Anda yang sudah pernah membaca dongeng canoeingku tentu masih ingat inti dari pendayungan atau berkanu yang oke, selalu meluruskan arah sang kanu sesuai dengan tujuan mau kemana kita. Adalah tugas kedua pendayung baik yang di haluan maupun yang di buritan, untuk membuat arah kanu selalu lurus, tidak zigzag jalannya seperti para pemula berkanu, novice canoeist. Bila angin kencang dan ombak besar serta kita ada di danau yang lebar, semakin kita lengah di dalam menjaga arah kanu, semakin kita sukar untuk mengemudikannya. Metafora di atas sedikit banyak bisa dipakai di dalam kehidupan pernikahan. Sering kita mencuekkan gangguan-gangguan kecil di dalam rutang, tidak menghiraukannnya sampai bahtera kita sudah kemasukan air dan hampir karam. Seorang sahabat saya yang ingin untuk diajak ke Killarney Lake bertekad untuk latihan mendayung sejak beberapa bulan lalu karena ia tidak memandang enteng suatu canoeing trip. Lain halnya dengan pernikahan. Berapa dari antara kita yang sadar bahwa tidaklah mudah menjadi isteri atau suami, menjaga agar pernikahan kita langgeng senantiasa. Kita lenggang-kangkung masuk ke dalam hubungan suami-isteri dan barulah kelojotan kalau masa-masa bulan madu telah berlalu, kita sadar dan bangun dari sang mimpi.
Kalau 50% dari pernikahan bubaran, lebih lagi menyedihkannya statistik dari pernikahan kedua, 60% bubar dan 75% dari pernikahan ketiga. Seperti sudah pernah saya dongengkan, diperlukan lebih banyak lagi persiapan bagi mereka yang pernah bercerai untuk menikah kembali. Sering mereka masih belum tahu apa yang menyebabkan pernikahan mereka bubar, untuk mengulangi lagi kesalahan yang sama, karena ya hidup di dalam ilusi. Sangatlah biasa terjadi, ketika masa-masa awal pernikahan sudah berlalu, terjadilah power struggle, saling berebut kekuasaan, si isteri mau mengurusi mobil di garasi, si suami ingin menyusui si bayi :-). Kalau yang pertama masih mungkin, contoh ngawur yang kedua dari bang jeha Anda dimaksudkannya bahwa sering terjadi sesuatu yang sudah tak masuk di akal, asal kita bisa menang di dalam berperang. Sedikit menyimpang mumpung terpikir, dua kata tabu di dalam berkelahi antara su-is, menurut pengalaman saya dan nyonya adalah: tidak pernah dan selalu. Bahasa Inggrisnya, never and always. Kalau kami sampai berkelahi, sesekali, dan salah satu pihak lupa lalu mengucapkan kata itu, saya maupun Cecilia mempunyai hak veto nyemprit: "Eittt, jangan bilang tidak pernah." Kalau sampai Anda bener-bener begok dan memang tidak pernah membelikan isteri Anda intan berlian seperti si Jeha, sudah nasibmulah diembat di dalam perkelahian :-).
Seriusan lagi. Tahap sengat-sengatan setelah kedua pihak mulai bosen satu sama lainnya, adalah biasa atau lumrah terjadi. Kalau kasusnya tidak parah sekali, apalagi si su-is sudah beranak atau punya commitment yang lebih besar untuk tidak bubaran, sering lalu mereka masuk ke dalam tahap resolusi. Ada dua kemungkinan, masing-masing akan sibuk dengan diri dewek, keintiman dan rasa sayang terbang melayang. Satu kemungkinan lainnya, salah satu pihak sadar lebih dahulu, bahwa ia harus berkembang, harus berubah, perlu eksyen. Di muka saya terletak satu undangan yang bagus sekali yang dikirimkan oleh anak sahabat saya yang akan menikah di Seattle, Amrik. Mataku terpana oleh satu kalimat di halaman mukanya yang berbunyi: we are one, after all, you and i. together we suffer, together exist, and forever will recreate each other. (pierre teilhard de chardin) Hesbats sekhalei kedua calon su-is itu. Mereka tahu inti pernikahan yang akan sukses, menjadikan manusia yang baru, bukannya seorang anak maksudku tetapi diri sendiri.
Di dalam dongengan psikologi saya, Triangular Love, mengetengahkan si Robert Sternberg pencetus sang teori, kukatakan juga bahwa pernikahan yang mempunyai tiga komponen cinta 'commitment, passion, intimacy' mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk langgeng dibandingkan hanya bermodal satu atau dua komponen saja. Komitmen maupun passion, semangat, tak perlulah kujabarkan lagi sebab sedikit banyak Anda memahaminya. Namun intimacy atau sementara orang memakai istilah 'closeness' penting untuk dikaji lebih jauh. Ada banyak aspek maupun jenis kedekatan keintiman ini. Yakni kita bisa dekat secara seksuil, maupun dari segi emosi, sosial, intelektuil, rekreasi, seni, dan spirituil. Hampir semua faktor di atas ada di dalam hubungan saya dan Cecilia sehingga sedikit banyak, mereka sudah membuat kami lebih tahan di dalam berkanu di tengah angin yang besar dan ombak yang tinggi. Tentu saja ada risikonya menjadi sangat terbuka dan dekat satu sama lain seperti itu. Ya, bila salah seorang dari antara kami sudah tiada lagi atau 'say goodbye', hampir bisa dipastikan bahwa luka yang ditinggalkannya akan ngegerowak atau besar sekali. Namun kami sadar akan hal itu dan memutuskan menghadapinya sebab buah yang kami nikmati saat-saat ini lebih ranum daripada nanti ketika kami menjadi THP. Sampai tayangan berikutnya, kapan-kapan. Salam dari Toronto.