(Pembantu Pulang Lebaran Seterusnya)
Seperti saya singgung di tayangan PIT III yang lalu, salah satu kesusahan
kami hidup di masa awal di kota ini adalah karena semuanya harus kami
kerjakan sendiri dan kami belum terbiasa hidup tanpa pembantu. Memang karena
mahalnya mempunyai pembantu disini, maka banyak hal sudah dipermudah untuk
dikerjakan sendiri. Saya juga pernah menyinggung di salah satu tayangan saya
bahwa kedua pembantu kami termasuk pekerja yang jujur, rajin dan bagus
'performance-nya' :-). Yang seorang pandai memasak dan yang satunya lagi
rapih dalam membersihkan rumah dan mencuci pakaian kami. Saya pernah
bercerita bahwa upah mereka kami usahakan 'above average' dan selain kami
sering ajak bertamasya bersama keluarga, juga sebulan sekali kami
persilahkan mereka menonton film di bioskop yang mereka sukai dan kami antar
jemput serta tentunya semua biaya kami tanggung. Dengan demikian hubungan
kami dengan mereka melebihi hubungan majikan dan pembantu, lebih kepada
anggota keluarga. Itulah sebabnya Cecilia merasa sekali kehilangan mereka
dan sering kalau ia kesal di bulan-bulan pertama di Toronto, apalagi kalau
anak-anak sedang rewel, ia berteriak: "Anah, kemane elu, kog engga balik-
balik sih mudik lebaran?" :-). Saya hanya dapat tersenyum bersimpati.
Karena hidup sendirian seperti ini dan memang kami sudah memutuskan untuk "hidup bagi keluarga" saja dahulu, kami tidak mencari-cari atau bergaul dengan kelompok masyarakat Indonesia. Alasan kami adalah, sudah mau menjadi imigran dan ingin menjadi penduduk Canada, masakan mencari-cari orang Indonesia sih. Jadi semua ilmu-ilmu hidup di negeri ini, umumnya saya peroleh dan cari sendiri disana-sini, dari surat kabar, majalah dan buku. Di kemudian hari, semua data dan informasi yang saya kumpulkan itu ternyata bermanfaat bagi teman-teman maupun anggota keluarga kami yang menyusul untuk pindah dan tinggal di Canada sehingga oleh beberapa teman Indonesia yang kemudian menyusul saya pindah dan tinggal disekitar rumah kami saya lalu dijuluki "kepala RT" :-). Dengan modal informasi yang saya kumpulkan itu, beberapa tahun kemudian pada saat saya dan Cecilia mulai aktif di kelompok masyarakat Indonesia di Toronto, khususnya di kelompok Umat Katolik Indonesia (UKI) Toronto, saya dan beberapa teman melancarkan program "Ceramah UKI" yang isinya penjelasan mengenai "seni hidup" di kota ini. Topik ceramah a.l. mengenai asuransi, sewa/beli rumah termasuk soal hukumnya dan mortgage, perpajakan (income tax), time management, job search, stress management, home maintenance, hints and tips segala macam hal, pokoknya ilmu hidup di negeri asing bagi para imigran pendatang baru.
(Toronto, the best city to live in the world)
Meski saya katakan (melalui jalur pribadi) agar bersabar kepada mereka yang
haus akan informasi karena berminat untuk tinggal di Canada ataupun ingin
pindah dari Indonesia, tetap saja "rakyat" tidak sabar :-). Oleh karena itu,
ingin saya jelaskan sedikit mengenai kota tempat tinggal yang saya pilih ini.
Waktu saya memutuskan atau memilih kota ini, tentu saja Toronto tidak masuk
hitungan sama sekali. Memang ia kota terbesar di Canada, tetapi tidak dikenal
orang di luar Amerika malah orang Amrik pun banyak yang tidak tahu Toronto
itu dimana. Saya memilihnya karena waktu itu (dan masih saat kini) ia adalah
kota metropolitan yang teraman di Amerika Utara (angka tahun 95: 2 pembunuhan
per 100 ribu penduduk per tahun) dan terbersih. Oleh majalah Fortune
(edisi 11 Nopember) ia disebut 'the safest city in North America'. Di kota
berpenduduk 4.5 juta, dengan luas sekitar 650 km persegi ini, tinggal banyak
kelompok etnis yang jumlahnya besar-besar dan satu dua adalah yang terbesar
di dunia dibandingkan dengan negeri asal kelompok tersebut. Contohnya orang
Itali di Toronto jumlahnya lebih besar dari kota dimana saja di dunia
kecuali di Itali sendiri. Orang asal Goa (eks koloni Portugis di India) di
Toronto lebih banyak dari orang Goa di Goa! Memang kota ini adalah 'safe
heaven' bagi rakyat negeri yang sedang kemelut. Contohnya beberapa puluh
tahun lalu adalah Vietnam, lalu RRC (setelah peristiwa Tian An Men), lalu
Srilangka lalu Rwanda dan Somalia di Afrika, dan akhir-akhir ini Bosnia,
Chechnya dan sebagainya. Saya katakan untuk menjadi imigran dengan
klasifikasi independent relatif sukar karena saya membandingkannya dengan
kelas 'refugee' yang tinggal "nongol" di salah satu pelabuhan atau bandar
udara kota negeri ini dan kalau memang ia "terbuang" dari negeri asalnya,
tidak peduli apa agama dan latar belakang etnisnya, ia akan diterima sebagai
imigran.
Ada 5 kota dan satu 'borough' (sedikit lain cara pemerintahannya dibanding kota atau city) yang menjadikan Toronto suatu kota metropolitan, yakni dari barat ke timur: Etobicoke, York, North York, City of Toronto (sebetulnya di selatan North York, berbatasan dengan danau Ontario), Scarborough (kota tempat si anak Betawi sekarang tinggal :-) dan borough of East York. Meskipun kota ini kota metropolitan, salah satu yang saya senangi lainnya adalah penduduk kota ini tidak "rewel" kalau melihat kita berpakaian seperti apa. Tidak 'picky' alias mata melotot kalau misalnya melihat kita berpakaian sederhana dan masuk ke tempat yang mewah seperti mal mewah atau restoran hebat. Penduduk metropolitan Jakarta, lebih keren-keren deh pakaiannya dibanding kami disini :-). Meski suhu bisa sedingin -20 C di musim dingin (jarang sekali, dengan wind-chill memang bisa segitu, umumnya -10 C), musim dingin di kota ini tidak terlalu ganas menurut saya. Suhu di musim panas bisa mencapai 30 C, juga jarang-jarang, umumnya sekitar 20 sampai 25 C. Curah salju yang turun juga tidak begitu gila, sekali dua kali kami harus mengeruk salju (snow shovelling) beberapa hari berturut-turut, umumnya seminggu sekali cukup selama waktu musim dingin. Jarang sekali terjadi blizzard (badai salju) di kota ini, demikian juga yang namanya hurricane (taufan) tidak pernah saya alami. "Gempa bumi, apa itu?", kata orang (yang seumur hidup tinggal di) Toronto. Artinya tingkat aktifitas seismik di bagian bumi ini sangat rendah atau kemungkinan terjadinya gempa bumi relatif kecil.
Apakah tidak ada daerah rawan di kota ini? Tentu saja ada, terutama di daerah downtown atau di City of Toronto. Serawan-rawannya daerah mana saja di downtown, saya masih berani jalan sendirian. Umumnya daerah 'drug and prostitution' dan saya merasa wajah saya tidak termasuk "wajah drug dealer atau prostitute" jadi mestinya selamat :-). Ada yang lalu bertanya, "Jus, kaya apa sih wajah mereka-mereka itu?" Aaahhh, Anda dulu tidak teman sih dengan saya waktu saya suka ke Kramtung :-) (lihat tayangan PAB VII) :-). Tetapi kalau Anda memang mau berkenalan, nanti saya antarkan ke daerah- daerah rawan di kota ini dan Anda akan setuju bahwa tidak seperti New York City kegawatan atau menakutkannya. Hal ini terbukti juga bahwa banyak daerah downtown kota metropolitan di Amrik yang saya sering kunjungi yang kalau malam hanya dilalui oleh 'tough looking people' alias "orang baik-baik" tidak berani mampir atau mengunjunginya. Downtown kota ini sangat hidup sampai malam sampai menjelang pagi. Seperti pernah saya ceritakan juga, jumlah teater di kota ini sedemikian banyaknya, sehingga Toronto hanya kalah dari London dan New York City di dalam jumlah pagelaran-pagelaran kesenian.
Ontario Science Centre di kota ini dijadikan contoh S.C. di kota-kota besar di dunia dan beberapa kota di Jepang malah "mengimpor" atau memberikan kontrak karya kepada perusahaan Canada untuk membangun yang serupa di negeri mereka. Juga kebun binatang Toronto dianggap salah satu yang terbaik di dunia karena para binatang tidak "dikurung" tetapi hidup di lingkungan seperti alam mereka yang asli atau "kurungannya" besar sekali. Faktor lainnya lagi yang membuat saya memilih kota ini adalah sistim pengangkutan umumnya yang juga salah satu terbaik di Amerika Utara. Semua jalan-jalan utama berada di dalam route bis. Jalan yang besar, 24 jam terus menerus. Ada 2 lintas subway, yang satu dari barat ke timur dan yang lainnya dari utara ke selatan. Dari tahun ke tahun, Toronto Transit Commission (TTC) atau PPD-nya Toronto terpilih sebagai 'the safest public transportation' in North America.
Apakah tidak ada 'ugly side of the city'? Tentu saja. Apakah tidak ada rasialisme di antara penduduknya? "You wish," namanya manusia mana ada yang tidak berpraduga dan berprasangka terhadap kelompok lain yang warna kulitnya tidak sama, bahasanya berlainan dan juga adat kebudayaannya. Cukup lama tinggal di kota ini, saya dapat menyimpulkan kelompok etnis mana yang paling tidak disukai. Jaman dahulu, 30-40 tahun lalu, pada saat WASP (White Anglo Saxon Protestant) masih merupakan mayoritas, orang Katolik "tidak disukai" namun karena jumlah pendatang atau imigran WASP mengecil dan imigran Katolik membesar, maka persoalan Protestan vs Katolik tidak tampak lagi di kota ini. Di samping itu, karya-karya karitas dari kedua kelompok ini selalu terbuka bagi umum sehingga dengan bekerja sama bagi umum, maka saling curiga mencurigai lenyap dengan sendirinya. Rasialisme memang ada tetapi undang- undang dan hukum yang berlaku sangat keras terhadap mereka yang bertingkah- laku rasialis termasuk melakukan pelanggaran hukum. Jangankan membakar dan merusak, racial slur saja sudah dapat membuat yang bersangkutan dilaporkan kepada polisi ('slandering', memang kemungkinan kecil untuk lalu dituntut kalau hanya ini, tetapi di dalam skala besar bisa terjadi). Berlainan halnya dengan Amerika Serikat, Canada menganut sistim multiculturalism yang membuat masyarakat tidak menjadi seperti 'melting pot a la USA' tetapi "bhinneka tunggal ika" :-). Jadi kebudayaan para pendatang dianjurkan untuk tetap dianut dan dikembangkan serta dipagelarkan termasuk "kebudayaan perut" atau jenis makanannya.
Nah di lingkungan seperti di ataslah saya dan Cecilia beserta kedua anak kami menanam kembali "akar pohon kehidupan" kami yang kami cabut dari kota Jakarta, dari negeri Indonesia. Bukan saja kami memang diperlakukan dengan 'welcoming attitude' ke kota dan negeri ini, juga pengalaman-pengalaman kami banyak yang menyenangkan di bulan dan di tahun-tahun pertama sehingga kami ingin lekas menjadi produktif dan berbuat sesuatu bagi masyarakat luas. Salah satu contohnya adalah waktu saya ingin menyumbangkan daarah saya bagi Palang Merah di kota ini. Setiap kantor atau perusahaan besar mempunyai program 'blood donor' yang artinya petugas P.M. datang ke kantor dan melakukan proses pengambilan darah di kantor. Saya sungguh terkejut waktu saya datang ke ruangan 'blood donor' pada hari yang sudah dijadwalkan. Ada antrian! Cukup panjang lagi. Bayangkan, saya datang dari kota dimana (waktu itu) saya "dipaksa" menyumbang darah karena mesti memperpanjang SIM saya. Di Toronto, orang harus antri untuk menyumbang darah. Masih banyak hal lainnya yang dapat saya ceritakan dan kalau saya "borong" semua saat ini, selain tayangan bertambah panjang, Anda akan bosan dong. Sampai berjumpa di tayangan berikutnya, salam dari Toronto.