Menjadi Pejiarah Kota Suci di Tahun Suci

Sebenarnya saya termasuk alergi pergi ke tempat-tempat suci. Terakhir kali sejumlah sahabat saya di kotaku ini pergi ke Tanah Suci, sepulangnya, mereka membawa "oleh-oleh" yang membuat daku menjadi tidak suci :-). Labelingku untuk satu dua sohibku itu, bahwa mereka sudah menjadi penganut 'self-righteousism' membuat hilangnya kemungkinan mempunyai lingkaran di atas kepalaku seperti yang banyak dapat kita lihat terpasang di atas patung. Jadi kalau saja saya dapat mengatur Cecilia isteriku yang tak senang diatur, maunya saya ya engga usah deh ke kota suci Roma. Saya lebih senang merayakan HUT Pernikahanku di dalam cagar alam dan sudah kupersiapkan dua pilihan saat itu. Pergi camping canoeing ke Boundary Water Canoe Area Wilderness dekat Elie, Minnesota atau ke cagar alam di propinsi Manitoba. Namun, seperti dikatakan oleh keponakan Cecile yang tinggal di Winnipeg, kedua cagar alam itu kalah saingan dari Roma, Italia. Akhirnya jadilah kami pejiarah di kota suci di tahun suci 2000 ini.

Seperti sudah kusyer sedikit di dalam tayanganku 'Menjadi Pengantin Pasang Surut', cita-cita kami cukuplah ke Misa Kudus di tanggal 10 Mei berdua dan yang lain-lainnya adalah 'gravy'. Istilah anak Kanada itu artinya, yang lain hanyalah penambah pemanis dan pelengkap, tapi bukan yang terpenting. Tetapi, mungkin suasana kota suci, mungkin karena kami pergi di tahun suci dan di bulan favoritku, bulan Mei bulan Bunda Maria, tidak pernah seumur hidupku daku berdoa sebanyak di Roma per harinya :-). Bagaimana tidak, lewat pintu suci di beberapa basilica, porta sancta istilah Italinya, kami berdoa. Maklum pintu itu baru akan dibuka kembali 25 tahun lagi dan mungkin Bang Jeha Anda sudah benar-benar berciuman dengan tanah alias kojor di tahun 2025. Di setiap gereja di muka setiap patung santo santa yang kami kagumi, kami berdoa. Naik bis atau trem dan berdesak-desakan, saya juga berdoa supaya anak Betawi yang dulu suka nyopet srikaya, tidak kecopetan di Roma :-). Sebetulnya lagi, karena maklum akan kehesbatan copet Roma, saya sudah bermodal membeli celana anti-copet dari Tilley Endurables, suatu toko yang cukup terkenal di Toronto. Tapi tentu malu-maluin bangsa kalau selama seminggu saya hanya memakai sang celana si Tilley :-). Jadi kalau saya memakai celana lain, satu tanganku siap di pantat di bagian dompet bak Jango yang siap mencabut pestolnya. Ketika pertama kalinya kami pergi bertiga dengan 'tour guide' kami si Mo Kus, saya sedikit kagum melihat ia jalan dengan santai tanpa gaya Jango. Kutanya, "Mo, dompet sampeyan ditaruhnya dimana?" Ia tersenyum meyakinkan bahwa ia sudah pren dengan para pencopet kota Roma :-). Malah ia mensyer nasib Uskupnya yang sempat kecopetan. Belakangan ketika saya sudah pulang, saya mendapat berita duka dari Mo Kus, ia kecopetan :-(. Doakanlah Mo Kus agar kartu mahasiswanya yang sakti dan terutama SIM-nya, dapat ia peroleh kembali. Kartu mahasiswanya memang sakti sebab sekali ia lambaikan di airport waktu mengantar kami pulang ke Toronto, petugas security menjadi kuncup :-). Tak heran Pak KUPT Pasang Surut keder melihat kartu mahasiswa Mo Kus :-).

Menyambung 'tour' yang pertama di atas, kami diajak Mo Kus pertama kalinya ke kota Vatican dan masuk ke Basilica San Pietro. Namun, menjelang tiba di lapangan gereja itu, kami melihat ratusan orang berkerumun. "Ono opo Mas?," tanya Mo Kus kepada oom polisi yang menjaga massa, dalam bahasa Itali tapinya yang memang mirip boso Jawi :-). "Il Papa bla bla bla," begitu yang kudengar dan berarti Paus mau lewat. Gilak sekhalei kataku dalam hati. Paus mau lewat alias keluar dari rumahnya, yang menunggu sampai ratusan orang. Bang Jeha pren Anda setiap hari keluar masuk rumahnya, tidak ada satupun yang menunggu, apalagi bersorak-sorak, "viva Bang Jeha", eh "viva il Papa", seperti apa yang kulihat dan kusaksikan sendiri di sore itu. Tepat seperti dikatakan oleh Mo Kus dan Mo Topo, inilah contoh anak bae yang dicintai oleh ratusan juta manusia, bukan seperti ente dan ogut anak comberan dan kampungan :-).

Mendekati pintu atau gerbang masuk ke lapangan, Mo Kus memperlihatkan peralatan scanning untuk tas seperti kita jumpai di lapangan terbang. "Trims" memang ke si Mehmet Ali Agca, sekarang tidak mungkin lagi berada di dekat Paus tanpa tubuh kita mesti melewati metal detector dan tas kita di-x-ray. Pada tanggal 10 Mei pagi ketika mau menghadiri audiensi umum, saya keluarkan 'Swiss army knife'-ku dari ranselku sebab engga mau cari perkara. Benar saja. Seorang ibu anak Jerman yang untunglah doi bisa bahasa Itali, dicegat dan mesti berdebat beberapa menit karena kedapatan tasnya berisi pisau lipat. Akhirnya pisau kecil itu boleh dibawanya masuk ke lapangan Santo Petrus berkat ia ber-mamma-mia bukan isterinya Mang Ohle :-) dengan petugas.

Sebagian di antara pembaca mungkin pernah ke kota suci Roma dan sebagian tentu belum. Namun karena beta tidak mempunyai banyak waktu lagi untuk menulis, tayangan ini tidak akan kubuat bersambung. Juga saya tidak akan mendongengkan basilica dan gereja yang sudah kulihat. Bila Anda berminat, karena pren dengan Fr. Vito bos parokiku Epiphany of Our Lord, saya dan Cecilia diberinya buku 'Pilgrims in Rome' yang berisi cem-macem info buat pejiarah di tahun 2000 ini. Asal Anda bersumpah mengembalikannya, akan saya pinjami. Mengunjungi keempat basilica utama, San Pietro, San Paolo, Maria Maggiore dan Giovanni Lateran sebagai PR bagi kami oleh Fr. Vito :-) tentu mengesankan. Tetapi lebih mengesankan bagiku adalah dua kali acara makan siang a la kempingan alias lesehan bersama Mo Kus dan pren. Yang pertama kali di suatu bukit di Asisi berempat bersama Romo Sutopo. Mo Kus sudah menyiapkan beberapa lauk kering dari rumahnya, lengkap dengan nasi se-rice-cooker dan minuman kaleng dari lemari es Dehon House :-). Yang kedua ketika kami ke Tivoli berlima bersama Bruder Daryono, lebih memukau :-). Soalnya si Mo Kus sempat-sempatnya membuat gulai ayam disamping 'sego' favorit Mo Topo :-).

Dasar dunia sempit. Ketika di Asisi kami bertemu dengan pejiarah yang langsung cabut dari kampung Melayu sebis alias 64 orang banyaknya. Pertama bertemu mereka, di toko souvenir dan kedua kali bertemu juga sedang syoping :-). Siapa bilang orang Indo dilanda krismon? Kata Cecile, "Engga ada temenmu tuh?" "Yang bener azha, apa setiap ketemu orang Melayu mesti ada temanku?," jawabku. Weleh-weleh, ketika kami melewati rombongan itu di pendakian menuju basilica Santo Fransiskus kulihat seorang yang sama matanya denganku alias anak sipit prenku secomberan dulu :-). "Eh elu N." tegurku ke si bos yang memang di Betawi bos yang kalau kusebut namanya, ente-ente akan banyak yang kenal. Yang juga menarik kalau ketemu rombongan Melayu ini, entah mengapa, mereka bersemangat banget "menampilkan" romo atau imam yang dibawanya. Seolah-olah tour mereka lebih bonafid kalau ada pastornya. Begitu mengetahui rombongan Bang Jeha ada tiga romonya :-), yang satu romo gadungan alias bapaknya anak-anak, langsung mereka pada menjerit untuk mencarikan dimana sang dua romo yang mereka bawa dari Melayu :-). Sayang daku tidak membawa sarung tinju sebab kuyakin Mo Topo akan menang melawan satu romo ceking mereka dan Mo Kus pasti mampu mengalahkan satu romo lagi yang mereka bawa :-) :-). Amblass. Ya itulah pren, anak Betawi berjiarah ke kota suci di tahun suci.

Seriusan lagi. Hari Kamis adalah hari "api pencucian" untukku yang memang manusia penuh dosa. Setelah semalaman tak bisa tidur karena ternyata Bang Jeha pelamun bersepeda Anda terkena alergi, kami berdua diajak 'hiking' puluhan kilometer oleh Mo Martino. Jelas ia kuat berjalan. Semua romo di Roma kuat berjalan sebab tidak punya mobil alias sehari-hari ya harus jalan kaki. Mo Martino yang di Paroki-Sby sudah kebeken seorang tuan rumah yang hesbats, sekali lagi memperlihatkan kebolehannya menjadi 'tour guide' merangkap penjamu yang oke punya. Hutangnya berupa es krim Itali atau gelato dilunasinya di suatu warung encek, eh restoran Malaysia. Cukup lumejen masakan disitu dan untuk ukuran kota Roma, kata Mo Kunarwoko, restoran itu yang terenak di bilangan kampung tempat ia tinggal. Untuk Anda yang kenal Mo Martino dan ingin minta ditraktir, katakan saja restoran yang dekat subway Colosseo.

"Mas, panjang banget ceritanya?," kata Anda yang sudah lama tidak membaca tayangan sepanjang ini. Kutahu. Seperti sudah kukatakan di atas, saya tidak sempat menulis banyak-banyak lagi hari-hari ini. Jadi memang mau kuselesaikan dengan satu cerita istimewa terakhir. Waktu itu kami dibawa oleh Susi dan anggota tournya adalah kami berdua serta Mo Topo. Adegan atau peristiwa sangat mengesankan ini terjadinya di basilica Santa Caecilia. Anda semua tahu ya bahwa Santa Caecilia adalah pelindung pemain musik, termasuk tentunya para penyanyi. Puluhan gereja dan tempat suci yang kami kunjungi dan baru ketika kami masuk ke dalam gereja Santa Caecilia itu, kami disambut dengan pagelaran paduan suara beberapa puluh anak-anak kecil. Seperti sudah diatur dari sononya, si empok Cecilia diberi hadiah istimewa dinyanyikan oleh sang Santa pelindung :-). Mungkin Tante Santa teringat bertahun-tahun anaknya satu itu menjadi penyanyi koor dan sering menyanyi solo di dunia ini. Jadi diberinya hiburan istimewa di siang hari itu. Lengkaplah sudah jiarah kami berdua di kota suci di tahun suci ini. Bagi diriku sendiri, nyanyian yang paling berkesan adalah ketika kami menyanyikan Tantum Ergo di saat ikut Vespers atau pujian di kapel Leone Dehon House bersama para imam SCJ anak bae. Tantum ergo sacramentum ... Veneremur cernui ... Et antiquum documentum ... Novo cedat ritui ... Praestet fides supplementum ... Sensuum defectui ...

Salam dari Toronto, matur nuwun sanget kepada para 'tour guide' kami di kota suci, semoga Anda suatu ketika memiliki lingkaran di atas kepala :-) :-) :-).

Toronto, 17 Mei 2000

Beberapa foto seputar perjiarahan

Back to my Home Page