Gile, 30C kata radio ramalan cuaca sebelum saya mengenjot pulang tadi sore. Sebentar saja, karena memang banyak tanjakan di awal trayekku, keringat sudah mengalir. Sampai kupakai handuk kecil untuk melap keringat yang membasahi seluruh wajahku dari waktu ke waktu. Saya menjadi teringat asyiknya main badminton di Senayan di bulan Januari lalu. Ya, bersama beberapa temanku dari ibeem kulub, saya sempat berlarian di suhu yang sedikitnya 30C. Betapa tidak, dua baju kaus dan handuk kecil yang kubawa, basah kuyup sampai saya harus membeli satu baju baru di tukang jualan cem-macem di pinggir lapangan. Melamun memang mengasyikkan, apalagi sambil mengenjot sepeda dan melihat pemandangan sepinggir jalan.
Gile lagi, bensin sudah menjadi 72.5 sen padahal kemarin masih 67.5 sen ketika saya mengisi sepenuh-penuhnya tangki bensin mobilku. Saya menjadi teringat berita di koran Kompas yang mengabarkan tidak jadinya Pertamina menaikkan harga bensin. Para wartawan sempat bingung, bagaimana sih orang- orang bermobil mewah, mau-maunya antri berjam-jam, hanya untuk bisa membeli bensin dengan harga lama. Mereka hitung-hitung, dengan kapasitas tangki sang bo'il dan selisih harga lama serta baru, paling-paling "untungnya" cuma Rp 20 ribuan. Tidak masuk di akal kata mereka. Lain halnya dengan tukang ojek dan mikrolet. Untuk mereka, uang segitu berarti. Para wartawan itu memang tidak menggeluti ilmu sepikologi. Untuk orang ber-BMW dan ber-Mercy, bukan "untung" 20 ribu yang penting, tetapi BERHASILNYA mereka berjuang berjam- jam MENGALAHKAN supir-supir mikrolet dan angkot, itu yang menjadi ukuran.
Seorang noni cantik manis tetapi umurnya bakalan pendek :-) sedang asyik ngelepus sambil menunggu bus. Saya teringat lagi berita koran Toronto Star hari ini. Dengan gaya bombastis a la Bang Jeha, sang wartawan menulis "City buying 160,000 smokes". Ketika kubaca ternyata kotapraja Toronto, tepatnya juragan hostel atau rumah penampungan warga 'homeless' meminta pemasukkan tender untuk pembelian 800 karton kali 10 pak rokok (kali 20 batang). Dihitung-hitung jatonya $ 28000 uang pajak kita yang bakal dibakar alias diberikan kepada para nicotine-addict yang terlalu kismin atau ga bisa membeli rokok lagi karena menjadi sakit. Memang otak pegawai gubernemen ini sering didengkul, bukan saja di Kampung Melayu tapi juga di Toronto. Kalau Anda pembayar pajak di kotaku geleng-geleng, masih belon apa-apa pren sebab mereka juga mempunyai dana buat beli alkohol :-(. Bukti lagi begonya hamba gubernemen dapat Anda baca di Kompas hari ini, bensin di Melayu jadi dinaikkan juga menjadi Rp 1450/liter. Masih jauh lebih murah dari 72.5/100 x Rp 7500 alias 5400 perak seliternya di Torontung. Jadi ente-ente yang mau imigrate ke Kanada, kalu bisa bawa bensin se-tanker :-), cukup buat sangu selama jadi pengacara.
Mong-ngomong pengacara, di jam makan siang kutanyai seorang temanku yang sedang ragu-ragu, mau pensiun engga, pensiun engga, padahal doi sudah 33 tahun mencangkul di comberan kami. "How is your Nortel stock doing?" "Bad," katanya. Saham perusahaan Kanada itu yang tadinya "anak emas" para investor, memang sedang anjlok terus. Koran hari ini mengabarkan 10 ribu pegawainya akan di-PHK lagi, membuat total korban sebanyak 30 ribu hanya untuk tahun ini. Tak heran bila nilai saham prenku anjlok banget, dari 125 $ per saham tahun lalu ia menjadi di bawah 10 $ hari ini. Tak heran ia masih berpikir terus apakah akan pensiun :-). Saya lalu menjadi teringat teman-teman kempinganku anak Ottawa. Banyak yang kerjanya di Nortel. Satu dua sudah pindah tetapi si J masih tetap bertahan. Semoga. Soalnya ia akan ikutan Bang Jeha kemping di bulan Juli dan Agustus. Kurang asyik kalau para peserta kemping banyak warga THP-nya sebab di depan api unggun, isi dongengan akan berupa gosip belaka :-).
Bis TTC segede alaihim mendadak stop ngejogrok di pinggiran jalan, di tempat yang tidak semestinya. Kulihat sang sopir setengah berlari masuk ke dalam warung kopi Coffee Time di McNicol Ave itu. Entah ia perlu menenggak caffeine atau kebelet, kemungkinan yang terakhir. Sambil kulewati, kulongok ada berapa penumpangnya. Cuma satu dua doang, pantes ia berani :-). Warung kopi itu dulunya bekas toko musik alias jualan CD. Bangkrut, tak salah lagi gara-gara Napster :-). Di atas "puing-puingnya" berdirilah warung kopi. Ga heran Romo Sandyawan, di dalam wawancaranya dengan majalah Catholic New Times di kotaku ini berharap agar gereja Katolik di Melayu bisa berfungsi sebagai gereja warung kopi :-). Kata doi: "We need a coffee-shop church in Indonesia, not a supermarket church with everything in order, not touching politics, keeping distance from poor people. In a coffee-shop church you can enter freely as a man of God, whether you have an identity card or not." Akur banget, itu sebabnya oom supir TTC bergegas masuk ke warung kopi sebab pasti ga diminta tanda pengenalnya seperti kalau kita masuk ke supermarket Costco atau Goro di Betawi dimana Bang Jeha disuruh melepaskan topinya. Lho? Ya, maklum negeri maling, setiap orang patut dicurigai, kalau-kalau bakal nyolong dan diumpetin di bawah topi :-). Sekarang saya dapat tersenyum melamunkan adegan topiku disuruh buka oleh si satpam, padahal waktu kejadian, aku gedeg banget dan sempat kusumpahin biar bangkrut azha entu Goro :-). Asyiknya melamun .... Sekian dulu dongeng hari ini, hep e nais wik en eperibodi, bai bai lam lekom.