Lamunan Bersepeda Ke 120

Masih ingat tayangan LB ke 106-ku dimana saya mendongeng mengenai iklan CCBC, Canadian College of Business and Computer yang kulihat di bangku dekat beberapa perhentian bis sepanjang Don Mills Rd.? Ya, di iklan itu ditulis a.l. umur si Christie Trang, 22 tahun, gaji 65K+, deeste, pokoke hesbats. Nah, sekarang si Christie udah "berteman" alias ada 3 cewek lainnya yang mejeng bersama doi. Ga disebut satu persatu umur dan gajinya, ga cukup 'billboard' atau lahan buat sang iklan. Satu cewek di sebelahnya bernama Ria David dan kuduga anak produksi Melayu melihat tampangnya, mungkin kawin ama bulek kaya si Ivon. Satu lagi cewek Romania, dari namanya dan yang keempat atau anak Filipin atau imigran dari negeri berbahasa Spanyol, melihat namanya. Memang cewek dapat peluang banget, apalagi dari negeri "terbelakang", eh berkembang. Belum lama ini koran memuat berita yang cukup menggemparkan, yakni para "kuku garuda" alias pegawai pemerintah Kanada, kebanyakan masih 'mainstream' atau bule-bule. Dikritik habis-habisan bahwa isi pegawai pemerintah Kanada tidak mencerminkan atau merepresentasikan susunan etnis di masyarakat saat ini dan ada benarnya. Tidak heran prenku L dan S berminat untuk pindah ke Ottawa azha katanya :-). Sampai bertemu nanti di 'The Hill' atau kantor pemerintah lainnya :-).

Mong-ngomong peluang yang lebih besar bagi cewek, etnis alias non-bule, semalam saya membaca-baca buku jadwal olahraga kampung Scarborough-ku. Eh, ada lowongan kerja, badminton convenor, disamping beberapa lowongan lainnya. Anda yang tidak pernah bermain badminton di fasilitas pemerintah kota mungkin belum tahu apa itu tugas seorang convenor. Kerjanya engga terlalu susah, yakni membagi-bagi siapa berpasangan dengan siapa bermain di court yang mana. Lalu ia membagi waktu bermain selama 2 jam menjadi sekitar 6 session. Kalau partai atau set yang kami sedang mainkan belum selesai, ya sori wae, begitu si convenor nyemprit peluitnya, kami harus bubar. Lalu maju ke dekatnya dan melihat di tabelnya, sekarang Bang Jeha main di court yang mana berpasangan dengan siapa. Terkadang, kalau saya mau bermain dobel dengan Cecilia, saya minta kepada si Esther sang convenor, untuk memasangkan kami. Boleh KKN sedikit meski ini di Kanada :-). Nah, yang merupakan tantangan bagi si Esther adalah, rupanya ia mendapat kwota kok, badminton bird, yang di dalam satu season harus cukup. Akibatnya, pelitnya bukan main. Kok yang sudah geleyang-geleyong dipukulnya, tetep wae harus dipake. Mungkin dari beberapa puluh peserta, saya yang paling rewel minta diganti tetapi 50-50 ia tidak akan mengabulkan. Karena eks pemain PBSI :-), maka kalau kok-nya benar-benar sudah bego, saya bermodal sendiri alias mengambil punyaku. Kusimpan lagi bila ganti lapangan dan kok yang dipakai disitu masih bagus. Lah kok 2-3 $ satunya, hemat dong :-). Rupanya si Esther ga tahan diprotes terus ama Bang Jeha dan ia berhenti kerja sehingga terbuka peluang bagi Anda-anda yang mau ngelamar.

Masih ingat ceritaku kemarin bahwa mulai tgl 17 September route bersepeda saya akan terbalik, menuju ke utara kota Toronto? Akibat pindah-pindahan ini, bisa Anda duga, setiap hari di tempat pembuangan sampah di dekat kamarku, ada azha "harta karun" kolegaku yang dibuangin. Dari mulai cem-macem jenis keyboard dan printer, sampai ke hard-disk dan modem slowpoke, sampai ke buku-buku. Nah, mata saya hijau kalau melihat buku, sama kaya si Noordin kalu ngeliat kiong dan bekicot, ini pasti makanan enak :-). Tadi pagi saya dapet satu buku klasik, Principles of Compiler Design, karya Aho dan Ullman yang dulu cuma bisa kupinjam dari perpustakaan kantor. Kulihat edisinya, 1979 tapi bukunya masih mulus sekhalei. Yang menarik adalah halamannya penuh dengan 'highlighter' sampai dengan Chapter 5, Basic Parsing Technique. Entah apakah sang pemilik buku jadi THP sesudah ia menyimak parsing, yakni teknik di dalam compiler untuk mempersiapkan program yang diprosesnya dari bahasa programming menjadi semakin dekat ke bahasa yang dikenal oleh mesin. Ataukah ia seperti para kwalat yang mau mendirikan menara Babilon agar bisa menuju Tuhan dan berakibat tidak bisa saling mengerti lagi bahasa apa yang dipakai oleh para koleganya? Tidak kuketahui siapa si pemilik buku karena tak ada namanya dan apakah ia bosen membaca buku compiler itu, kujadi teringat kepada temanku yang beberapa hari lalu menjadi THP kelas berat.

Bagaimana tidak THP heavy-weight bila anakmu dibui, dipenjara? Why? Ketangkep basah polisi, ada di rumah temannya yang jadi pengedar narkoba, disamping itu juga memiliki senjata api. Apakah doi pengedar juga? Sudah kami duga sebab temanku suka curhat tapi tidak tega untuk mengusir anaknya, maklum seorang ibu. Kemane babenye? Sang babe udah jadi kaya zombie, tidak mampu mengambil sikap lagi, cuek, dan maunya sang anak diusir azha, sang ibu tetap berprinsip no-way-jose (bacanya no wei hosei). Bukan saja ia yang tak bisa tidur, saya jadi solider memikirkan "nasibnya". Apakah kalau si anak ia usir lalu doi akan insap? Ataukah akan semakin masuk ke jurang yang lebih dalam, narkobais, pengedar, pembunuh mungkin? Walahualam, setiap anak nasibnya pun berlainan. Lalu saya melamun lagi, apa pula kebisaanku, sambil mengenjot sepeda di hari ini sehubungan dengan judul berita utama Life Section Toronto Star. 'No Place Like Home' bunyi judulnya dan awal artikelnya memuat 'Ambrose Li is a single 32-year-old man who lives at home with Mom and Dad. In his family, this makes him a dutiful son. But in some other families, it would bring into doubt his virility' (kejantanannya).

Kedua anakku pun masih tinggal serumah. Biasa untuk anak-anak atau ortu Asia, sedikit aneh untuk ukuran Kanada bila ia sudah 30-an keatas, bekerja alias mempunyai nafkah, apalagi bila sudah berkeluarga. Karena Bang Jeha masih belum pensiun, dan kedua anakku memang ndablek alias ga mau membantu memperingan ongkos rutang, kubiarkan saja. "Giving a small contribution is actually for your own good," kataku beberapa kali kepada Alfa sebab gajinya termasuk lebih lumejen dibanding adiknya. Karena ia belum bisa melihat apa "good" atau untungnya, tetap saja ia masih tinggal di hotel perdeonya. Kukontraskan dengan "hotel perdeo" dimana anak temanku sedang ngeringkuk. Masih lebih untung nasibku. Tapi apa iya? Diskusi di milis Serviam mengenai lebih mencerahkan nantinya, iman dimana kita dijungkir-balikkan dulu memicu lagi lamunanku. Sama seperti canoeing tanpa harus menggotong kanu atau melakukan portage, lenggang kangkung sampai ke tujuan, akan berlainan kepuasannya dengan yang ditempuh melewati puluhan portage. "Saya memilih yang asyik azha Mas, tanpa mesti bersusah-payah." Terkadang pilihan itu tersedia, terkadang sukar atau mustahil seperti temanku yang berkata, "It is rough," ketika kutanya bagaimana melewati hari-harinya dengan anak di dalam sel penjara :-(. Sampai lamunan berikutnya, salam dari Toronto.

Home Next Previous