Saya menghadapi dilemma untuk mensyer apa yang sedang saya pikirkan saat ini. Yakni, saya baru saja mengakhiri tulisan serial saya Psikologi Kriminil dimana salah satu hasil penelitian dari para pakar kriminologi itu, anak-anak yang banyak mendapat kasih sayang, caregiver, akan lebih oke atau tidak serentan anak-anak yang kurang mendapat kecintaan manusia. Sebagai keluarga nuklir alias semua saudara kami, kami tinggalkan ketika hijrah ke Kanada, itulah yang sedikit banyak saya alami. Kedua anakku menjadi anak bermasalah sebab tiada kakek nenek oma opa yang tinggal bersama mereka dan bisa menjadi juru damai ketika mereka kami disiplinkan. Tidak ada nenek seperti oma saya yang suka mengeluarkan saya dari kakus bau penuh kacoa ketika saya suka diseterap oleh ibu saya yang galak :-) dengan alasan (kakus kami cuma satu padahal yang tinggal ada selusinan manusia) ia udah kebelet mau boker. Tiada kakek seperti engkong saya yang suka membuatkan saya pestol-pestolan kayu dengan pelor buah seri (tanaman sudah langka di Jakarta yang buahnya keras dan tangkai buahnya kuat, mirip buah crap-apple di Kanada). Menjadi dilemma karena saya mau mengatakan, hai para su-is, pergilah dari ketiak ibumu sayap bapakmu bila kau sudah menikah. Jadilah pasutri yang mandiri dan kalau berkelahi jangan lari pulang menangis ke nyokapmu tetapi hadapilah si misoa bak dikau seorang wayang bernama Srikandi. Kalau Anda seorang cowok, janganlah mau dikolokin lagi oleh nyokapmu sebab dikau sekarang udah punya manusia lain buat berkolokan. Kalau saya bisa memilih lagi hidup di Indo di tengah keluarga besar atau ke Kanada saja, saya tetap akan memilih yang terakhir sebab hubungan saya dan isteriku menjadi dipererat dan kami serba mandiri, benar-benar tidak lagi tergantung kepada ortu kami. Itulah juga yang saya amati sejauh ini, su-is yang mandiri dan dewasa, mampu membereskan persoalan mereka sendiri, tanpa campur tangan ortu amit-amit mertoku :-). Satu hal yang saya amati dan saya rasakan, sebab setelah saya menikah, saya sering mengajak isteriku dolanan ke rumah ibunya, adalah perempuan lebih sensitif kalau suaminya (masih) dikolokin oleh ibunya, dalam hal ini oleh mertua ceweknya. Itu sebabnya sering terjadi korslit antara menantu perempuan dengan ibu mertua. Apalagi kalau isteri kita orangnya mandiri, ia akan lebih-lebih lagi kaga hepi bila ibu kita masih menjadi 'da boss' ngatur ini itu, termasuk popok buat cucunya, amit-amit cara ber-KB buat anaknya :-).
Bila Anda pernah membaca tayangan serial saya 'The Nurture Assumption' mengetengahkan teori sosialisasi kelompok-nya Judith Harris, bahwa anak mendapat pendidikannya dari peer group, dari kelompok perumpian mereka, Anda semakin akan mikir untuk menjadi keluarga nuklir. Oleh karena itu, terutama bila Anda akan menjadi keluarga imigran pindah ke luar batang, lebih-lebih perlu lagi kekompakan Anda sebagai su-is karena anak-anakmu nanti akan menjadi produk budaya negeri asing, sesuai juga dengan petuah Kahlil Gibran bahwa dikau hanyalah busurnya dan anakmu mata-panahnya. Kuketengahkan hal yang dilemmatis ini karena anak-anak sangat mempengaruhi kelanggengan pernihahan, vice versa. Di dalam rumah-tangga yang nyaman, aman dan damai, kemungkinan lebih kecil anak-anak akan menjadi rentan dan bermasalah. Bukan lagi rahasia bahwa banyak pasangan yang sebetulnya rapuh atau retak, tidak bubar demi karena anak-anak mereka. Sering sebetulnya si suami maupun si isteri bak tinggal dalam neraka dunia. Wah sori rek, tayangan ini mau membicarakan mensyerkan kelanggengan kog, bukan perceraian.
Barusan saya mensyer bahwa strategi yang kayanya oke untuk mengejar pendidikan lanjutan di Kanada adalah ambil S1 saja, cari cangkulan, ambil S2 s/d S3 dengan bantuan pembiayaan dari sang cangkulan. Saya mempunyai beberapa teman yang menjalaninya sehingga bisa menyimak bagaimana mereka bisa sukses, bekerja berumah-tangga (mayoritas memang belum punya anak), sekolah. Tidak salah lagi, mereka menjalankan 'a fine time management' dan kebolehan mereka dalam mengatur waktu itulah yang akan menentukan sukses tidaknya. Sedikit banyak meski bukan sekolah resmi, saya pun menjalankan ketiga-ketiganya ketika saya baru pindah ke Kanada, maupun di awal-awal cangkulan karena saya banyak mendapat training. Untungnya saya, saya juga berkesempatan mengambil kursus mengenai 'time management' dibimbing seorang pakarnya di negeri ini, Harold Taylor. Banyak kiat yang ditulisnya di dalam bukunya berjudul yang sama. Karena tayangan ini juga bukan mengenai manajemen waktu, maka tidak saya rincikan. Hanya satu hal, kebolehan kepiawaian Anda di dalam mengatur waktumu dalam memberikan prioritas mana yang lebih penting, dibutuhkan bila Anda mau membuat pernikahanmu langgeng. Sering kita lihat pembagian waktu yang bego dari salah satu atau kedua belah pihak, membuat sang rutang sekarat. Sekian dulu prens sadayana, sampai seri mendatang sebab tugas rutang alias syoping bersama nyonya sudah menunggu beta. Bai bai lam lekom.