Pengalaman Imigran Toronto II

(Melamar Jadi Imigran)
Di tayangan PIT yang pertama saya sudah menceritakan asal muasalnya saya berminat pindah ke Toronto dan alasan-alasan yang mendasari keputusan itu. Seperti saya ceritakan proses dari "jatuh cinta" dengan kota Toronto ini sampai kami sekeluarga akhirnya berangkat meninggalkan tanah air, cukup lama yakni sekitar 2 tahun. Di minggu terakhir sebelum saya menyelesaikan tugas kantor saya, pada saat dikirim kantor ke Toronto, saya membeli sebuah buku yang isinya menerangkan bagaimana caranya untuk melamar jadi imigran ke Canada. Entah buku tersebut ada dimana, karena saya tinggalkan di Indonesia. Nah, melalui buku itu saya belajar dan mengerti secara terperinci bagaimana harus mengajukan lamaran bagi seorang yang ingin menjadi imigran ke Canada.

Pada dasarnya ada beberapa kategori untuk menjadi imigran dan saya hanya dapat masuk sebagai 'independent immigrant' karena saya tidak mempunyai keluarga yang dapat mensponsori saya maupun uang untuk masuk sebagai penanam modal. Cara ini termasuk yang sukar karena intisarinya adalah apakah sang imigran mempunyai keahlian yang dibutuhkan negeri ini. Di dalam proses penilaiannya, departemen imigrasi Canada memakai point system alias dari lamaran si calon imigran dianalisa dan diberikan angka. Angka maksimum yang dapat diperoleh seorang calon imigran adalah 100. Bila pelamar mampu mencapai angka 60 ke atas, harapan besar ia akan mendapat visa di kategori ini. Angka diperoleh a.l. dari pendidikan, maksimum 12 untuk setiap tahun kita bersekolah dan dari usia, maksimum 10 untuk mereka yang berumur antara 18-35 tahun. Untuk usia di atas itu, setiap kelebihan setahun dikurangi 1 point. Kemampuan bahasa Inggris dan bahasa Perancis juga penting, yakni akan diberikan maksimum 5 masing-masing, bagi yang dapat membuktikan bahwa ia sudah di taraf ahli alias mampu untuk berkelahi saling caci-mencaci :-) dalam bahasa bersangkutan. Mempunyai anggota keluarga ('brother/sister in Christ' tidak laku) yang bersedia membantu menambah 5 angka dan bila yang bersangkutan dinilai mampu untuk menjadi imigran yang produktif akan diberikan tambahan maksimum 10 angka. Nah, sisanya adalah kelompok angka yang menentukan yang dapat diperoleh berdasarkan pendidikan keahlian kita (15), pengalaman keahlian itu sendiri (8), lowongan kerja di bidang itu (15), apakah ada perusahaan yang bersedia menampung (10) dan kota tujuan kita (5). Total angka yang dapat diperoleh dari faktor-faktor itu jadinya 53 point. Itulah kunci untuk mendapatkan visa, apakah keahlian kita akan terpakai di negeri ini. Sengaja saya jelaskan sedikit mengenai point system ini supaya mereka yang berminat pindah mendapat informasi dari tayangan PIT saya (dan mengurangi surat seterom ke jalur pribadi :-)).

Setelah saya menghubungi Kedutaan Canada, yang kebetulan letaknya di satu gedung dengan kantor tempat saya bekerja waktu itu, yakni Wisma Metropolitan (belum ada gedung ke-II-nya), saya baru tahu bahwa lamaran diproses atau harus diajukan ke Canadian High Comission (CHC) di Singapore. Rupanya, demi menjaga hubungan baik, kedutaan "tidak ada urusan" dengan orang yang mau "kabur" dari negerinya, supaya lalu tidak disalahkan membantu proses 'brain-drain'. Setelah tidak lupa berdoa Salam Maria, entah berapa kali, saya mengajukan lamaran pertama di dalam formulir yang bentuknya sederhana. Beberapa minggu kemudian saya mendapat surat jawaban dari CHC disertai suatu formulir yang lebih terperinci dan lebih banyak yang harus diisi. Inipun saya isi dan kirimkan setelah mengikuti petunjuk dari buku yang saya beli di atas. Tidak berapa lama juga, datang jawaban dari CHC yang isinya ditulis sangat manis tetapi maknanya adalah lamaran saya ditolak dengan alasan keahlian saya tidak "laku". Doa Salam Maria diteruskan dan setelah memikir-mikir kembali dan tetap berkeinginan pindah, lalu untuk kedua kalinya saya mengajukan lamaran menjadi imigran. Kali ini, tanpa dikirimi formulir yang terperinci tadi, saya langsung ditolak. Merenung dan memikir diteruskan, termasuk updating decision table yang saya singgung di tayangan PIT pertama. Akhirnya setelah mengatakan kepada-Nya, "Tuhan kalau Engkau berkenan, terjadilah", saya mengajukan lagi lamaran untuk ketiga kalinya dengan perasaan yang lebih kuat, bahwa rasanya 'this is it'.

Formulir terperinci dikirim dan saya isi, kali ini karena sudah pengalaman maka saya kecapkan sedikit di bagian keahlian saya dan juga memang selama dua tahunan saya menambah keahlian, maklum hasil tugas kantor ke Toronto:-). Nah, saya mendapat jawaban yang lain dari yang lain, yakni bahwa saya akan diwawancara di Wisma Metro. Biasanya (waktu itu) yang melamar harus ke Singapore tetapi konon kebetulan si pewawancara akan ke Jakarta dan saya jadinya tidak perlu membuang uang dan waktu ke Singapore. Di hari yang sudah ditentukan, saya dan Cecilia menghadap beliau dan yang terjadi adalah kami "mengobrol". Soalnya, kalimat pertama yang ia ucapkan, "I don't see a problem for you to come to Canada." Masya-malaikat, kog seperti (semudah) ini wawancaranya. Hati saya melonjak dan diombang-ambingkan. Lalu ia mengatakan lagi, "So you have visited Toronto. What do you think of the city?" "It is the best place to live in the world sir :-)." Bohong, bukan begitu kata saya. Saya hanya mengatakan bahwa saya terkesan akan kebersihan kota itu dan ingin mencoba hidup disana. Lalu ia yang "menyemangati" dengan berkata bahwa saya tidak perlu kwatir tidak mendapat pekerjaan dengan keahlian yang saya miliki. "Obviously, we will gain by having people like you," katanya antara lain di akhir pembicaraan. Itulah hari dimana saya merasa bahwa saya sekeluarga akan pindah deh.

Sesudah proses wawancara selesai, tidak berapa lama saya dikirimi formulir pemeriksaan kesehatan. Saya dan keluarga diharuskan untuk menjalani pemeriksaan kesehatan di salah satu dari dua dokter yang sudah ditunjuk oleh CHC. Saya memilih dokter yang tempat prakteknya dekat dengan rumah saya tapi ternyata salah pilih. Saya bertemu dengan dokter pedagang! Kalau saja waktu itu saya tidak takut proses lamaran saya terpengaruh, saya akan menulisi CHC akan praktek sang dokter ini yang begitu mata duitan. Tetapi apa yang saya lakukan adalah lalu menasihati (setelah mencari tahu latar belakang si dokter dari handai taulan yang mengkonfirmasikan pendapat saya) semua teman-teman saya yang menyusul jejak saya, untuk jangan sekali-kali memilih dokter pedagang tadi. Karena memang kami sekeluarga sehat wal'afiat, meski proses pemeriksaan kesehatan agak lambat, akhirnya formulir pemeriksaan kesehatan dapat dikirim kembali ke Singapore.

(Hari-hari Terakhir)
Proses 'menunggu Godot' berjalan lagi dan akhirnya datang yang benar-benar surat terakhir dari CHC. Kami disuruh mengirimkan paspor asli kami berempat ke Singapore. Karena anak-anak tidak mempunyai paspor maka kami harus membuatkan dulu paspor untuk mereka. Paspor selesai dan kami kirimkan ke Singapore. Paspor dikembalikan dengan visa imigran untuk kami sekeluarga dan ketentuan bahwa harus berangkat di dalam waktu 6 bulan! Nah, inilah masa-masa "menarik napas panjang". Akhirnya kami direstui pemerintah Canada untuk masuk sebagai imigran, namun harus berpisah dengan semua-mua yang kami kasihi dan sayangi :-(. Untungnya anak-anak masih kecil namun karena mungil-mungilnya mereka, orang tua saya yang paling berat melepas kami, seolah-olah akan ditinggal mati. Namun mereka tahu bahwa keputusan kami sudah dipikir matang-matang, melalui proses 2 tahunan dan kami benar sudah mantap. Demi masa depan keluarga. Anggota keluarga kami yang belum menikah, lalu cepat-cepat menikah agar kami semua masih dapat hadir dan berkesempatan bertemu dengan seluruh keluarga kami. Tidak banyak pesta perpisahan dengan keluarga yang saya ingat karena baik keluarga saya maupun keluarga Cecilia, repot mantuan. Kakak Cecile menikah 2 mingguan sebelum kami berangkat dan adik saya seminggu sebelumnya. Namun satu hal yang saya masih ingat, jelas terbayang di dalam kenangan saya karena beberapa sahabat saya, teman kempingan mentraktir saya makan di Sate Senayan. Kebetulan yang mentraktir maupun yang sempat datang sahabat-sahabat saya anak pribumi tanah-airku. Dorongan mereka mengharukan saya, "Gue rasa keputusan elu buat pindah bener Jus, negeri kite ini semakin ngaco. Kalu gue jadi elu, gue juga mau pindah aje rasanye." Saya sempat menitikkan air mata karena mereka tahu bahwa saya mencintai tanah air saya, berkat berbagi cerita, suka dan duka, gelak dan tawa kalau kami pergi camping. "Iye, kalu melayu-melayu kaye elu semua, gue pasti lebih betah tinggal disini," hanya itu yang saya bisa katakan.

Tinggal di Indonesia 33 tahun dan bergaul serta berinteraksi dengan segala suku bangsa, saya merasa bahwa sebagian rakyat negeriku tidak mengingini aku tinggal di tanah airku. Seolah-olah di dalam hati mereka atau sekali dua kali memang terdengar perkataan yang menyakitkan hati, "Elu orang Cina, gih pulang ke Cina." Saya tidak tahu, belum pernah ke yang namanya negeri Cina (RRC) meski itu memang negeri leluhur saya, tetapi dahulu saya sering ke negeri Cina yang namanya Taipei, Taiwan. Sedikitpun saya tidak merasa saya dapat "pulang ke negeri itu" karena itu bukanlah "rumahku". Negerinya asing, bahasanya tidak saya mengerti, kebudayaannya tidak saya sukai. Itulah salah satu proses nelangsanya hati saya pada saat visa imigran sudah di tangan dan tahu bahwa tidak lama lagi saya harus permisi dengan Paragajenku yang tercinta, Carita kesayanganku, Pangumbahan tambatan hatiku. Cecilia pun tidak tahu, kalau saya sukar tidur di hari-hari terakhir saya di Indonesia maupun di hari-hari pertama saya di Toronto, saya lalu melamun akan keindahan pantai Carita yang ada di dalam kenangan saya, akan airnya yang jernih, teluknya yang khas. Kalau saya masih belum dapat tidur, lamunan saya pindahkan ke pantai Pangumbahan di bagian yang pernah saya ceritakan pantai terindah di dalam hidup saya, pantai dengan kolam ikan laut itu. Masih juga tidak bisa tidur, lalu saya membayangkan malam-malam yang saya lewati di bukit Paragajen di dekat Cisarua, memandangi gugusan Bimasakti sambil mendengarkan bunyi riaknya air jeram kecil di tepi camp-site. Ya, itulah semua yang saya lamunkan di hari-hari terakhir saya di Jakarta, kota kelahiranku yang kucintai, bila tak bisa tidur karena pikiran melayang-layang dan hati berbeban berat :-(. Agar supaya hati Anda dapat beristirahat dan emosi Anda tidak sampai saya pengaruhi, sekian dulu tayangan PIT kedua ini, sampai berjumpa di tayangan berikutnya dengan kisah keberangkatan saya sekeluarga dan hari-hari pertama di Toronto.

Home Next Previous