Reality Therapy VI

Di dalam suatu session konseling, umum terjadi pihak yang satu akan menuding pihak lainnya. Dikaulah yang menyebabkan daku menderita seperti ini, engkaulah penyebab kegagalan hubungan kita berdua. Sebagai seorang terapis, kita akan mengalaminya dan secara cepat harus menanamkan prinsip kepada sang client, engkau hanya bisa MENGATUR DIRIMU SENDIRI! RT tidak suka berurusan dengan kesalahan orang lain. Fokusnya adalah apa yang sang client mampu lakukan. Tidak ada gunanya mengecap berlama-lama mengenai sesuatu yang tidak mampu dilakukan oleh si client atau ia tidak dapat mengontrolnya. Mengeluh doang hanya bermanfaat di dalam jangka pendek, tetapi sebagai perilaku complain tidak efektif. Kalau hanya dengan mengeluh dan moring-moring, kita dapat mencapai semua hal yang kita inginkan, dunia ini akan penuh dengan orang hepi. Kuberani jamin, Anda pasti mempunyai kenalan atau sedulur yang hobinya adalah mengeluh. Selalu ada yang salah dengan dunia ini :-(.

Kata Glasser, pasien-pasiennya ahli di dalam tiga hal, complaining, blaming dan critizing. Sebagai seorang terapis RT begitu kita mencuekkan atau tidak memberi perhatian kepada ketiga perilaku itu, dengan lekas si client tidak akan melakukannya lagi. Kekecualian tentu bila doi kaya raya dan Anda seorang sepikolog sepikiater 'fresh graduate' dan butuh uang sangu :-). Becanda pren, tentu tidak etis kita menjadikan client "sapi perahan", sama tidak etisnya dengan dokter pedagang yang selalu ada di suatu masyarakat. Berjumpa dengan terapis yang tidak mau mendengarkan keluhan seperti itu, syukur-syukur sang client lekas sadar atau berhenti menjadi pengeluh.

Seperti saya katakan kepada Mbak Aneke kemarin ini, CT menolak konsep sakit mental yang didasarkan kepada 'medical model' atau pola penyakit. Hanya bila memang terjadi kelainan patologis di otak seperti dialami penderita epilepsi atau Alzheimer, barulah pola itu dapat diterima. Pada umumnya client tidak peduli dengan cem-macem teori, bagi mereka yang penting adalah sembuh atau persoalannya beres secara ces-pleng. Tidak heran banyak orang bermasalah lari ke narkoba termasuk alkohol. Glasser mengatakan bahwa mereka tidak menderita penyakit dimana mereka tidak mampu lagi mengontrol dirinya. Jutaan alkoholis yang sudah berhenti minum, melakukannya karena mereka MEMILIH UNTUK BERHENTI. Mereka mampu berhenti dan tidak menikmati lagi kasyikan minum alkohol karena mereka sudah menemukan keasyikan yang lainnya, tanpa "si jahanam". Gila atau schizophrenia bukanlah suatu penyakit tetapi suatu perilaku. Penjelasan mengapa doi memilih gila cukup panjang lebar dan bila Anda berminat, Anda dapat membeli dan membaca buku-buku Glasser. Yang saya masih ingat, dalam bukunya Reality Therapy Glasser secara rinci mengetengahkan kasus pasien- pasien psychotic maupun juvenille delinquent yang dirawat oleh doi. Intinya menurut Glasser, mereka menghindari tanggung-jawab dengan menjadi gila seperti itu. Itu juga suatu cara efektif agar manusia lainnya membantu kita yang sudah sinting.

Hampir semua client yang datang ke konseling yakin bahwa persoalan yang dihadapi mereka disebabkan karena masa lalu. Agar mereka dapat sembuh atau keluar dari persoalan, mereka merasa perlu dilakukan analisis habis-habisan akan latar-belakang ataupun sejarah hidup mereka. Mitos 'common sense psychology' ini tentu dianggap salah oleh Glasser. Ia membenarkan bahwa kita adalah produk dari masa lalu kita, tetapi adalah salah kalau kita berpendapat sang masa lalu dapat diubah. Banyak terapis sampai sekarang bermetoda bahwa untuk bisa oke lagi, kita harus mengerti akan sejarah masa lalu si client dan kecuali kita menyelaminya, kita tak bisa menolongnya. Untung saja di Paroki-Sby ataupun setahuku di milis Psikologi ini, tidak ada sepikiater kondang seperti dahulu "kolegaku" di P-Net. Bung Albert Maramis yang buku sepiakiatrinya selemari :-) sebab doi bisa mencak-mencak. :-)

Apa yang dimaksudkan Glasser, bila kita mempunyai masa lalu yang menyedihkan, misalnya kita di-abuse atau dilecehkan sewaktu kita kecil, hal itu sudah terjadi dan tidak dapat diubah. Apakah itu salah orang lain atau salah kita, peduli wae, tidak ada bedanya karena hal itu sudah tidak bisa dihapuskan. Karena hanyalah perilaku kita yang mampu kita kontrol, apa yang dapat kita lakukan adalah mengubah perilaku saat kini sehingga hubungan kita dengan orang-orang yang kita butuhkan menjadi oke lagi. Memang Glasser menyadari, bila kita pernah diembat manusia di masa silam, kita dapat tumbuh menjadi orang yang selalu penuh kecurigaan. Hal ini akan terus berlangsung seumur hidup, sampai kita percaya lagi masih ada manusia sebaik Mother Teresa. Kalau Anda tidak percaya kepada manusia, bagaimana si manusia akan bersikap oke kepada Anda? Kalau sebaliknya, kitalah yang pernah menyiksa orang lain, reputasi kita akan menjadi seperti cing Harto. Kita tidak dapat mengubah apa yang sudah terjadi tetapi bila kita ingin nama kita menjadi oke kembali, kita dapat meminta maaf dan mengembalikan uang rakyat yang sudah kita kantongin.

Nah prens sadayana, Anda menangkap semua RT yang saya dongengkan di atas kan? Sekali lagi, seorang terapis RT tidak boleh ikut hanyut bersama masa lalu sang client tetapi doi harus mampu memfokuskan ke arah apa yang si client mampu lakukan. Gejala atau symptom dari persoalannya perlu dicuekkan sebab hal itu hanya berakibat membungkus si client di dalam situasi 'non-reality'. Symptom atau akibat dari tindakan si client yang begok dengan sendirinya akan menjadi oke setelah ia mampu untuk melakukan tindakan yang lebih efektif. Di dalam hanya beberapa pertemuan atau session konseling, sang client sudah akan keluar dari depresinya.

Home Next Previous