Pengalaman Imigran Toronto VI

(East is east, west is west)
Satu dua dari Anda bertanya di japri mengenai nilai-nilai ketimuran saya dan Cecilia, apakah tidak berbenturan dengan nilai-nilai Barat di dalam hidup di negeri Canada ini. Tentu saja, of course :-). Memang sudah kami sadari sebelum pindah dan karena kepustakaan buku-buku parenting kami sejak dari anak-anak masih bayi banyak yang ditulis pengarang Barat, kami lebih maklum lagi jadinya. Salah satu yang paling menonjol adalah hormat kepada orang tua atau orang yang lebih tua. Di masyarakat kota Toronto ini, tempat kami tinggal dan saya kira juga demikian di kota-kota besar Amerika Utara, hormat kepada orang tua, terutama generasi anak-anak kami, tidak sama seperti di masyarakat Timur. Sebagian masih menghormati orang tua, tetapi banyak yang "kurang ajar" apalagi kalau dilihat dengan kaca mata Timur. Soalnya dari mulai kecil sudah diajarkan di sekolah dan lewat pergaulan lainnya, bahwa mereka sebagai anak-anak mempunyai banyak hak. "Why," adalah perkataan yang sering diucapkan dan di dalam konteks tertentu, pertanyaan "kurang ajar" yang kalau ortu masih berpandangan Timur, akan dijawab "Shut up." Saya ambil satu kasus contoh ekstrim yang beberapa hari lalu saya baca di koran. Ada seorang nenek Cina dari Hong Kong yang membunuh cucunya yang "kurang ajar" di kotanya wan Nawi, Vancouver. Konon ulah cucu ini tidak sesuai banget deh dengan prinsip-prinsip ketimuran dan si nenek rupanya bukan saja 'gedeg' tapi sudah sakit hati dan meluap-luap amarahnya sehingga akhirnya ia sampai membunuh cucunya sendiri. Orang Asia (ini pengalaman saya ya, tidak pakai studi-studian atau riset) sangat malu kalau sampai ada anggota keluarganya menjadi "parasit" apalagi kriminil. Ini saya lihat dari kelompok orang tua yang aktif di Parent Support Group. Ortu berlatar belakang Cina hanya saya dan Cecilia, dari puluhan (dan ratusan kalau sedang ikut konperensi) orang. Memang untuk orang keturunan Tionghoa, aib atau malu besar kalau sampai anak menjadi kriminil, padahal belum tentu kesalahan orang tua atau "salah didik". Jadi untuk mereka yang kuat sekali kebudayaan timurnya, baik Anda mempelajari perbedaan dua kebudayaan ini sebelum Anda memutuskan untuk tinggal di negeri Barat. Mau tidak mau apalagi kalau Anda pindah pada saat anak-anak masih kecil (seperti halnya kami), anak-anak Anda adalah anak (didikan) Barat yang sering berlainan 'valuenya', sebagian positip dan sebagian negatip kalau dilihat dari cara berpikir Timur. Contoh lainnya lagi yang sedang ramai diperdebatkan antara Bung Leo di satu pihak dan beberapa warga P-Net di pihak lain, 'kebudayaan sungkan a la Jawa' itu tidak dikenal di Barat. Tidak suka, katakan tidak suka, jelek katakan jelek, tidak pakai tedeng aling-aling termasuk kalau yang tidak disukai dan jelek datangnya dari orang tua atau dari presiden maupun perdana menteri.

(Racism)
Saya paling kesal atau marah kalau anak kami, Alfa terutama, suka bersikap rasialis kepada suku bangsa lain. Sebetulnya ia banyak bergaul dengan kaum minoritas, orang-orang Asia dan Afrika, tetapi mungkin dasar anak-anak, sekali-sekali keluar 'racist remark'-nya (di rumah dan di lingkungan teman- temannya). Saya suka mengatakan, "We live in this country because I do not want you to get or hear a racist remark, how could you say things like that?" Biasanya ia diam kalau saya berkata begitu. Tetapi ia jago sekali menirukan aksen orang-orang minoritas, a.l. karena tayangan serial TV Simpsons yang sedang populer di antara anak-anak Amrik dan Kanada saat ini. Persis sekali kalau ia menirukan aksen orang dari India atau Pakistan, salah satu tokoh di serial Simpsons. Meski sekalipun saya dan Cecilia tidak pernah mengucapkan perkataan seperti itu, tetap saja anak-anak senang berbahasa dengan aksen Asia Selatan ini. Persis seperti kaum rasialis di Indonesia di dalam 'racist remark'-nya senang mengucapkan aksen encek Cina totok Indonesia. Jadi di dalam suatu masyarakat multi-kultur seperti di Toronto ini, mana mungkin tidak ada rasialisme. Nah, anggota keluargaku saja, yang hijrah dari Indonesia a.l. untuk menghindari rasialisme, meski di lingkungan terbatas, tetap melakukannya. Mengapa? Sebab ia merasa bahwa ia adalah "mayoritas" atau anak Canada. Itu satu contoh soal mengenai rasialisme. Contoh lainnya sering saya alami juga, di dalam bergaul di masyarakat Barat ini. Hanya tidak ada yang kurang ajar mengatakan "Cina lu". Rasialismenya halus atau 'subtle' istilahnya. Karena "indera" saya cukup peka soal ini, maklum pengalaman di Indonesia hidup 33 tahun :-), saya merasa kalau sedang "dibedakan". Kalau Anda tidak pernah mengalami praktek rasialis, sukar untuk menjelaskannya. Hal ini umum terjadi kalau saya sedang meminta suatu jasa atau pelayanan. Seorang teman di Toronto yang kulitnya gelap bercerita kepada saya, waktu ia berenang atau masuk ke dalam kolam renang di hotelnya di suatu kota di Australia (pasti bukan Perth :-)), orang-orang kulit putih yang sedang berenang keluar dari kolam renang, mungkin takut "kelunturan" :-). Saya katakan, ini sih tidak pernah saya alami di Toronto atau kota-kota di USA yang saya sering kunjungi. Malah terkadang, sesuatu yang agak ironis terjadi disini. Begini ceritanya. Pemerintah Canada, pusat maupun propinsi, menjaga secara cukup ketat agar supaya rasialisme tidak tumbuh subur di masyarakat, a.l. dengan segala macam undang-undang dan hukuman bagi kaum rasialis atau orang yang melakukan tindakan rasialis secara terang-terangan. Nah, beberapa tahun lalu, ada kebijaksanaan atau lebih tepat aturan pemerintah bahwa hanya perusahaan yang dapat membuktikan ia sudah mempekerjakan kelompok minoritas sekian persen, akan boleh mengajukan tender untuk menjadi kontraktor atau berjualan ke badan-badang pemerintahan. Akibatnya lalu terjadi 'reverse discrimination'. Dengan jelas, saya dapat melihat di kantor saya sendiri di IBM Lab, perempuan dan minoritas, mendapat angin (termasuk saya yang tidak di-PHK-kan pada saat IBM melakukan 'right-sizing' :-), tapi bohong deh). Kalau ia minoritas ganda, perempuan dan dari etnis yang minoritas, kita dapat melihat karirnya lebih cepat melonjaknya dibandingkan pria, non-minoritas. Ya, tentu IBM tidak mungkin menyolok mata kaum mayoritas dengan melakukan promosi bila yang bersangkutan blo'on. Saya katakan mendapat angin dan angin itu sepoi-sepoi deh :-). Pokoknya nyata dan diketahui orang. Yang bersangkutan jelas harus mampu untuk bekerja dan memperlihatkan bahwa ia mendapat promosi karena memang mampu dan itulah yang terjadi. Memangnya perusahaan yayasan sosial :-). Suatu ketika saya menghadap General Manager PT IBM Indonesia, orang kulit putih dan mengajukan pertanyaan "kurang ajar": "If I and my friend Paino who is a native have the same level of performance and capability, who will you promote first?" Dasar ia orang Barat dan bukan orang Jawa, jawabannya langsung dan tidak pakai tedeng aling-aling, "Of course I will promote Paino first if you and him perform at the same level." Memang ia menjelaskan alasannya secara panjang lebar dan dapat saya terima (daripada dipecat :-)). Ya, itulah fakta kehidupan. Tetapi cerita di IBM Lab itu cerita jaman dulu sebab kalau Anda berkunjung ke Lab kami sekarang, Anda akan melihat bahwa orang kulit putih sudah menjadi minoritas. Mengapa? Karena anak-anak Asia sejak dari SD sampai ke SMA, senangnya ilmu-ilmu eksakta seperti matematika dan ilmu komputer. Akibatnya mereka muncul sebagai top performer di sekolahnya dibandingkan anak-anak mayoritas.

(Home is where the heart is)
Seperti pernah saya tayangkan di dalam salah satu cerita saya, kalau berkunjung ke tanah air dan pesawat mulai mencapai pantai pulau Jawa, meski sedang mengantuk atau terkena 'jet lag' hati saya berdebaram dan muka saya tersenyum. "Weren't our hearts burning ... ", kata epilog emailnya Bang Gonjreng Jeff Dompas (nyang atinye lagi empet tapinye). Ya, hati umumnya berdebar-debur kalau melihat lagi skyline kota Betawiku, apalagi kalau sudah lama sekali tidak mengunjungi tanah air. Yes, you belong to my heart Jakarta. Juga senang sekali menelusuri jalan-jalan dan gang-gang dan melihat rumah- rumah di tempat saya puluhan tahun yang lalu "malang melintang" :-). Sebagian besar sudah berubah tetapi karena daya khayal saya yang lumayan, saya dapat merekonstruksi dimana kira-kira pohon jambu tempat saya "mangkal". Dimana pohon srikaya yang pemiliknya judes, dimana pohon mangga yang sering saya katapelkan, dimana pohon jamblang yang konon banyak setannya :-). Tapi satu hal, penduduk disitu, yang 90% sudah tidak saya kenal atau mengenal saya, melihati saya dengan "curiga". Ini orang asing dari mana, ngelangak ngelongok kaya maling. Jangankan tersenyum dan menegur. Ya, itulah penduduk kota Jakarta di bagian kampung tempat saya besar dan meningkat dewasa, sudah tidak ramah lagi, mungkin karena kerasnya hidup di Betawi, elu elu gua gua. Hanya tukang cukur langganan saya yang masih tetap ramah dan kalau saja ia orang Barat, pasti ia memeluk saya kalau melihat saya datang. Karena ia orang Sunda, maka hanya bersalaman dan tangannya yang ia cium, bukan pipi saya :-). Entah mengapa, meski bahasanya sreg sekali, meski makanannya asoi asoi, wanitanya cantik-cantik, prianya ganteng ganteng, tetapi lama kelamaan saya tidak betah lagi di Jakarta tuh. Kalau sudah sebulan lebih, rasanya sudah ingin pulang ke Toronto. Inilah yang rupanya kata orang 'home is where the heart is'. Yah, hati saya sudah tidak tertambat lagi di Jakarta kota kelahiranku, tetapi di kota Toronto ini, kota pilihanku untuk tinggal. Meskipun hati saya suka terluka juga tinggal disini, baik karena belalang yang berlainan, maupun bertemu dengan jin nyasar, atau ditanyakan "why bernada kurang ajar" oleh anak-anak, tetap saya merasa inilah rumahku. Kalau pesawat akan mendarat, apalagi kalau hari sudah gelap dan terang-benderangnya kota metropolitan ini tampak dari angkasa, hati saya lebih-lebih lagi memaraknya. Yessss! Saya yakin dimana saja Anda tinggal, kalau Anda bepergian jauh dan pulang ke rumah, seburuk dan selusuh apapun rumah Anda, pastilah Anda juga berkata "Yes, this is my home where my heart is." Salam untuk para 'yes man' dan 'yes woman' di rumah Anda masing-masing :-). Buat nyang masi nebeng komputer kantor bacain tayangan aye, beli dong prens komputer ndiri, ngga use merek ibeem deh :-). Bo'ong, bo'ong, ade nyang mare soalnye, "Eeeeh gue ude miskin elu ledek ye jusni, dasar elu kurang ajar juge lu." "Emang bener, siape bilang aye ude cukup belajarnye." Gitu dulu ah, lekom juge buat nyang pake komputer kantor. Sampai tayangan berikutnya, semoga saya tidak disemprot pakai bahasa Betawi di atas dan tidak diterjemahkan. Mudah kan membaca bahasa Betawi. Eh, dasar orang Indo, sudah bilang permisi masih ngobrol terus di halaman dan sekarang di pagar lagi. Wasalam lekom sekali lagi :-).

Home Next Previous