Tiga bulan lamanya saya pernah tinggal di Hong Kong ketika saya menjalani pendidikan dasar cangkulan saya di tahun 1972. Itu sebabnya, saya tidak kejengkang ketika bertandang ke rumah pren saya anak Hong Kong di Toronto ini dan melihat ovennya masih baru gres tak pernah dipakainya meski ia sudah beberapa bulan saat itu tinggal di apartemennya. Tidak pernah ia perlu memasak sebab ia selalu beli 'chinese food' dari restoran Tionghoa yang jumlahnya ada seribu di kota ini (ada lebih dari setengah juta orang Tionghoa yang tinggal di Toronto dan sekitarnya). Berjeti-jeti wong Hong Kong, baik yang tinggal di Kowloon terlebih yang di pulaunya, hidup di dalam rumah sebesar "kotak", sebagian tidak ada dapurnya, terkadang hanya kamar untuk tidur dan WC kamar mandi yang disyer beberapa keluarga. D.p.l. suami isteri tidak pernah mengalami keasyikan seperti Bang Jeha jadi asisten masak bersama bojonya, kalau kami sedang kemping. Sori contohnya kemping mulu :-) tapi saya serius, memasak makanan berdua bersama-sama adalah suatu hal yang positif, baik bila untuk dimakan sekeluarga, terlebih kalau saya dan nyonya diundang untuk menikmatinya. Ada satu lagi pemeo bahasa Inggris yang berbunyi 'the families that pray together stay together'. Menghormati mereka yang tidak suka berdoa, saya katakan husband and wife that cook together hook together, lebih saling terikat. Bila acara makan-makan itu dilakukan selalu bersama keluarga, tentu dampaknya akan lebih terasa, terutama bila suasana di dalam keluarga aman damai tenteram dan meja makan bukan lahan perkelahian. Saya lalu teringat kepada salah satu kebiasaan di eks cangkulan saya kalau mereka mengadakan konvensi dalam rangka penghargaan kepada karyawan-watinya. Yang melayani kami, nyendokin cem-macem makanan yang uenak-uenak adalah para juragan kami sendiri, bukan pelayan hotel atau resort tersebut. Pinter sekhalei memang juragan pelayan itu sebab mereka percaya, 'in giving you will receive'. Si anak buah yang berterima-kasih sudah dilayani, akan lebih lagi semangatnya nyangkul, supaya tahun depan bisa ikut konvensi dijamu tersebut.
Kemarin dulu saya hadir di sesi Anger Management paguyuban serviamTO yang diberikan oleh pren saya James Shaughnessy, sehari-harinya konselor pasutri atau marriage counsellor di Toruntung ini. Sudah boleh diterka, salah satu pengalaman atau spesialisasi James adalah di dalam memberikan nasihat atau kiat kepada isteri dan suami yang suka marah-marah atau memarahi pasangannya. Ada beberapa sumber maupun lapisan suatu kemarahan. Salah satunya adalah marah yang bersumber kepada ketakutan. Sering ketakutan yang tersembunyi dari era masa kanak-kanak kita. Misal salah satu contoh yang diberikan James, isteri yang marah kalau suaminya pulang terlambat dari kantor. Setelah diusut-usut, ternyata si isteri kehilangan ayah yang kabur begitu saja dari rutang ortunya. Jadi kemarahannya bersumber karena ketakutan bojonya menghilang atau amit-amit terkena kecelakaan. Salah satu sumber kemarahan isteriku akhir-akhir ini adalah yang menyangkut urusan makanan. Pemicunya adalah si saya yang mengomentari sesuatu sedemikian sehingga ia THP, hurt. Meskipun saya mengeritik memberikan komen, intinya atau dalih saya adalah karena ketakutan saya akan kehilangan dirinya, karena kesehatannya atau persisnya tekanan darahnya sudah tidak normal lagi. Saya tahu solusinya, memakai plakban imajiner di mulut saya kalau saya mau berkomentar sesuatu mengenai kegendutannya, ooops, mengenai tekanan darah tingginya. Seriusan, saya hanya bisa berhenti berkomentar, kalau saya tidak takut lagi ditinggal mati lebih dahulu olehnya. Karena kita semua toh bakal ko'it juga suatu ketika, bisa esok hari bisa minggu bulan depan, semestinya saya merelakannya untuk 'say goodbye' terlebih dahulu. Ini yang saya masih akan berjuang terus dan dengan demikian Anda bisa melihat bahwa sumber-sumber yang membuat kita pasutri saling bengkelai, tidak akan ada habisnya dan pemicunya bisa 1001 hal. Karena marah sebetulnya adalah suatu stress reliever juga, maka seninya disini adalah kita bisa melepaskan beban-beban kehidupan kita, stressor kita, sebelum menumpuk dan membuat kita marah. Akhir-akhir ini saya sudah lebih jarang marah kepada bojoku, melainkan lebih kepada anak-anak. Teknik yang saya lakukan bila saya marah kepada anggota keluargaku adalah mendengarkan musik pake headphone azha alias sendirian, jalan ke luar rumah bila kadar marahnya kebangetan, mendayung kanu atau mengenjot sepeda puluhan km bila saya marah banget-banget-banget. Intinya menurut saya, warga rutang yang mampu memenej kemarahannya dengan baik membuat sang rutang menjadi lebih oke.
Satu hal terakhir yang berkaitan dengan anger management adalah bersikap sabar. Mudah menulisnya sukar melakukannya tetapi saya yakin Anda sebagai manusia dewasa pernah bersabar, paling engga kalu lagi antri tunggu giliran. Bukan saja sabar di dalam urusan adegan ranjang atau ML membuat pernikahan semakin langgeng, juga di dalam p i l i h a n kita untuk tidak marah. Orang sabar (di)kasihan(i) Tuhan adalah pemeo yang bagus untuk kita ulang-ulangi sendirian kepada diri kita sendiri, terutama bila kita dihadapi situasi yang sukar untuk tidak marah. Semoga Anda percaya bahwa Anda memang dikasihi Tuhan. Nah, karena hari Kamis mendatang saya akan cabut kemping ke Killarney Lake, yang tak perlu lagi saya kemukakan keampuhannya sebagai stress reliever, dan banyak yang perlu saya persiapkan, semoga Anda juga bisa melatih kesabaranmu menunggu sambungan seri ini, kapan-kapan :-). Bai bai lam lekom.