Kemarin dulu saya terkilir ketika bermain badminton. Saya mengejar bola atau kok di belakang kiri dan keceklek kakiku karena salah langkah. Terdengar bunyi cekrek, tanda otot yang senteres. Tentu saja hal itu bukan karena usia Bang Jeha yang sudah gaek tetapi karena kurang pemanasan sebab itu partaiku yang pertama. Bisa juga kusalahkan sepatuku karena tidak ada side-protection seperti hiking boots-ku. Karena menyandang nama Indonesia (ada yang merasa tersindir :-)), saya masih bermain beberapa set lagi sambil terpincang-pincang dan menahan sakit. Keesokan harinya, ketika kulihat mata kaki kiriku, bengkak sebesar bola bekel ukuran bapa dari warung encek yang habis direndam di minyak tanah :-). Tadi pagi, ketika mulai mengenjot, masih belum kempes. Tetapi untunglah otot tungkai tidak diperlukan untuk mengenjot sepeda. Jadi kumulai melamunkan hal-hal yang sedang terjadi di dalam hidupku.
Seorang warga milis dimana daku ngerumpi memang merasa senteres dan prihatin karena negeri kebanggaannya sedang terpuruk dan tak ada satu manusiapun yang tahu, termasuk jin botolnya wan Nawi, kapan akan okenya. Kukatakan, jangan berbangga akan negara atau kelompok juga sedulur. Kalau mau berbangga juga, akan diri dewek saja, tentunya kalau memang patut ada yang dibanggakan dari dirimu :-), misalnya berhasil menulis LB sampai ke 101 :-). Seriusan, sering kebanggaan bertetangga dengan kesombongan, hanya selama kita yakin bahwa tanpa Oom Han kita bukanlah apa-apa, yang bilang kita sok akan lebih sedikit :-). "Mas, mengapa tidak boleh berbangga akan prestasi anak kita?," tanya ente yang anaknya lulus cum laude dari Stanford University kepadaku. Oke saja kalau ente mau bertepuk dada bahwa itu jasa ente sebagai nyokap atau bokap si anak tetapi menurutku tidak adil. Banyak ortu begok yang kukenal dengan anak yang prestasinya hesbats, tak kekurangan ortu oke punya yang anaknya ancur-ancuran prestasinya di sekolah maupun di masyarakat. "Why?," tanya Anda. Karena pendidikan seorang anak hanya sebagian kecil dipengaruhi atau dilakukan ortu dan di dalam waktu yang relatif singkat. Sebagian besar hasil atau prestasi di dalam hidupnya adalah karena usaha yang bersangkutan. Begitu pula bila sampai ia meleset alias jadi sampah masyarakat, sedikit banyak ia yang seharusnya bertanggung-jawab akan pilihannya.
Banyak sekali ortu yang kukenal yang tadinya bangga akan anaknya, menjadi THP kelas berat. Bagaimana tidak, seluruh tumpuan hidupnya, mungkin cita-citanya agar di hari tua mendapat anak propesor doktor dan menantu doktor insinyur amblas dalam sekejap. "In just one summer, my daughter ran away," kata seseorang, "in just a few weeks, my son was gone astray," kata yang lainnya. Itulah sebabnya kunasihati untuk Anda tidak usah bangga dengan orang lain kecuali diri dewek. "Bang Jeha, masa ga bole bangga ama milis Serviam?," tanya anak Toruntung yang 'love and belonging needs'-nya gede banget. Selama semua kebanggaanmu bertumpu pada manusia yang imperfect, sedikit banyak dikau akan kecewa. Itu sebabnya saya berkata engga usah bangga-banggaan terhadap negara, bangsa, kelompok dan anggota keluarga sebab sering dikau menjadi dikecewakan. Di dalam keadaan ekstrim, dimana harapan atau kebanggaanmu bak rumah yang dibangun di atas pasir dan disapu air, amblas lenyap, maka dikau bisa-bisa akan bermusuhan dengan Oom Han. "Mom, why did you never go to church anymore?," tanya seorang anak ke ibunya. "Because I have a kid like you." :-( Salahnya Tuhan yang telah mengaruniai anak seperti itu.
Mobil mulai kulihat antri menjelang perempatan Sheppard Avenue. Tak bisa tidak saya harus ke tengah atau mengenjot di antara barisan mobil-mobil. Untuk anak Indo terlebih pengemudi motor, hal ini biasa saja atau sudah "makanan" sehari-hari, nyelap nyelip di antara mobil. Namun karena saya satu-satunya pengemudi sepeda pada saat itu, disitu, tetaplah tidak senyaman dengan kalau nyelap-nyelipnya di Jakarta :-). Itulah namanya pengaruh lingkungan. Bang Jeha anak bergajulan (duluuu :-)) tidak comfortable lagi naik sepeda gaya koboi seperti waktu di Jakarta. Coba saya tidak pernah memiliki ilmu nyelap-nyelip seperti itu. Saya akan dengan sabar antri di belakang mobil sesuai aturan. Kembali ke ortu atau mereka yang kecewa karena sumber atau harapan kebanggaannya hilang. Mereka yang tidak pernah merasai kasih-Nya di dalam bentuk yang lain, yang tidak berasal dari sumber atau calon kebanggaannya, memang akan seperti kapal yang harus berlayar di tengah-tengah tonjolan karang tanpa diterangi oleh mercu suar. Hanyalah soal waktu sang kapal akan kandas, bila ia tetap tidak mencari terangnya Sang Mercu Suar. Semoga Anda semua tak akan pernah mengalaminya, karena lamunanku harus kuselesaikan berhubung tikungan ke kantorku sudah terlihat. Sampai jumpa, salam dari Toronto.