Pengalaman Imigran Toronto III

(Keberangkatan)
Di PIT II yang lalu saya sudah menceritakan proses lamaran dan hari-hari terakhir saya tinggal di tanah air. Kali ini saya ingin membawa Anda semua ke hari-hari menjelang keberangkatan saya sekeluarga. Seperti sudah sering saya katakan, saya bukan dari keluarga berada dan juga seorang karyawan alias harta milik saya yang utama hanya suatu rumah kecil di daerah Pulo Mas di Jakarta Timur. Jadi tak banyak kepusingan saya untuk membawa atau mengangkut barang-barang. Kesusahan saya yang terbesar adalah harus meninggalkan orang tua saya yang saya kasihi, anggota keluarga saya yang lainnya, tanah air yang tidak pernah "bersalah" kepada saya dan juga sahabat-sahabat sejati saya. Mengenai barang, saya dan Cecilia sudah memutuskan, apa yang tidak bisa kami jual, kami hadiahi atau berikan kepada teman-teman yang berminat, termasuk koleksi majalan Intisari saya (dari nomor perdana) dan koleksi majalah sastra Horison favorit saya (dari nomor satu). Puluhan dan ratusan buku lain juga merupakan kesedihan saya dalam berpisah karena banyak ilmu kehidupan saya timba darinya, dari banyak pengarang dunia favorit saya. Hanya satu dua yang saya bawa, yakni buku bacaan atau buku cerita/dongeng anak-anak. Yang lainnya saya hibahkan semua. Sedemikian sedikitnya barang bawaan kami sehingga selain koper berisi pakaian dan keperluan kedua anak kami yang masih kecil-kecil, saya hanya membawa 3 doos kecil berisi foto album dan buku-buku ilmu komputer serta satu koper ekstra berisi perlengkapan camping! Ya, saya tidak mungkin dapat berpisah dengan tenda saya yang sudah puluhan kali menemani saya bak anggota keluarga, ransel saya, demikian juga dengan cooking-set merk 'Evernew' :-) yang sampai saat ini masih seperti baru dan setia menemani saya camping termasuk berkanu ke danau-danau di Ontario.

Karena kesibukan mempersiapkan keberangkatan, menghadiri pesta pernikahan adik dan adik ipar saya, menjual rumah, mempersiapkan apartment di kota Toronto nanti, maka waktu berjalan cukup cepat rasanya di bulan atau minggu- minggu terakhir saya di Jakarta. Yang saya masih ingat adalah perjalanan menyedihkan hati dari rumah ke airport. Saya tidak dapat menahan air mata dan Cecilia keheranan melihat saya menangis di mobil di perjalanan. Saya memang tidak tahu pada saat itu bila saya dapat melihat kota Betawiku lagi, bila saya dapat kembali ke tanah air. Jadi saya memang berkata dalam hati, selamat tinggal semuanya yang kukasihi, mungkin untuk selama-lamanya :-(. Memang waktu teman-teman saya bertanya di Sate Senayan, bagaimana perasaan hati saya dan Cecilia (mereka kenal) pindah begini ini, saya katakan bahwa isteriku lebih tabah dari saya. Syukurlah, memang itu yang saya perlukan. Perjalanan lewat Hong Kong dimana kami menginap semalam dan lalu ke Los Angeles berjalan dengan lancar. Sengaja kami berhenti di L.A. dan menerima tawaran anggota keluarga Cecilia untuk tinggal di rumah mereka selama beberapa hari. Kami berkesempatan mengunjungi tempat-tempat rekreasi a.l. Disneyland sebagai pelipur hati. Untungnya lagi anak-anak sama sekali tidak tahu bahwa 'this is a journey of a lifetime'. Mereka sih senang-senang dan gembira belaka. Melihat betapa senangnya mereka di Disneyland merupakan hiburan hatiku yang masih perih.

(Awal hidup di Toronto)
Tanggal 31 Agustus 1980 adalah tanggal bersejarah di "babak kedua" hidup kami karena itulah tanggal kami berangkat dari Los Angeles dan mendarat di Toronto. Setelah pemeriksaan singkat di bagian imigrasi kami dipersilahkan untuk masuk ke suatu kamar dimana surat-surat kami diproses. Semuanya berjalan lancar apalagi mereka melihat kami membawa anak-anak yang masih kecil. Saya dijemput oleh teman saya dan isterinya yang sudah saya singgung di PIT yang lalu. Ia teman saya waktu masih bekerja di PT IBM Indonesia (yang sekarang sudah bermetamorfosa menjadi PT USI/IBM) dan juga bekerja di IBM (software development) Laboratory di Toronto. Kami langsung diantar ke apartment yang sudah mereka sewakan untuk kami. Apartment ini disebut 'furnished' sehingga perabotannya sudah lengkap. Daerahnya strategis, di pusat kota dan meski apartmentnya sudah tua atau kuno, namun sebagai "rumah" pertama di Toronto, kami merasa kerasan saja. Ada dapurnya, ada satu kamar tidur dan satu ruang duduk yang kursinya dapat dijadikan ranjang (sofa bed). Anak-anak lalu dapat tidur di ruang tamu itu di sofa bed dan Cecilia dapat memasak. Hal-hal pokok sudah diingat oleh teman kami, yakni meminjamkan rice cooker, membelikan beras dan satu dua makanan untuk hari-hari pertama. Sedemikian mudahnya mendapat sambungan telepon di kota Toronto ini (saya kira sampai hari inipun demikian) yakni dalam waktu dua tiga hari saya sudah mempunyai nomor telepon sendiri di kamar apartment itu. Hal ini sangat membantu di dalam saya melamar pekerjaan ke beberapa perusahaan. Itulah yang saya lakukan segera setelah kami tiba. Bila Engkau berkenan terjadilah. Dalam waktu hanya sekitar 2 minggu saya berhasil mendapat pekerjaan di bidang keahlian saya, computer programming dan akhirnya saya diterima kembali bekerja di IBM (Lab). Waktu calon majikan saya menanyakan bilamana saya akan mulai masuk, saya mengatakan bahwa jika diperbolehkan, saya ingin mulai masuk di awal bulan Oktober sebab saya merencanakan pindah ke apartment yang lebih tetap (non-furnished) dan juga perlu membeli barang-barang keperluan rumah tangga, termasuk mobil yang juga merupakan salah satu keperluan utama tinggal di kota ini. Ya, saya katakan mobil diperlukan terutama bagi imigran dari Asia seperti kami. Belum terbiasa dengan suhu yang dingin, belum mengerti seninya "hidup di dalam freezer", akan banyak lebih sengsara bila kami harus memakai kendaraan umum seperti bis dan subway kalau tidak memiliki mobil. Lagipula harga mobil di Toronto (waktu itu) hanyalah sepertiga harga mobil di Jakarta. Jadi uang hasil menjual mobil bekas kami dapat kami belikan mobil yang baru disini!

Banyak sekali bantuan yang diberikan sahabat saya di atas yang sampai saat ini masih menjadi sahabat saya di kota ini, namun selain mereka berdua, boleh dikata kami sekeluarga hidup sendirian dan berjuang sendiri. Karena kekompakan dan kesepakatan saya serta Cecilia, baik di dalam mengambil keputusan untuk pindah, maupun di dalam menjalani cita-cita hidup kami, kesukaran-kesukaran yang kami alami di hari-hari pertama dapat kami atasi. Salah satu problem utama memang kesulitan berbahasa. Aksen bahasa Inggris kami sukar dimengerti orang sini karena kami masih mengucapkannya seperti di Indonesia. Sering-sering suatu perkataan harus kami eja, baru orang mengerti apa yang kami maksudkan. Untung Toronto pada saat itu sudah menjadi kota metropolitan alias relatif mudah untuk menjumpai makanan ataupun bumbu- bumbu dari Asia. Masakan yang tidak asing dengan lidah kami, sangat membantu dalam membuat kami kerasan untuk tinggal. Bak pohon yang baru dicabut akarnya dari tanah tempat ia hidup puluhan tahun, akar pohon kami sedang berusaha mencari zat-zat yang mampu untuk menghidupinya lagi dan sedikit demi sedikit mulai tumbuh dan menegakkan sang pohon. Itulah tujuan hidup kami di bulan-bulan dan tahun-tahun pertama. Anak-anak relatif cepat menyesuaikan diri. Alfa, anak kami yang pertama, mulai bersekolah di suatu sekolah Katolik yang letaknya tidak jauh dari apartment kami. Ada dua sistim sekolah negeri (public school) di propinsi Ontario ini, Katolik dan non-Katolik. Hal ini terjadi karena sejarah pembentukan negeri Canada ini, dimana penganut agama Katolik mendapat jaminan di dalam undang-undang untuk boleh mempunyai sistim pengajaran yang berdasarkan iman Katolik. Saya juga mulai bekerja di IBM Lab yang letaknya tidak jauh dari apartment kami yang baru kami tempati.

Mulai saat itulah saya berkenalan dengan istilah "keluarga nuklir" yakni keluarga semata-wayang alias sebatang-kara karena tidak ada anggota keluarga lainnya di sekitarnya atau tinggal di rumah yang sama. Hal ini membuat kami lebih kompak karena 'we have only one another'. Salah satu kekayaan gereja Katolik kita yakni seragamnya liturgi Misa dimana saja di dunia ini, membuat kami langsung 'feel at home' dalam mengikuti Ekaristi Kudus setiap hari Minggu di gereja Our Lady of Fatima yang kembali letaknya dekat dengan apartment kami. Hanya kami tidak aktif berkarya di paroki O.L. of Fatima. Kami memutuskan bahwa "paroki Hilwan"-lah tempat kami berkarya tunggal :-). Setiap Misa selesai, saya dan Cecilia mengajak anak-anak jalan-jalan kemana-mana, museum keg, tempat rekreasi umum seperti taman keg, tempat hiburan anak-anak lainnya seperti kebun binatang, "kebun" McDonald yang mempunyai 'play-area', dsb. Kesusahan Cecilia terbesar yang saya ketahui adalah karena pembantu kami (dua orang waktu di Jakarta) "pulang lebaran" untuk selama-lamanya. Meski hal ini sudah ada di 'decision table' namun ia tetap "shock" menghadapinya. Akan saya ceritakan lagi mengenai ini nanti.

Baru sekitar 3 bulan saya bekerja di Lab, kami mendapat proyek besar dari IBM Lab di Rochester, Minnesota yang membuat saya selama 3 bulan berikutnya harus terbang bolak-balik ke Rochester. Itulah musim dingin kami yang pertama tinggal di Amerika Utara, di Canada yang terkenal akan dinginnya. Namun dinginnya Toronto tidak seberapa dibanding dinginnya Rochester! Jadi saya benar-benar dipelonco dalam hal iklim ini. Sebetulnya, kalau saya mau, saya dapat tinggal 3 bulan terus menerus di Rochester. Tentu saya enggan dan perusahaan mengijinkan saya setiap 2 minggu sekali pulang untuk berakhir pekan di tengah keluarga. Jadi Jum'at sore saya berangkat ke Toronto dan Senin pagi atau Minggu malam kembali ke Rochester. Selain repotnya terbang bolak-balik itu, route pesawat selalu harus melalui O'Hare Airport di Chicago. Untuk mereka yang biasa terbang di Amerika Utara sini, tentu maklum kalau saya katakan, usahakanlah jangan sering-sering lewat O'Hare di musim dingin. Airport ini adalah salah satu yang tersibuk di dunia dan kalau cuaca buruk, pesawat dapat berputaran puluhan menit menunggu tersedianya runway untuk mendarat. Demikian juga dengan waktu tunggu di darat yang menjadi lebih lama. Saya semakin mengerti sistim overbooking perusahaan penerbangan karena pengalaman Toronto-Rochester via Chicago p.p. ini. Yakni dari waktu ke waktu, saya sering "ditawarkan" untuk menukarkan seat saya dengan uang cash sebanyak 200 $ US kalau saja saya mau menunggu lebih lama alias ganti pesawat yang akan terbang berikutnya. Dalam hati saya selalu mengatakan, "You've gotta be kidding." Uang itu tidak ada artinya bagi saya dan lebih baik saya dapat bertemu dengan keluarga saya beberapa jam lebih awal daripada lebih "kaya" 200 $. Nah, karena melihat keluarga saya sudah menantikanku untuk menghentikan dulu tulisan tayangan PIT III ini, sampai berjumpa di tayangan yang keempat. Salam dari Toronto.

Home Next Previous