Renungan Killarney di Bulan Juni

Bagaimana pren sadayana, boleh engga judul tayanganku ini? Meskipun bahasa Indonesiaku di rapor dulu dapat enam :-) tetapi kalau ada waktu maupun dapat inspirasi di dalam menulis, saya suka membuat kalimat-kalimatku bersajak. Mungkin pujangga seperti Pramoedya akan berkata bahwa itu sajak orang lagi berak :-) tapi mumpung Bang Lintang penyair P-Net sedang teler, boleh juga Bang Jeha menjadi penyair di dalam prosanya :-). Seperti kutulis di dalam salah satu tayanganku kemarin ini, saya sama sekali belum atau tidak mengarang selama di kempingan ke Killarney tetapi lebih banyak melamun dan merenung terutama mengenang hari jadiku sekitar 52 tahun lalu (sekalian menjawab pertanyaan bila masih ada, saya berumur berapa). Renungan pertama yang masih kuingat adalah mengenai cuaca atau tepatnya ramalan cuaca.

Berhari-hari sebelum hari-H saya sudah mulai mencari informasi atau ramalan cuaca keadaan di daerah Killarney. Yang menjadi masalah adalah, kota besar terdekat yang masuk di dalam peta ramalan cuaca, Sudbury, letaknya jauh sekali, sekitar 200 km dari Killarney. Kota lain yang lebih dekat, Espanola, terlalu kecil sehingga tidak dimasukkan ke dalam kota yang info cuacanya ada dimana-mana, di Website atau di koran. Akibatnya saya hanya dapat menduga-duga akan seperti apa suhu maupun ramalan cuaca Killarney dan beritanya tidak menggembirakan. Baik Sudbury maupun Parry Sound akan tidak cerah cuacanya. Hal ini dikonfirmasikan ketika saya dan Cecilia tiba di kantor cagar alam Killarney di hari Kamis sore tgl 10 Juni lalu. Ramalan hujan hari Jum'atnya 40%, Sabtu 60 dan Minggu 80%. Tidak heran bahwa kemudian kami mengalami atau melihat cukup banyak campsite yang kosong, padahal waktu Silvana melakukan booking beberapa bulan yang lalu, semua campsite di seluruh musim panas sudah habis, laku dipesan dengan kekecualian di akhir pekan 12 Juni.

Itulah yang kurenungkan di muka api unggun di campsite, setelah puas mendayung sekeliling George Lake berdua dengan Cecilia saja. Mong-ngomong api unggun, jaman dahulu kala waktu saya belum membeli gergaji portable yang serba ringan dan ringkas, kayu untuk api unggun di campground, kami beli. Satu kotak kecil berukuran satu 'cord' harganya 6 $ bila jenis hardwood (baca Renungan Api Unggun di hompejku bila ingin mengetahui apa itu 'hardwood'). Kalau kita mulai memasang api di awal petang, satu cord tidak akan cukup semalaman. Jadi harus bermodal sekitar $ 12. Sekarang, kalau saya dan Cecilia kemping, meskipun tidak masuk ke interior atau ke dalam hutan, kami mencari kayu atau pohon mati dan kami gergaji atau boyong, terkadang pakai canoe, ke campsite. Akibatnya kata anak Betawi, 'pulang ponci' atau impas antara ongkos campsite dan kayu bakar yang gratisan. Kalau kebetulan kayunya banyak yang kami peroleh dan bakar, terkadang kayu pinus yang asyik sekhalei dijadikan kayu bakar, malah kami jadi untung kemping cara begini :-).

Kembali ke ramalan cuaca, meski langit kelihatan berawan, sampai dengan kami akan beradu, eh tidur :-), hujan tidak jadi datang. Itulah bedanya kemping dengan iman, masa bodoh akan hujan atau tidak hujan, berapapun probabilitas hujan, kita tetap pergi dan tetap akan masuk ke interior. Iman yang diamini seperti ini memang membuahkan hasil, terbukti dengan asyiknya cuaca sepanjang kemping dan matahari hampir selalu bersinar, kekecualian hanyalah pada saat pulang di route terakhir dari Killarney Lake menuju Freedom Lake.

"Mas, kenapa Anda gila kemping seperti ini?," tanya beberapa anak baru masuk di Paroki-Net dan belum pernah membaca Pengalaman Canoe Camping-ku ataupun serial Renungan Api Unggun. Jawabannya sebetulnya panjang lebar sebab hobi ini sudah saya mulai sejak masih kanak-kanak, dari mulai seringnya bersepeda bersama ayah saya, mancing kepiting, kemudian kemping bersama teman-teman semasa remaja. Satu hal yang langsung terbersit adalah, saya menjumpai banyak sahabat sejati lewat kempingan. Meskipun baru kenal, kog orang-orang yang hobinya sama seperti ini, lekas sekali menjadi akrab dan sesudah (sering) mengobrol panjang lebar, kami menemui banyak kesamaan di dalam filsafat hidup, baik doi ber-KTP alias ada agamanya, maupun 'viking' atau mungkin komunis :-). Hal lainnya yang membuat saya sering merenung dan melamun adalah kesempatan untuk hidup secara "miskin", sengaja kupakai tanda kutip sebab istilah itu sedang menjadi sesuatu yang kompleks :-), trims kepada beberapa warga P-Net ini yang mendiskusikan soal kemiskinan Yesus. Seperti pernah kusyer, beberapa temanku anak kota, sudah tidak mungkin lagi pergi kemping dan hidup nikmat seperti yang kami alami :-). Bagi mereka, itu adalah hidup mencari susah, jauh dari kenyamanan hidup modern. Mau minum tinggal buka kran, mau makan tinggal buka lemari es dan masukkan makanan di microwave. Mau ke WC tinggal buka pintu dan duduk :-). Yang terakhir ini, bayangkan kalau Anda mesti gali-gali dulu sambil mencari tempat yang strategis padahal sudah kebelet :-). Belum lagi urusan tidur atau peraduan. Ya memang jaman sekarang saya kemping di tengah "kemewahan", tenda 3 season waterproof windproof, sleeping bag rating-nya bisa dipakai untuk tidur di suhu minus, alas memakai Thermarest. Kubandingkan dengan jaman kere, ambil contohnya ketika aku tidur atau bermalam di kawah Gunung Salak. Bau belerang semerbak seperti bau duren busuk :-), alas plastik dan batu-batu kerikil menghunjam tubuh. Sleeping bag hanyalah sehelai sarung pelekat. Tenda adalah ciptaan-Nya alias tidur di bawah atap langit doang yang kalau kita mujur berbintang-bintang. Nah, mengenangkan semuanya itu, lamunanku teriring dengan senyuman karena sekarang daku dapat menikmati kemping gaya mewah alias kemping "orang kaya" :-). Merenungkan hal-hal indah sebelum tidur, ketika saya masih sering kemping di tanah air, adalah suatu resep yang jitu untuk lekas melaju ke "pulau Thermarest" alias beristirahat. Sampai renungan berikutnya, salam dari Killarney lewat Toronto.

Waktu saya dan Cecilia pertama kali kemping ke Killarney, kami belum berkanu tetapi melakukan apa yang namanya 'hiking camping' yakni seluruh barang bawaan kami panggul di dalam ransel dan masuk ke dalam hutan atau 'interior' istilahnya. Pada suatu ketika, tidak jauh dari campsite kami, ketika sedang melamun di tepi sebuah danau kami melihat satu pasutri berkanu mendarat. Lalu kami mengobrol dengan mereka dan ternyata mereka dari Amrik serta setiap tahun berusaha ke Killarney. "It is so beautiful here," katanya. Kami hanya mengangguk dan menganggap memang pemandangan bukit-bukit cadas yang serba putih di Killarney, sesuatu yang indah. Tidak kami sangka bahwa yang mereka maksud indah adalah danaunya yang tidak mungkin dapat kita nikmati kalau kita tidak berkanu masuk ke 'interior' karena kita tidak akan dapat melihat kedua danau Killarney dan OSA yang indah rupawan memukau. Sudah cukup banyak keindahan alam termasuk keindahan danau di manca negara yang pernah saya nikmati, jadi kalau saya katakan Killarney indah danau-danaunya, seharusnya Anda percaya dan ini bukan wangsit Bang Jeha :-).

Nah, dilatar-belakangi dengan keindahan ciptaan-Nya seperti itu, mana kita bisa tahan untuk tidak melamun dan merenung :-). Tiga kanu dengan penumpang 6 anak dewasa dan 2 anak kecil, berangkat dari George Lake menuju OSA Lake, tujuan kami bermalam hari itu. Akan ada 2 danau lain yang perlu kami lalui, Freedom Lake dan kemudian Killarney Lake, total portaging hanya 3 kali dan cuma sekitar 700 meter total. Bila hanya saya dan Cecilia, jarak sejauh itu masih mungkin kami tempuh berdua saja dan bila kami kemping di musim panas, risiko terkena musibah dan tidak berjumpa dengan manusia lainnya cukup kecil. Namun, teman berkanu atau kanu lainnya merupakan faktor yang penting bila kami hendak masuk jauh ke interior, beberapa hari berkanu dari tempat parkir. Bukan saja kami dapat saling bantu-membantu bila menghadapi kesusahan, kami juga akan dapat lebih menikmati kegembiraan yang kami alami. Seseorang warga Net ini bertanya kepadaku per japri, apa tujuan atau gunanya orang menikah. Agar tidak perlu berkanu sendirian dan dapat menempuh jarak yang jauh :-). Tentu tidak demikian jawabanku kepadanya sebab ia serius dalam bertanya.

Di jam makan siang sebelum saya berangkat kemping, satu dua kolegaku di kantor yang sudah menikah tetapi tidak ingin mempunyai anak, mengemukakan alasan mereka dan juga membenarkan keputusan mereka dengan menyitir "statistik" dari kawan-kawan mereka yang berpendapat serupa. Saya sama sekali tidak berkomentar sebab sedang tidak semangat berkotbah, namun tentu di dalam hati saya mengambil kesimpulan atau berpendapat. Mereka adalah generasi 'me first' dan tidak mungkin mereka dapat mengenyam hikmah dari keluarga yang mempunyai anak. Engga bakal nyampe, kata anak Betawi. Namun, karena saya juga berkecimpung di dalam suatu paguyuban dimana para ortu terkadang menyesali nasib mengapa sampai "dikaruniai" anak, saya dapat mengerti titik-tolak pandangan mereka. Itulah awal renungan saya di hari kedua kami kemping, mengenai teman dan persahabatan, mengenai keluarga dan interaksinya.

Anak-anak yang rajin di dalam kemping, membuat suasana kemping menjadi lebih nyaman. Mereka yang mempunyai sikap 'me first' terkadang menciptakan ketidak-bahagiaan di paguyuban kempingan. Pagi hari Jum'at itu saya mendapat giliran menyiapkan makanan pagi dan malamnya Cecilia. Sebetulnya bubur ayam yang saya buat di pagi hari, bahan-bahannya sudah disiapkan juga oleh nyonyaku, tinggal mengolahnya. Karena terlalu banyaknya nasi (sisa :-)) yang kupakai, buburnya menjadi kurang sedap dan 'quality control person' yang kuajak menggerutu terus :-). Untunglah para peserta kemping lainnya mirip dengan anak-anak P-Net yang suka memuji orang :-), sehingga akhirnya habis juga bubur setengah panci itu sebab uenak katanya. Soal menyiapkan makanan ini membuat saya melamun lagi mengingat beberapa temanku dari kantor yang canoe camping ceritanya di musim panas tahun lalu. Kebetulan acara mereka bentrok dengan acaraku sehingga saya tidak sempat ikut. Namun, menarik sekali mengetahui apa yang mereka lakukan di dalam rangka persiapan makanan. Mereka berbelanja bersama! Mereka setuju agar tidak ada 'surprise' dalam hal makanan yang akan disiapkan dan akan oke di perut semua peserta. Juga mereka tidak membagi-bagi tugas giliran siapa memasak/menyiapkan di jam makan yang mana di hari keberapa. Mereka membeli makanan 'generic' seperti cereal untuk makan pagi, roti untuk makan siang dan hamburger untuk di-barbeque buat makan malam. Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya, lain paguyuban lain kebiasaan.

Karena kami berdua masih mempunyai tugas untuk menyiapkan hidangan malam, disamping kami ingin mendapat campsite yang terbaik di OSA Lake, maka kemarin daku dan Cecilia mendayung kanu kami lebih dahulu, meninggalkan yang lain-lainnya di suatu pulau sehabis berenang-ria seusai makan siang dan sempat bersiesta :-). Itulah caranya agar terus segar meski mendayung berjam-jam. Habis makan siang, istirahat sebentar, melamun dan kemudian memejamkan mata. J. katanya ingin mengikuti resepku ini dan ia berhasil juga sehingga ia pun tetap bugar sampai malam hari. Tidak terlalu sukar mencari letak pulau itu dan lagipula ombak relatif tenang sehingga tidak sukar untuk mengemudikan kanu. Di canoe camping kali ini, si bos yang biasanya duduk di buritan alias mengemudi, sekarang lebih suka duduk di haluan dan sayalah yang terus menerus mempraktekkan 'J stroke'-ku, terkadang 'C stroke'. Memang tidak membosankan sebetulnya menjadi pengemudi karena kita harus waspada terus, apalagi kalau yang duduk di depan bos, alamat "tanggal gajian kita bisa tidak dibayar". :-)

Menu makan malam kemarin merupakan sesuatu yang baru, kreasi isteriku, yakni pepesan telur asin dan gudeg a la Toronto yang lain dari yang lain tetapi tetap uenak sekhalei. Tugas memasak makanan pagi diberikan kepada T. yang pada saat kemping tahun lalu berhasil menyajikan bakmi goreng 'masterpiece' sebab dimasaknya pake bumbu gosip :-). Karena sekarang ia sudah tidak di dalam 'gossip circle' di kota Toronto yang sebetulnya kalah jauh mutu gosipnya dibandingkan kota Pengkupernya Wan Nawi, jelas tiada bumbu gosip yang dapat ditambahkan ke mie goreng di pagi hari itu sehingga sedikit cemplang rasanya. :-)

Dibekali dengan mie yang kira-kira semutu dengan bakmi tektek di Betawi, kami bersiap-siap untuk pindah ke Danau Killarney menjelang siang. Saking lamanya keluarga T. setiap kali kemping untuk membereskan tenda dan perlengkapan, maklum bosnya tiga dan pegawainya hanya sendiri :-), sedikitnya 2 jam untuk sang pegawai mengepak seluruh perlengkapan, puteri duyung P-Net kita tidak sabar dan ditemani isteriku pergi ke 'diving platform' di seberang danau di kaki bukit cadas. Ketika J. teman berkanuku di pagi itu melihat dari jauh, ia berkata, "Did you see what I see?" "What did you see?" "I think they are skinny dipping." Masya-malaikat, memang dari jauh kelihatan dua sosok anak berumur puluhan tahun di dalam pakaian Hawa-nya alias 'au naturel' :-). Nyonyaku yang baru sekali ini berenang atau terjun bugil di alam luas, hanya ditonton oleh kedua anak T. dan A., cengar-cengir ketika melihat kami mendekat. "Did you use the binocular?," tanyanya curiga. "What for, there is nothing special," jawabku. :-)

Ya itulah pren sadayana, lamunanku dimulai di hari itu mengenai mengapa kita jengah atau enggan untuk bertelanjang di muka orang lain. Mengapa kita menganggap hal itu sebagai hal yang biadab, primitif a la jaman batu, tidak pantas dilakukan manusia yang sopan. Coba bayangkan bila kita tinggal di suatu kota, lupakan kemungkinan suhu yang dingin dulu, andaikan bahwa suhu stabil plus 25C. Kita berangkat ke kantor atau ke sekolah, orang-orang yang menunggu bis maupun berjalan kaki, bugil semuanya. Tidak perlu lagi yang bernama pakaian seragam, jas dan dasi yang membedakan kita orang hebat atau celana rombeng karena kere. Segala macam perut, kokokbeluk dan BD dapat kita lihat. Mungkin di hari-hari pertama mata kita akan melotot tak berkedip, tetapi seminggu sebulan melihat jenis perut dari yang kempes sampai yang sebesar tong, kokokbeluk dari sebesar cabe-rawit sampai ketimun :-), BD dari yang sedatar papan berpaku pines dua sampai yang sebesar papaya :-O, akhirnya kita toh akan bosan. Itu belum apa-apa. Di kantor, bos dan juragan yang biasanya sok, coba kita perhatikan lagaknya bila ia tidak berjas dan berdasi lagi, apakah akan lebih rendah hati. Guru dan propesor yang perutnya kembung, apakah PD-nya masih tetap sama bila harus berdiri di depan kelas dan bila doi melihat ke bawah hanya tampak udelnya :-). Gilak yah lamunanku di siang itu. Semua gara-gara Cecilia dan Silvana yang berenang bugil, jadi salahkan mereka kalau Anda jenis manusia tukang cari kambing hitam atau kesalahan orang :-).

Saking memang salah satu hobiku yang lain bernama iseng, ja'il istilah anak Betawi, kutanya M., salah seorang puteri T. dan A sebab ia membonceng dan membantu mendayung di kanu kami. "Do you like seeing those two women swimming naked?" "No, I don't like it." "I see; have you seen your Mom or Dad running around the house naked?" Ia menggeleng, jelas ia tidak nyaman melihat orang telanjang, alias sudah diajarkan apa yang namanya sopan santun a la orang beradab :-).

Masih ingat suatu pemeo yang kutulis di salah satu tayangan canoe camping-ku? Bahwa embahnya perkanuan dari Kanada, almarhum oom Bill Mason pengarang 'Path of the Paddle' berkata, "Canoe is the poor man's cruise ship." Di pagi hari, sehabis menemani dan membantu J. menyiapkan hidangan pagi, hapermot yang kami buat menjadi seperti resep anak Indo alias kental sekali, saya melamun, bagaimana bila orang-orang kaya dan berpangkat seperti Ratu Elisabeth membaca tayangan P-Net ini :-) dan ingin melihat Killarney? Bagaimana bila anak bontotnya si Edward ingin berbulan-madu dan mandi bugil bersama si Sophie di Danau O.S.A.? :-) Beberapa kemungkinan akan terjadi, Killarney ditutup untuk seminggu dua minggu dari rakyat jelata dan beliauw- beliauw diturunkan dari helikopter, wer-wer-wer, sehingga tak perlu berjerih-payah bermobil 5-6 jam dari Toronto, mendayung berjam-jam dari tempat parkir, menggotong kanu ratusan meter. Kemungkinan kedua si Tante Lis dan Oom Phil akan ikutan kami melakukan semua yang kami telah lakukan. Terakhir, beliau minta dibuatkan Killarney bohong-bohongan di Buckingham Palace dan dengan teknologi modern hal itu bisa terjadi. Wong belum lama ini daku mendengar temanku juragan Lippo besanan dengan dokter ahli jantung numero uno di Indo dan konon ruangan di hotelnya dibuat persis seperti gereja Katedral! Kalau milyarder Rupiahan saja mampu begitu, apalagi milyarder Poundsterling.

Namun pren sadayana, itulah bedanya pencinta alam kere dengan pencinta alam kelas salon alias yang berduit, mereka tidak akan dapat menikmati apa yang telah kami nikmati. Mana mungkin mereka harus masak nasi yang dengan segala kecintaan ditilik apinya agar sesekecil mungkin supaya aronnya tidak menjadi hangus dan nasinya bau? Itu memang tugas muliaku yang diminta oleh Silvana ketika kemarin mereka semua meninggalkan daku untuk memasak nasi, menyiapkan tali kerekan makanan, mencuci piring mangkok sendok, menggergaji kayu bakar, dst. dsb. Bohong, Silvana hanya minta tolong masak nasi tetapi karena daku sedang bahagia maka kukerjakan semua yang ekstra di atas. Mereka tidak tahu saja, ada 10 kali aku harus melempar tali mickey-mouse-ku (karena kecil dan bego) ke atas dahan suatu pohon yang cukup tinggi, agar dapat dijadikan patokan atau jangkar kerekan makanan. Itulah sebabnya Jum'at kemarin daku bersepeda ke MEC untuk membeli 22 meter (beli 20 dapat 22 karena keroyalan mengukur si sinyo :-)) tali berukuran 7 mm dan tahan 2200 pound berat beban. Kenyamanan dan kebahagiaan di kempingan yang kami lakukan, karena kami datang tanpa diturunkan dari heli atau bles ditransportasikan dengan transponder a la Star Trek (kulupa namanya, namun para Trekkies tentu tahu maksudku) tak ada lawannya pren. Mirip dengan kalau Anda sedang menjalani kehidupan dan sepertinya kog nasib sial be'eng. Nanti, kalau semua yang "sial" itu sudah berlalu, senyuman Anda akan dari kuping ke kuping, mirip dengan seorang peserta ceramah ahli seks Dr. Ruth. Pernah dengar ya isi ceritanya? :-) Kalau belum atau lupa tanya Oom Frans P3K sebab ia menghapalkan semua tayanganku:-).

Ketika sedang banyak waktuku merenung itu, daku menyesal buku berjudul 'Anak Segala Bangsa' kutinggal di mobil di tempat parkir. Soalnya buku itu hardcover dan boleh pinjam lagi meski sudah dimakan kutu. Jadi kuputuskan untuk tidak membawanya. Meskipun saya mempunyai keempat Buru Quartet lengkap dengan tanda-tangan si Mbah Pram, sekarang daku tidak berminat membaca yang bahasa Inggris sejak Silvana meminjamkanku 'Bumi Manusia'. Lebih afdol membaca yang ditulis di dalam bahasa ibu sendiri, ya engga? Kesan dan kenangan kunjungan Pram ke Toronto memang masih membekas di diriku sehingga tak dapat tidak untuk kumasukkan di dalam program lamunan :-). Belum lama ini kusyer ke-THP-anku ketika seorang di Toronto berteriak "komunis!" menanggapi undangan untuk ikut hadir di acara Pramoedya. Kasihan sekali sebetulnya manusia-manusia Indo yang sudah dicuci-otaknya oleh rezim penguasa di Indo, meski sudah puluhan tahun menjadi manusia yang seharusnya merdeka. Hanya ironisnya, mungkin mereka yang kasihan kepadaku, yang sekarang sudah ikut menjadi "orang komunis" dan main politik :-), eh :-(. Kudapat-bayangkan karena sambil melamun dan merenung, terkadang daku menggaruk bentol-bentol gigitan nyamuk dan lalat-menjangan atau lalat-kuda (deer flies, horse flies) yang sekarang sedang menjadi preman di cagar-cagar alam propinsi Ontario ini. Saya berbahagia dapat kemping ke pedalaman dan masuk ke dalam hutan. Anda anak-anak kota yang "kempingnya" di syoping mal kata si Rendra, mentertawakan keblo'onanku :-) dan sangat kasihan ada orang gosbloks seperti kami ini yang sampai rela digigiti puluhan lalat dalam mencari yang namanya kebahagiaan :-).

Setelah cukup lama merenung dan melamun sambil menunggui T. dan A. membereskan perlengkapan mereka, akhirnya kami mulai berangkat pulang meski hari sudah menjelang jam 12. Hapermot jatah makan pagi tidak cukup atau cocok untuk perutku yang setiap pagi dicekoki nasi :-). Akibatnya ia mulai memberontak tapi tidak terlalu kupedulikan sebab sebentar lagi, 14 Juni di Betawi :-). Salah satu kesenanganku di kempingan kali ini adalah mengamati dan menikmati formasi bebek-bebek Kanada, Canada Geese yang kalau bukan sedang pulang kampung habis pakansi, sedang terbang mencari 'syoping mal' :-). Dari jauh kita sudah dapat mendengarnya, honk-honk-honk, bunyi suara kawanan bebek. Kalau pemandangan tidak terbuka, lekas-lekas kubergegas mencari darimana mereka datang. Suatu ketika, satu rombongan yang jumlahnya lebih dari seratus bebek, mirip kawula PDI-P di P-Net :-) terbang melintas. Indah sekhalei, apalagi mereka tidak membawa parang dan golok :-). Huruf V-nya bervariasi tetapi mereka selalu akan membentuk lagi formasi V itu, mungkin senang dengan si Viktor, Vikiran-Kotor Yo Riono :-). Nah, dapat Anda bayangkan perasaan hatiku ketika satu formasi terbang sangat rendah menuju kanuku pada saat tengah hari di lamunanku ini. "Oh my God," kataku dalam hati dan J. teman mendayungku di pagi itu berkata, "Amazing, I have never had this before in my life." "Aren't we lucky?," kataku dan ia mengangguk. Thank you God for your many blessings in my life including that birthday give 'show'. Sekian syeringku dari perjalanan canoe camping yang terakhir, semoga berkenan, salam dari Killarney lewat Toronto.

13 Juni 1999
Home