Kisah THP seorang perempuan Tionghoa WNA yang baru saja mencangkul di tanah airku memicu awal lamunanku di pagi ini. Ia masih kinyis, baru 23 tahun umurnya dan datang untuk bekerja selama 3 bulan sebagai juragan suatu biro iklan lokal. Bukan saja ia THP, ia depresi banget dan merasa ditolak oleh seluruh negari (total rejection of the whole country), padahal ia cuma di Betawi. Apa yang terjadi? Ia ditakut-takuti dan hidup serba ketakutan. Dari kisah di email yang ditulisnya, tidak disebutnya satupun peristiwa gila atau traumatis yang sempat ia alami. Ketakutan dan depresinya terjadi hanya karena ia bergaul dengan orang-orang yang senteres. Memang mudah sekali menularkan ketakutan. Itu juga yang terjadi di Toronto, yang membuat terpisahnya satu paguyuban Melayu di kotaku. Hanya bermodal cerita "tidak senonoh" yang hanya mengandung setengah kebenaran atau dugaan belaka, orang mampu untuk ditakuti. Dalam komentarku di milis itu, kukatakan, sayang ia mendasarkan ketidak-nyamanannya tinggal di Indonesia hanya berdasarkan informasi yang sempit. Ya, itulah memang segi tidak oke dari kehidupan, "a fact of life" kata Anda.
Suatu iklan yang dipejeng di bangku-bangku beton sepanjang jalan Don Mills Road menerpa mataku. "Who is she?", bunyi kalimat pertama disamping foto seorang perempuan Asia yang lumejen sekhalei tampangnya. Christie Trang, age 22, salary 65K+. Hesbats. Dari penampilan si Christie yang sambil tersenyum sedang memangku laptop bikinan comberanku yang memang oke punya :-), sudah kuduga bahwa ini iklan sekolahan komputer. Betul saja. Ditampilkan URL dari situs Web mereka: www.ccbc.ca. Aku menjadi teringat akan Anda-anda yang lewat japri maupun telepon pribadi suka meminta advisku mengenai pekerjaan atau sekolahan. Karir memang nasib-nasiban prens. Lulusan sekolah "gurem" kaya CCBC azha udah bisa dapet 65K, anak bungsuku lulusan sekolah yang cukup terkenal, tetap wae masih belum mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan studinya. "Gimana usahanya Bang Jeha?," tanya Anda. Could be better. Memang ia ga ngotot banget cari kerjanya. Mungkin ia bercita-cita dapet bini kaya si Christie :-). Persistence is the name of the game. Kemarin saya mendapat email dari keponakanku di Amrik yang mengabarkan dengan sedih bahwa ia tidak bisa lulus bulan ini, tapi harus menunggu sampai Desember karena ada satu mata pelajaran yang jebol. Kukatakan, it is only a matter of time. Ia masih jauh lebih muda dari saudara sepupunya yang baru jadi 'graduate' kemarin :-). Selama kita tidak menyerah, kegagalan hanyalah batu loncatan ke sebelah belakang. Barusan kukatakan ke Mas Setiarso di P-Sby bahwa di LB ini aku akan menanggapinya karena ia suka berkwatir di dalam "ilmu mendidik anak". Karena ulah anakku yang sulung Mase, aku menjadi pemerhati sepikologi secara serius. Ketika ia sedang bego-begonya, kukatakan kepadanya, "I will not give up on you." Itu sudah menjadi tekadku. Kutahu bahwa masih banyak harapan di dalam dirinya. Dengan modal tekad dan prinsip seperti itu, kita lalu akan merasa lebih mantep di dalam menjalankan tindakan-tindakan kita. Di dalam keadaan krisis, kita perlu menjadi ahli di dalam prioritas. Tidak mungkin lagi semua semua mau kita lakukan dan kita berhasil mencapai sukses yang besar. Disini letak kuncinya apakah kita akan oke atau amblas bila dilanda krisis. Satu contoh pengambilan prioritas yang mudah adalah sbb.
Seorang teman cewekku di kantor melapor bahwa akhir pekan lalu ia baru saja bersepeda. Cukup bangga ia bercerita. Secara iseng kutanya, "Did you get a new bike?" sebab ia sangat antusias. "No, the same bike that I bought at the department store." Soalnya ia pernah kudongengkan bahwa sepeda yang dibeli di toko khusus sepeda, jauh lebih asyik digenjotnya daripada sepeda toserba. "How often do you plan to ride?" "Not much," katanya. "Maybe it's not worth it then to buy a new bike at the bike shop. Just use your old one. You will not be riding thousand and thousand of kilometers, right?" Ia manggut. "Then you can give the 500 dollars money for my Ride for Heart" :-). Ia memang salah seorang sponsorku di dalam mencari dana itu. Itu namanya prioritas, tidak terlalu perlu sepeda mahal dan enak karena cuma sebulan sekali naik sepeda keliling rumah, ngapain buang-buang duit.
Satu contoh lagi. Suhu cukup terik hari ini, sekitar 24C ketika saya cabut dari kantor ke rumah. Baju khusus bersepedaku kupakai. Seorang warga P-Sby belum lama ini bertanya, gimana baju yang dipakai seperti lepet itu bisa enak dan engga bikin keringatan. Disitu letak kuncinya. Karena ia menempel ke kulit kita, sang keringat langsung diuapkannya karena bahannya khusus (lycra). Akibatnya meski ngos-ngosan kepanasan, saya tetap tidak bersimbah-peluh alias asyik-asyik saja. Kalau Anda hanya bersepeda sekeliling taman memang tidak perlu bermodal baju sampai seharga 50 $. Kaus golkar yang gratis pun sudah oke :-). Prioritas lagi namanya.
Jalanan mulai menanjak menjelang jembatan 401. Kulirik kecepatan rata-rataku sejak mulai, 18 km/jam. Suatu icon berbentuk panah di sebelah angka kecepatan menunjuk ke bawah, artinya kecepatanku di bawah kecepatan rata-rata. Hesbat memang bike computer tsb, ga percuma kubeli kemahalan 7 $ karena kesusu :-). Speedometer menunjukkan 14 km/jam. Jalanan semakin mendaki dan angka itu semakin mengecil. Dengan was-was kucheck apakah kecepatan rata-rataku akan anjlok turun. Semenit berikutnya, pada saat 'updating time' ia menunjukkan 17.9. Pinter sekhalei, ia mengambil sampling sejak awal. Karena selama ini daku terus melaju alias persistent di dalam berkecepatan tinggi, penurunan di jembatan 401 itu tidak mengakibatkan ia merosot anjlok. Itulah juga hasil kehidupan kita, bila kita lebih sering oke dan tetap persistent di dalam berusaha. Set back atau kemunduran sesaat tidak akan mempengaruhi "kecepatan rata-rata" kita. Semoga keponakanku tetap bersemangat hingga ia dapat lulus di bulan Desember nanti. Semoga Anda-anda juga dapat berprioritas di dalam kehidupan dan oke "angka rata-ratamu". Sekian lamunan kali ini, sampai jumpa di tayangan LB berikutnya, bai bai lam lekom.