Pengalaman Imigran Toronto I

(Keputusan Untuk Pindah)
Seperti pernah saya janjikan, suatu ketika saya akan menulis pengalaman hidup saya menjadi imigran ke Canada dan menetap di Toronto. Ada tiga hal yang membuat saya mulai menulisnya lebih awal dari rencana semula. Pertama, seperti saya tulis beberapa hari lalu, Toronto, oleh majalah Fortune (sudah dimuat di edisi 11 Nopember) terpilih menjadi kota nomor 1 di dunia untuk dihuni dan dijadikan tempat mencari nafkah. Tanpa dipilih oleh Fortune, saya sudah tahu bahwa kota pilihan saya tinggal ini nomor satu di dunia :-). Kedua, saya ingin menghindari kesan yang mungkin timpang dari mereka yang senang membaca cerita pengalaman saya seperti canoe camping, renungan api unggun, dan cerita wah wah lainnya bahwa seolah-olah Toronto atau Canada adalah "surga di dunia" dan lalu membuat Anda yang tinggal di tanah air merasa tidak betah. Ketiga, menjadi rahasia saya pribadi dan Anda yang "terlibat" tidak perlu kwatir akan saya buka, bahwa dari waktu ke waktu, ada di antara warga P-Net yang menanyakan informasi untuk bagaimana caranya sih pindah ke Canada :-). (Untuk Anda yang kwatir, saya tidak pernah menyimpan email mengenai itu, selalu saya hapus dan nama Anda saya lupakan.)

Dengan menuliskan pengalaman-pengalaman saya menjadi imigran, baik pengalaman negatif maupun pengalaman positif, pengalaman suka maupun duka, bahagia atau susah, saya berharap Anda mendapat informasi yang lebih lengkap dan seimbang. Dengan menceritakan pengalaman tinggal di kota terpilih nomor 1 di dunia, semoga Anda mendapat perspektif yang lebih baik seperti apa 'a city that works', kota yang layak dihuni. Membagikan pengalaman duka atau susah akan membuat Anda maklum bahwa salib ada dimana-mana dan tidak ada yang namanya surga di dunia. Jadi saya berharap bahwa tayangan pengalaman hidup saya ini akan bermanfaat baik bagi mereka yang memutuskan tinggal untuk seumur hidup di tanah air, yang sedang dalam proses pikir-pikir maupun yang sudah memutuskan untuk pindah ke luar negeri. Demikian pula bagi mereka yang merasa tidak akan pernah memperoleh kesempatan pindah, Anda masih tetap dapat membuat lingkungan hidup Anda seperti wadi di padang pasir bila Anda merasakan kepanasan gurun sedang melanda tempat tinggal Anda. Seperti baru saja saya katakan, perintah Kristus: kasihilah sesamamu manusia, 'love your neighbour', berlaku dimana saja tidak peduli Anda tinggal di Betawi atau di Toronto. Nah, sudah ada yang berkata, "Eh lalu kenape elu pindah dong jus?" :-) Begini jawabannya.

Bagi Anda yang mengikuti tayangan saya sejak awal saya menulis di P-Net (September 1995), mungkin Anda masih ingat salah satu sebab saya memutuskan untuk pindah ke luar negeri. Ada 3 faktor utama yang ingin saya kemukakan kali ini. Yang pertama adalah "wangsit" yang saya sempat terima yang ternyata terbukti benar, bahwa akan semakin gawatnya mutu pemerintahan ataupun suasana politis di Indonesia. Yang kedua adalah kesempatan pendidikan bagi anak-anak. Seperti Anda ketahui, saya minoritas ganda. Sudah keturunan Tionghoa, beragama Katolik lagi. Banyak pengalaman saya, di antaranya pengalaman traumatis di dalam mencoba mengenyam pendidikan tinggi di Indonesia sebagai warga keturunan Tionghoa dan saya berusaha agar anak saya tidak pernah mengalaminya. Perasaan saya bahwa mutu pendidikan ataupun kesempatan untuk mengenyam pendidikan bagi kaum minoritas akan semakin turun dan berkurang, ternyata benar pula. Kasihan keluarga-keluarga tidak mampu di Jakarta (saya tak tahu kota lainnya) yang ingin menyekolahkan anaknya di sekolah yang baik. Seperti juga mungkin Anda masih ingat, saya pernah bercerita bahwa bagi saya, bila saya ingin agar generasi anak-cucu saya menjadi bangsa Indonesia "tulen", terutama karena ingin "menyesuaikan diri" dengan sikap politik pemerintahan ataupun "pemimpin bangsa" terhadap warga keturunan Tionghoa, saya perlu membaur. Saya sudah tidak dapat "memilih" lagi asal muasal saya, tetapi saya dapat memilih untuk menikahi gadis pribumi. Ibu saya menolak mentah-mentah gagasan, usaha dan upaya saya, serta di beberapa kesempatan "menyabotnya". Namun saya tidak pernah menyesali diri bahwa saya ataupun keluarga saya toh akhirnya keluarga keturunan yakni dengan saya menikahi Cecilia anak Tionghoa juga. Yang ketiga, mungkin jiwa petualangan saya yang kuat dan bersemangat untuk "jalan-jalan keliling dunia" terutama tinggal di negeri berkebudayaan Barat. Bila Anda masih ingat PAB I, ini hasil "pendidikan" jalan-jalan naik trem keliling kota. Sedikit menyimpang, waktu saya tinggal selama 3 bulan di Hong Kong, kesenangan saya yang utama adalah naik trem dari ujung barat, Kennedy Town, ke Shau Kei Wan di ujung timur. Demikian pula kalau saya ditugaskan ke luar kota atau negeri, kesenangan saya adalah mencuci mata sambil melancong.

Sudah saya coba jelaskan mengapa saya memutuskan untuk pindah. Memang saya beruntung mempunyai pilihan, selain untuk pindah, juga kemana. Mengapa saya memilih Toronto, Canada dan bukannya negeri lain? Yang terutama, karena saya pernah ditugaskan oleh kantor kesini selama kira-kira 3 mingguan sewaktu saya masih bekerja di Jakarta. Waktu pertama kali datang ke kota ini dan sempat tinggal sebentar, saya "jatuh cinta". Tentu saya ceritakan panjang lebar semua pengalaman saya kepada Cecilia dan kami lalu mulai berdialog dan berdiskusi mengenai apa untung ruginya kami pindah. Untuk memudahkan pengambilan keputusan, kami membuat suatu 'decision making table' yang isinya untung ruginya pindah, pro dan kontra, dimana tiap hal kami berikan angka serta 'weighting factor'. Jadi keputusan kami berdua lalu banyak memakai logika dan tidak hanya emosi sebab tabel ini kami perbarui dan analisa dari waktu ke waktu. Proses menjadi imigran memang tidak mudah dan cukup panjang, sekitar 2 tahunan. Selama masa itu, terutama bila menghadapi aral, kami selalu berkata satu sama lain dan tentu berdoa, bila Ia berkenan, terjadilah. Dengan prinsip seperti itu, lalu tidak pernah kami merasakan stress berat atas prospek meninggalkan seluruh keluarga kami yang kami kasihi dan juga tanah airku yang kucintai. Memang stress sedikit memuncak pada saat visa dan tiket sudah di tangan tetapi nanti akan saya ceritakan lagi deh hari-hari terakhir saya di bumi pertiwi.

Di dalam masa 2 tahun itu, sebetulnya saya juga mempunyai pilihan untuk pindah atau tinggal di USA, tepatnya New York City. Ada satu perusahaan yang bersedia mensponsori saya sehingga saya dapat memperoleh ijin kerja dengan kemungkinan besar mendapat apa yang namanya 'green card' atau ijin menetap di Amerika Serikat. Ada 2 faktor yang membuat saya memilih Toronto. Waktu pertama kali melihat New York City (saya naik bis dan subway kesitu), saya, anak Betawi yang santai-santai saja melanglang daerah rawan seperti Pasar Senen atau Pasar Koja di Tanjung Priok, merasa tercekam. Saya tidak bisa santai. Waktu saya pertama kali sampai di Toronto, saya sangat tercengang, maklum habis melihat kota-kota besar di USA. Bersihnya bukan alang kepalang, tak kalah dengan Singapore dan yang lebih penting, penduduknya sungguh ramah-ramah. Saya tidak merasa seperti orang asing di tengah penduduk kota metropolitan ini dimana tinggal ratusan suku bangsa dan kelompok etnis dari seluruh dunia. Jadi pertama, kota ini seperti wadi di padang pasir bagi saya dan kedua, penduduknya membuat saya merasa sangat sreg. Masih ada satu dua alasan lainnya mengapa saya memilih Toronto, bukannya Ottawa atau Montreal atau Vancouver. Yakni karena saya merasa yakin saya dapat mencari nafkah atau akan ada lowongan kerja di suatu perusahaan di kota ini bagi saya. Juga saya mempunyai seorang sahabat, kenalan saya waktu sama-sama bekerja di suatu perusahaan di Jakarta.

Nah, cukup sekian tayangan PIT yang pertama ini, bagaimana mulanya si anak Betawi menjadi sinyo Toronto :-). Dari keinginan untuk pindah karena alasan-alasan di atas, sampai mengapa saya memilih kota ini. Keputusan bersama di atas sangat amat penting nilainya, terutama di saat-saat atau di tahun-tahun pertama saya dan Cecilia menjalani hidup baru di Toronto. Seperti saya singgung di tayangan PAB, dukungan Cecilia kepada saya selalu 200% dan itu salah satu kuncinya "canoe" kami tidak sampai kandas atau tenggelam di "danau" Toronto. Sampai berjumpa di tayangan PIT seri kedua, dimana saya akan bercerita mengenai proses melamar jadi imigran dan hari-hari terakhir di tanah air. Salam dari Toronto.

Home Next Previous