan bersama. Untung hanya sedikit peserta seperti doi sebab kalau 8 orang kerja terus, malu dong beta ngelamun doang :-). J yang ngetop rajinnya di kempingan kami, tak lama pulang bersama Bebeth dan Ayrin membawa sekanu kayu bakar. Dengan cara gotong royong alias estafet, kayu diangkut dari tepi danau ke atas tebing tempat api unggun.
Tak lama kemudian, kayu bakar yang dibawa J sudah menyala berkobar-kobar berkat kipas angin merek Oom Han-sonic yang cukup kencang jalannya. Aroma cemara merebak kemana-mana dan kupandangi suatu kapal pesiar yang berlabuh di teluk di seberang pulau. Apakah lebih asyik duduk di dalam kapal seperti itu, membaca buku mungkin, menonton tivi barangkali atau tidur-tiduran doang? Ataukah di udara luar dihembus angin kencang dimuka api yang berkobar-kobar? Si pelit mulai menghitung-hitung. Satu temanku mempunyai kapal layar, tentu jauh lebih murah dari kapal pesiar atau yacht itu. Ia beli bekas sekitar 20 ribu dollar. Yang engga bisa dilawan, ongkos tambat dan maintenance-nya sekitar 3 ribu $-an saja setahunnya, cukup untuk membeli satu kanu baru dan setumpuk perlengkapan kemping. Kapal pesiar itu mungkin 100 ribuan $, sama dengan 50 kanu dan kuyakin ongkos tambat plus maintenance-nya akan membuat daku kejengkang :-). Tiada yang lebih asyik melamunkan kekayaan orang lain namun tanpa rasa iri sedollar pun :-). Biarlah ia menikmati alam dengan kapal pesiarnya, pasti ia sudah kerja lebih keras dari hamba, programmer santai yang ogah ngoyo, cukup asal bisa kempingan beberapa minggu setahunnya :-). Setiap orang mempunyai prioritas dan pilihan hidup sendiri-sendiri. Asyiknya melamun ...
Lebih dari 20 tahun kutinggal di negeri ini, tanah airku yang kedua, belum pernah sekalipun daku memancing karena engga minat. Seperti pernah kutulis, rewel banget memancing ikan di Kanada ini dimana binatang sering lebih dihargai dari manusia di tanah airku yang pertama. Akhirnya, karena kasian melihat betapa nelangsanya isteriku, memancing berhari-hari di Boundary Waters Canoeing Area, ga dapet-dapet, kukatakan, "aku temenin deh kamu Yang." Nah, di Collins Inlet itulah Bang Jeha mencoba memancing dengan gaya sinyo alias memakai kail dan kelosannya. Engga enak bener prens :-). Maklum ogut anak kampung, mancingnya pake bambu doang dan senurnya digulungin ke sang bambu. Melemparnya asyik banget, dengan gaya si David melemparkan batu ke si Goliath. Yakni mata kail bersama timah dan pengapungnya kita putar-putar sampai siem, istilah Betawi untuk kencang, dan lalu serrrrr, kita lempar dengan bambu searah tujuan lemparan. Dijamin jauhnya bisa 100-an meter :-). Weleh-weleh, memancing pakai 'rod and reel', lemparanku paling cuma 20-30 meter doang. Rupanya, ikan di sekeliling Collins Inlet itu tahu, si Jeha anak Betawi senangnya mancing ikan laut yang galak, jadi tak ada satupun yang berani menyamber kailku takut membuat kecewa :-). Puluhan kali kail kulempar dan kugulung, kuganti umpan pakai pepperoni, siapa tahu ada ikan dari Itali yang nyasar :-), tetep wae tidak ada yang mau mencaplok pancinganku. Itulah nasib tukang pancing Anda di hari pertama ia mulai menemani isterinya memancing. Sejauh ini, ongkos pancingan dan license-nya sudah kebeli ikan setong tukang ikan di kampung Betawiku :-).
Bosen mancing, naik lagi ke atas tebing dan merenung kembali di muka api unggun :-). Kupilih kayu-kayu yang menurut teori kempinganku, the best firewood in the world, yakni kayu bekas dipotong beaver. Sudah kupesankan memang ke J, "If you see a beaver lodge, just get the woods from there" :-). Bukan main kayu eks geragotan beaver itu. Begitu ditaruh langsung menyala hanya dalam waktu beberapa detik. Itulah kayu pilihan insan alam. Sama seperti manusia yang dipilih oleh-Nya, mestinya oke punya dan sekali dicemplungin ke dalam "api" akan menyala :-). Masalahnya atau yang menjadi persoalan adalah bila doi merasa dibakar untuk disiksa, bukan untuk dijadikan manusia otot kawat balung besi a la Gatutkaca. Seperti sering kudongengkan di tayanganku, mereka yang pernah mengalami percobaan atau kesengsaraan, bila suatu ketika menjadi oke lagi dan mampu menimba manfaat dari pengalaman susahnya itu, niscaya si eks THP akan menjadi lebih oke dibandingkan dengan kita-kita yang hidupnya keenakan terus.
Langit semakin gelap namun cerah. Bulan belum nongol, syukurlah. Kesempatan untuk mengunjungi planetarium alam gratisan dengan kubah 360 derajat alias pandangan terbuka kemana-mana karena kami ada di atas pulau. Kami memilih langit bagian utara karena kemungkinan terjadinya peristiwa istimewa (tunggu tanggal mainnya :-)). Tidak mungkin kita dapat melihat meteor atau bintang jato bila kita ada di planetarium buatan manusia. Entah apakah sekali lagi karena kesaktian si Bebeth atau kami semua mujur, hampir setiap 5 menit, ada saja yang melihat meteor. Satelit sih sudah kebanyakan banget yang setiap saat dapat kita lihat lewat di berbagai posisi atau bagian langit. Meskipun sudah puluhan ratusan kali kita melihat Gugusan Bimasakti, Milky Way Galaxy maupun bintang-bintang di langit, tidak pernah bosan rasanya. Sayang sampai saat ini, daku belum pernah kemping dengan seorang astronomer :-). Pastilah kuliahnya akan tak kalah menariknya dari kuliah geologinya si Bebeth :-).
Hari Jum'at Friday the 13th yang ditahyuli banyak manusia sedunia tiba diiringi matahari yang cukup oke. Kulaburi tubuhku dengan sunscreen lotion ber-SPF 30 yang waterproof. Tujuan turne harian alias 'day trip' adalah menyusuri sebuah jalur sempit menuju Georgian Bay dari Collins Inlet itu. Tiga kanu bersembilan penumpang tak lama memasuki teluk kecil di awal sang jalur. Kubiarkan J di kanu paling depan menyimak terus dan mereka-reka dari mana kami harus mulai masuk. Ia mendarat di sebuah tebing, keluar dari kanunya dan memanjat ke atas melongok kesana kemari. Ia sudah menemukan jalanan yang kami pernah tempuh beberapa tahun lalu. Sayang sekali, tak begitu lama mencoba memulai, tinggi air di daerah itu semakin payah alias tak mungkin dilalui kanu-kanu kami. Akhirnya kami berbalik arah dan memutuskan keluar ke Georgian Bay melalui "jalan raya" azha alias ke arah Chikanishing River.
Tepat menjelang teng jam makan siang, kami sudah berada di antara puluhan pulau-pulau karang di utara Georgian Bay yang airnya sedingin air es. Lantaran perutku akan moring-moring bila telat diisinya, sahaya langsung mengusulkan untuk segera menuju salah satu pulau yang terbesar, berlabuh dan masak. Giliran si Cak untuk membuat macaroni and cheese dimana Bebeth minta spesial duluan sebelum keju seabrek-abrek dicampur :-). Angin yang cukup kencang dan Cak seorang diri yang repot masak alias tidak ada yang membantunya menghalangi angin ke kompor gasku membuat airnya ga mendidih-mendidih. Baru ketika rakyat mulai complain, kog lama banget, kutilik dan kutadangi angin dari satu arah. Tidak berapa lama airnya bergolak dan santapan macaroni yang lumejen dapat kita gasak.
Ketika kami sedang eksyen mau mengambil "foto keluarga",serombongan 'g-string' lewat lagi. Ada 10 kanu kali hanya sayang cuma string bagian atas yang tampak. Rupanya Georgian Bay merupakan salah satu daerah favorit perkempingan para awewek sebab relatif aman. Ketika belakangan kulewati perkampungan tenda mereka, kulihat tenda yang dipakai seragam semuanya alias pastilah mereka menyewa dari 'outfitter', tenda maupun kanunya. Good idea. Dalam perjalanan pulang, kami mampir lagi di suatu gugusan kepulauan karang mini. Meskipun airnya sedingin es, Oom J berminat berenang. Kutantang ia, "You go au naturel and I will join you." Lama banget ia mengambil keputusan. membuatku tidak sabar :-). Akhirnya dengan modal nekads meski tahu tidak mungkin bisa berenang di air sedingin itu, kulepaskan semua prenik-prenik dan terjun bebas ke dalam air es Georgian Bay tersebut. Seluruh tubuh seperti merinding dan berjerawatan, pokoknya suatu perasaan yang sukar dilukiskan. Tidak sampai semenit kucoba berenang di bagian kepulauan itu, langsung daku menepi menyerah, gilak sekhalei. Semenit lagi pasti kram dan 5 menit terkena hypo-thermia. Inilah yang ditakuti mereka yang berkanu di danau besar, kalau sampai kanu terbalik dan jauh dari daratan. Bisa berenang juga tak ada manfaatnya. Hanya saja, bukan main segarnya sehabis menyemplung di air es Georgian Bay itu. J dan Cak Indratmo serta nyonyaku, cewek satu-satunya yang nekad nyemplung juga, pasti mau bersaksi bahwa pengalaman itu tiada duanya, very refreshing.
Makan malam adalah spaghetti a la J yang cukup pinter juga masaknya, berkat seringnya kemping ama Melayus :-). Kemarin malamnya, lentil soup yang dimasaknya sungguh enak, tak kalah dengan makan di restoran sampai isteriku nambah 3 kali. Gimana ia lalu tidak kuat ngangkat kanu :-). Jadi hari itu, 3 kali makan pasta mulu sehingga sedikit banyak si J sudah ngebales dimasakin nasi terus. Sebetulnya pasta bermuatan karbohidrat sangat bagus untuk mereka yang berolahraga berat. Man-temanku para cyclist kalau mau ngenjot ratusan km makan spaghetti sepanci sehari sebelumnya :-). Ga heran si Bebeth engga kuat ngangkat kanu selangkahpun :-). Sehabis makan malam, bersama Cak yang tak kalah rajinnya dengan J, daku mencuci piring, bukan hobiku sebetulnya tapi karena si Ayrin kang cuci sudah pensiun sejak kami di George Lake campground. Tiada kerjaan lagi sehabis itu, memancingpun tak ada gunanya, ikannya goblok semua :-), daku merenung lagi di muka api unggun. Mengapa banyak orang yang pinter, memilih hobi mancing? :-) Modalku sih tidak/belum banyak, paling 100-an $. Satu temanku, sampai membeli fishing boat, 5K$. Belum pancingannya. Kalau Anda ga tau, entu fishing lure, umpan kail bo'ongan, ada yang puluhan $ satunya, lebih mahal dari ikannya :-). Gimana engga mau pinter tukang mancing di Amrik Utara ini. "Bang Jeha, hobi mana bisa dinilai dihargain begitu," protes kang mancing di milis ini. Bejug, bener juga. Hobi mancing belum seberapa, hobi ngumpulin 'g-string' lebih gaswats :-). Tapi ente semua tentu setuju, hobi kemping adalah salah satu yang relatif murah dan menyehatkan, belum oleh-olehnya dongengan yang mengasyikkan seperti ceritaku ini.
Melamunkan hobi kemping, hatiku cukup puas saat itu mengingat si Bebeth, rookie camper, sampai dengan hari terakhir, tidak pernah mengalami pengalaman traumatis yang bisa bikin kapok. Ya, sesekali kubertemu dengan manusia yang ogah kemping, pernah mencoba, tetapi disastrous karena atau planningnya begok atau diajak oleh bukan Bang Jeha :-). Rombongan pelamun di muka api unggun bersiap-siap pindah ke planetarium di malam terakhir itu. Saya berjalan di muka dan Cecilia membisikiku bahwa ia mau kencing dulu. Weleh weleh, belum jauh kuberpisah darinya, tahu-tahu ia menjerit, "northern light, northern light ... ," kaya anak kecil melihat tukang es krim lewat di depan rumah :-). Langsung kumenoleh ke langit bagian utara. Masyaalah, bener be'eng. Ada 10 lebih sentolop atau senter raksasa menyinari langit bagian utara. Kalau Anda pernah melihat lampu sorot di Jakarta Fair atau di pasar malam jenis lainnya, nah, kira-kira seperti itulah suasana langit di bagian utara ketika itu, bak pasar malam. Kucari si Bebeth dan ga taunya anak itu udah dari tadi nungguin 'northern light' katanya :-). Sombong ye :-). Tapi memang ia disayang banget ama Oom Han, pertama kali kemping ke interior bisa melihat aurora borealis padahal temanku yang rumahnya di Georgian Bay dan puluhan tahun tinggal disitu, setahun paling sekali dua kali ngeliat "cahaya utara" itu. Sama sekali tidak sesering yang Anda duga.
Itulah sebabnya, ketika keesokan paginya, hari terakhir kami mendayung, air di Georgian Bay setenang empang Marunda, saya sudah tidak merasa heran lagi. Terima kasih Oom Han, yang sudah memperlihatkan kasih kuasa-Mu kepada kami semua, 9 insan yang terkadang tak tahu diri dan sentimen kepada beaver :-) ciptaan-Mu juga. Terima kasih atas semua bimbingan-Mu di dalam "retret khusus" ini, sampai jumpa bulan depan di cagar Algonquin. Bai bai lam lekom.