Seperti sudah kujanjikan tadi ke warga milis Serviam, lamunanku pagi ini kumulai dengan topik atau pertanyaan istimewa ke diriku sendiri, apakah benar aku mencintai Indonesia. Apa buktinya, apa artinya mencintai suatu negara, love of a country. Kalau cinta kepada country music, itu sih dalam waktu semenit bisa dijawab dengan menjembrengkan lagu-lagu dan penyanyi country yang kita sayangi :-). Pagi ini kutayangkan Kiat Menghadapi Stress ke 28 yang sudah selesai kutulis sejak beberapa hari lalu. Kebetulan kuceritakan bahwa di kamar kantorku, kupasang peta Indonesia terbitan National Geographic tahun 96 alias masih baru. Apakah kecintaan kepada tanah air bisa diukur dari pemejengan peta sambil melamunkan tempat-tempat dimana kita tinggal dan berkelana disitu? Apakah kalau tiada benda simbolis atau kenangan yang kita pajang yang mewakili Indonesia lalu artinya kita sudah tidak mencintainya lagi? Apakah kalau kita melepaskan WNI kita dan menggondol paspor Kanada, kita sudah tidak mencintai Indonesia lagi?
Lihatlah, lebih banyak pertanyaan memang dari jawabannya. Satu berita dengan font segede alaihim menghias koran Toronto Sun di kotak jualan di jalanan. "Death of a giant," bunyi berita mengabarkan meninggalnya seorang pengarang kenamaan Kanada, Mordecai Richler. Satu pun bukunya belum pernah kubaca. Apakah lalu aku bohong dengan berkata "I love this country?" Bisakah kita sesumbar kita mencintai suatu negara, padahal tulisan-tulisan anak bangsanya, kesenian hasil kreasinya, tidak kita kenal, tak kita senangi? "Mas, cinta itu cem-macem dan tidak perlu seluas itu, senang gado-gado Boplo sudah cukup membuktikan kita cinta Gang Cemara, eh Indonesia," kata Anda yang senang makan doang :-). I don't think so. Menurutku, semakin kita mengenal suatu negara, melalui segala yang dihasilkan oleh anak bangsanya, termasuk tentunya bahasa yang dipakai, semakin kita dapat berkata, indeed I love this country.
Beberapa di antara pembaca tulisanku, tidak suka aku memakai bahasa Betawi, bahasa ibuku yang asli. Firman Muntaco penulis di Berita Minggu eraku sudah tidak menulis lagi memakai bahasa Betawi, jadi kalau bukan Bang Jeha yang sesekali mempopulerkan menghidupkan istilah Betawi, bahasa itu memang akan punah seperti banyak bahasa suku Indian di Kanada ini. Beberapa warga milis Serviam membuktikan kecintaannya kepada Indonesia dengan tetap masih berbahasa Melayu dan berniat bertekad akan mengajarkan anak Kanadanya bahasa "kampungan" Melayu :-). Kukatakan demikian sebab bila Anda mendengar tutur sapa kedua anakku bila mereka sedang "berbahasa Indonesia" Anda mungkin akan berkata "kampungan banget yach" :-). Tidak penting memang sebab mereka masih mau memakai bahasa 'Mom and Pop'nya, panggilan mereka kepada kami. Adalah suatu ukuran menurutku, mereka yang sudah jijik berbicara di dalam suatu bahasa seperti kubaca sesekali (karena mengalami trauma) sudah kehilangan cinta kepada eks-bangsa pemakai sang bahasa.
Kutidak-tahu apakah Anda memakai paspor RI Anda untuk mengganjel kaki meja :-) atau tetap disimpan dijadikan kenangan seperti daku. Di paspor itulah tertera banyak stempel kenang-kenangan, perjalananku melanglang buana maupun ketika berbulan madu bersama Srikandiku :-). Apakah kegedegan dan kesebelan kita akan paspor RI menandakan kita sudah tidak cinta kepada Indonesia? Belum tentu. Banyak sekali temanku warga THP akibat perbuatan dan "kebijaksanaan" pemerintah cing Harto, kutahu meski mereka sudah menjadi WN Kanada, mereka masih mencintai tanah airnya. Tanah tumpah darah ibunya di seperei rumah sakit ketika melahirkannya :-), tanah tempat darah bercucuran ketika kepala bocor berkelahi lawan anak kampung :-). "Buktinya apa Mas?," tanya Anda lagi. Banyak sekhalei prens. Bukan saja membicarakan keindahan kampung halaman merupakan topik yang tidak membosankan bersama mereka, terlebih, mereka masih peduli akan insan yang tinggal sekampung dulunya. Buktinya lagi, bila Bang Jeha mengedarkan kupiah minta saweran, baik bagi para pengungsi Maluku maupun di Madura, ia tidak disuruh minta ke Bu Tin azha :-). That tells me they, you, still care of our old country. Biarlah yang menjadi bangsat di mata Anda sekelompok kelik dan rezim doang, semoga Anda tidak THP kepada SELURUH ANAK NEGERI. Saya memang beruntung karena ke-THP-an saya hanya sedikit dan saya sungguh kagum kepada Anda yang mengalami peristiwa traumatis di dalam hidupmu, hanya karena matamu sipit dan kulitmu kuning, namun telah mampu MEMAAFKAN mereka "yang tidak tahu apa yang diperbuatnya". Sebetulnya lagi, hal itu adalah untuk KEBAIKANMU sendiri. Apa gunanya menyimpan dendam dan sakit hati. Salah-salah dikau terkena serangan penyakit karena manusia yang hidupnya senteres, daya tahan tubuhnya lebih lemah dibandingkan dengan yang hepi berpaspor RI kaya Anda-anda :-).
Oom Polisi penjaga lalulintas sewaan comberanku, menyemprit menyetop mobil di jalanan agar para pegawai Celestica yang mau pulang habis lembur dapat keluar dan masuk ke jalanan menuju Don Valley Parkway. Lamunanku perlu distop juga. "Jadi Bang Jeha, ente sayang engga kepada Indonesial?," tanya Anda lagi. Gini prens, cinta terbesar yang dapat diberikan seseorang kepada kawannya adalah dirinya, hidupnya sendiri. Saya mencintai hidupku, I love life, kata anak Kanada. Cecilia bosku tahu dan kuulangi lagi, bila saja saya dapat menukar nyawaku sehingga Indonesia bisa seasyik Kanada, KURELA. Namun, sebelum ditembak atau diambil nyawaku, ketika aku ditanyakan, mau makan apa azha sebelum say good bye to this lovely earth, aku akan menjawab: sarsaparila alias root beer sebagai minumanku, mengenangkan hari-hari indah daku minum bersama babeku di kota Betawi. Greek salad sebagai appetizernya, mengenangkan betapa nyamannya hidup di kota yang tidak ada "Yunani lu!" :-). Gourmet pizza, makanan favoritku mengenangkan serba-serbinya Kanada maupun Indonesia. "Apa dessert-nya?," tanya sipir yang akan mengeksekusikan daku, tukar nyawa agar Indonesia bisa seaman Kanada. Java coffee dengan boterletter alias kue Belanda yang hanya bisa dibeli menjelang Natal di Toronto ini :-). Yah, sebagai kenangan dan dukungan ekonomi produk Melayu maupun eks penjajah yang membuatku bisa sedikit-sedikit hollands spreeken :-). Jedor, amblaslah Bang Jeha dan Anda man-teman sedulurku di batang tidak perlu lagi menjadi imigran Toruntung, berjuang mengadu nasib di tanah perantauan ini. Sampai lamunan berikutnya, hidup WNI dan Canadian citizen :-). Bai bai lam lekom.