(Sebatang Kara)
Masih banyak lagi pengalaman menyedihkan dan "kisah sengsara" hidup sebatang
kara di negeri ini sebagai imigran dari masyarakat Timur yang bersifat
paguyuban. Salah satunya yang sangat terasa adalah menjelang hari raya
seperti Natal, Tahun Baru dan Paskah. Mengapa? Ya karena lazim keluarga
berkumpul bila Natal dan Tahun Baru. Dengan siapa kami akan berkumpul?
Paling-paling kami telepon interlokal ke keluarga kami yang tengah berkumpul
di Indonesia dan karena mahalnya biaya interlokal (3$ per menit jaman dulu,
sekarang sekitar 1$ per menit di jam-jam tertentu) tentu kami tidak dapat
mengobrol seenaknya. Sekali dua kali kami pernah diundang ke pesta keluarga
kerabat jauh tetapi tentu tidak sama dengan pesta keluarga kakak adik ortu.
Malahan diundang ke pesta keluarga seperti itu lebih terasa menyedihkan
terkadang. Bagi saya sendiri yang sangat terasa bukannya "pesta sendirian"
karena memang saya tidak terlalu senang akan pesta tetapi kalau musim panas.
Ya, bila kami pergi kemping di musim panas, sejak anak-anak masih kecil dan
sampai kini, saya suka iri bila melihat suatu keluarga besar pergi kemping
bersama. Seperti saya katakan, keluarga Cecilia sangat akrab hubungan kakak
beradik mereka, maklum dari keluarga besar (6 anak) untuk ukuran kini. Itulah
yang tidak akan pernah saya dan Cecilia dapatkan dengan hidup sebagai imigran
di Toronto ini. Suasana keakraban dan penuh kasih sayang di antara keluarga.
Namun, kekosongan di atas sedikit banyak terisi bila kita aktif bergaul di masyarakat. Contohnya, saya dan Cecilia berhalangan hadir di pesta Natal kelompok Marriage Encounter kami di Toronto seminggu lalu karena ia sedang di Jakarta dan saya harus "ikut rapat" atau mengikuti pemilihan pengurus baru Umat Katolik Indonesia masa jabatan 3 tahun mendatang. Di Misa kemarin semua pasutri kelompok kami menyalami dan memeluk saya yang memang sedang sendirian sambil mengucapkan 'we miss you'. Juga dengan aktif di kelompok Umat Katolik Indonesia, beberapa keluarga terkadang sudah seperti kakak atau adik kami saja di dalam tolong menolong dan bantu membantu. Salah satu 'blessing in disguise' lainnya tidak mempunyai keluarga menjelang Natal adalah tidak perlu pusing mencari dan membelikan hadiah Natal :-). Orang-orang di kota ini sejak bulan Oktober November sudah mulai membeli hadiah-hadiah Natal, apalagi kalau ia anggota keluarga besar. Dapat Anda bayangkan 'stress levelnya'. Itu yang di dalam kesedihan saya dan Cecilia suka tersenyum melihat mereka yang repot berbelanja segala macam sehingga tangan mereka penuh dengan barang. Tugas kami hanyalah membeli sedikit hadiah, 1-2 macam untuk anak-anak dan terkadang kalau saya dan isteriku sedang dalam suasana "bulan madu" maka kami saling memberikan hadiah :-). Tetapi tahun-tahun terakhir ini sudah jarang dan sebetulnya Hari Natal dua tahun terakhir ini "aneh" atau lain dari yang lain bagi saya dan dia. Tahun lalu, Natal kami rayakan di Jakarta di tengah- tengah ayah saya yang sedang sakit keras karena kanker stadium lanjut. Beliau lalu meninggal tanggal 1 Januari 1996. Tahun ini saya sendirian menyambut dan mempersiapkan Hari Raya Natal, seumur hidup baru pernah sekali ini sebab Cecilia sedang di Jakarta. Jadi kalau Anda berasal dari keluarga yang sangat bersifat paguyuban, akan lebih terasa susahnya Anda menjadi imigran, namun bila Anda adalah manusia individualis dan senang sendirian, mungkin lebih nyaman hidup di negeri asing sebatang kara.
(Ganti Nama)
Beberapa teman imigran baik di Toronto ini maupun di kota lain di Amerika
Serikat yang berasal dari keturunan Tionghoa seperti saya, mengganti kembali
nama Indonesianya menjadi "nama lama" setelah mereka bermukim disini.
Terkadang ada yang mencampurnya dengan nama Barat, misal John Ang atau Paul
Lim. Bagi saya sendiri, tak pernah terpikir atau ingin mengganti kembali
namaku ke nama lama. Nama ini sepertinya suatu kenang-kenangan atau ikatan
batin saya dengan tanah airku, sesuatu yang berbau Indonesia. Lagipula aksen
saya berbahasa Inggris sama sekali berlainan dari para imigran yang berasal
entah dari Hong Kong, Singapura, Taiwan atau Tiongkok. Ya, karena pengaruh
bahasa ibu kita, aksen Inggris orang Indonesia khas sekali. Yang unik memang
aksen Inggris anak Jawa :-), yang terkadang saya pun sukar menangkapnya.
Cecilia sendiri yang tidak medok Jawanya suka mengucapkan beberapa kata
dengan aksen Jawa dan saya suka mengusiknya dan umumnya ia tertawa :-). Kalau
Anda mampir ke kamar saya di kantor, Anda akan melihat peta Indonesia (dari
National Geography magazine) yang cukup besar dan juga satu dua hiasan,
ikatanku dengan Indonesia. Ada 2 wayang kulit Arjuna dan Sembadra yang saya
tempel di dinding. Anak-anak India dan Srilangka yang bertandang ke kantor
saya akan menganggukkan kepala kalau saya berkata "Mahabharata". Kalau sedang
"nganggur", kedua tokoh wayang itu dapat menjadi bahan pembicaraan. Kalender
yang setiap tahun dikirimkan oleh teman saya di PT USI/IBM, sering memuat
gambar-gambar yang juga dapat dijadikan topik pembicaraan. Teman-teman saya
yang Islam suka memeriksa di kalender itu tanggal jatuhnya hari raya mereka
dan kalau kiriman kalender berlebih, suka saya berikan kepada satu dua orang.
Terkadang, setahun tidak sekali :-) ada anak Cina yang berkata kepada saya,
"Jusni, you look like Chinese." Hampir tidak pernah saya harus mengatakan,
"I changed my name." Cukup kalau saya katakan bahwa ya, saya mempunyai darah
Tionghoa dan mereka sudah puas. Satu dua orang sedikit mengetahui "what's
going on in Indonesia" dan kepada mereka saya jelaskan ya saya mengganti
nama saya untuk mempermudah hidup di Indonesia jaman dahulu. Intisarinya
adalah mereka tahunya saya dari Indonesia, lahir disana dan masih mempunyai
keluarga serta ikatan dengan Indonesia. Anak-anak kami sendiri sejak lahir
hanya mempunyai nama Indonesia dan tidak ada nama Tionghoanya dan ortu saya
maupun Cecilia bukan kelompok kolot sehingga mereka juga tidak peduli.
Malahan nama tengah mereka saya sengaja sangat Indonesia sehingga mereka
"malu" memakainya di Toronto ini karena lain dari yang lain. Moga-moga suatu
hari mereka akan bangga memakai nama tengah itu sebab merekapun lahir di
Jakarta. Pasti tidak di jaman sekarang, mungkin di jaman Star Trek :-).
(Jauh Di Mata Dekat Di Hati)
Ada pepatah Belanda yang kira-kira berbunyi bila dekat bau bila jauh wangi.
Terasa sekali kebenarannya bagi kami yang tinggal jauh dari keluarga di
Indonesia :-). Kami wangi terus untuk mereka meski seminggu tidak mandi :-).
Ya, masa sih negatip terus, selalu ada positipnya hidup dan tinggal jauh dari
keluarga dekat atau yang kita kasihi. Salah satunya adalah bila berjumpa
kembali, tentu terasa lebih erat daripada yang sehari-hari tinggal bersama.
Bagi kedua anak kami hal ini lebih lebih lagi terasa, keakraban saudara
sepupu dan anggota keluarganya yang lain, yang khas bersifat Timur dan penuh
dengan 'care', kasih serta kepedulian. Dimanja deh singkatnya. Waktu mereka
pertama kali kami ajak mengunjungi tanah air, mereka tidak dapat percaya
bahwa ada kelompok manusia bernama "pembantu rumah tangga". Wah senangnya
mereka dapat memerintah manusia lain. Tetapi kasian juga untuk Alfa yang
sudah dapat berpikir kritis dan beranalisa. "It is like slavery," katanya.
Ia hitung berapa besar gaji pembantu dan ia bandingkan dengan uang sakunya
yang tidak berbeda terlalu jauh. Lalu ia menggeleng-gelengkan kepalanya dan
tidak berbahagia melihat ada perbedaan atau majikan dan pembantu di suatu
rumah tangga. Ya, ia hasil produksi masyarakat Barat tetapi yang relatif
tinggi tingkat sosialismenya seperti di Toronto, Canada ini. Mengalami hidup
di dua dunia itu, saya dapat mengerti kesedihannya. Semoga pengalaman itu
meninggikan kadar compassionnya :-).
Memang tinggal sangat jauh dengan keluarga kami di Indonesia rasanya lebih membuat kami dekat dengan mereka. Seperti pernah saya katakan, sejak saya pindah ke Toronto, selama 16 tahun lebih, hampir tak pernah absen kecuali saya sakit berat, seminggu sekali saya menulis surat ke orang tuaku. Jadi meski kami terpisah setengah dunia, tepat 12 jam beda waktunya, sehingga persis mereka tengah hari bolong kami tengah malam buta, mereka tahu persis apa yang terjadi dengan keluarga kami setiap minggu. Sejak teknologi komunikasi di dunia bertambah maju dengan adanya mesin fax dan kini Internet surat yang saya tulis itu dalam waktu beberapa menit sudah sampai ke Jakarta. Jaman dahulu surat dari Toronto kira-kira membutuhkan waktu 10 hari untuk tiba di Jakarta dan demikian pula dari Jakarta ke Toronto. Kalau Natal atau Lebaran, angka itu boleh dikalikan dua :-( alias hubungan surat menjadi sangat lambat. Jadi kalau Anda tidak mempunyai keahlian menulis alias selama ini hanya menjadi warga P-Net yang nge-ROM, kasian keluarga yang ditinggali dan mendambakan berita-berita dari Anda :-). Itu saja tiga pokok pengalaman yang ingin saya tulis kali ini, sampai berjumpa di kisah PIT mendatang. Salam dari Toronto yang masih belum "memperbolehkan" Selamat Natal :-).