"Terus apa udahan Yang?," tanyaku kepada isteriku sehabis kami bolak-balik bersepeda dari ujung Taylor Creek Park di Don Mills sampai ke Dawes Road. Soalnya hujan gerimis mulai datang. Dibekali pengalaman mencari susah di akhir pekan Thanksgiving, hujan salju di suhu minus, hujan air di suhu sekitar 15C memang tak ada artinya :-) hingga ia mengatakan, "Terus." Hari ini memang tidak ideal untuk bersepeda, tetapi masih sangat asyik bila dibandingkan bersepeda di atas salju atau es. Ketika Bebeth terakhir bertanya kepadaku, "Naik sepeda sampai kapan Oom?", maksudnya kapan stopnya menjelang winter ini, kukatakan selama jalanan belum bersalju, saya tetap bersepeda.
"The splendour is over," kataku ke Cecilia dan kepada diri sendiri juga, melihat pemandangan pohon di sekitar Taylor Creek Park. Kalau Anda cuma mau jalan kaki, taman yang dapat dicapai dengan bermobil dari DVP southbound, exit di Don Mills Road north, adalah salah satu yang terindah di musim rontok di kota Toronto ini. Sebagian besar sudah rontok, yang tersisa tidak banyak lagi variasi warna-warninya. Memang juga pemandangan musim rontok tahun ini, 'no thanks' kepada musim panas yang kering banget, kurang aduhai. Jelas kadar gula di daun-daun pohon maple yang membuat semarak warna-warni mereka, berkurang jauh. Meskipun pemandangan antara kota Minden dan Dorset cukup indah, seperti kusyer di dalam dongengan kempingku terakhir, it was not really really ablazed. Untuk si Bebeth yang pertama kalinya melewati jalanan Highway 35 itu, memang oke punya :-).
Belum lama kami mulai menjalani route di atas, seseorang ber-walkie-talkie menasihati kami untuk awas-awas. Katanya, "There will be cross country runners coming your way in 7 minutes." "Is it a charity drive?," tanyaku karena kog kutidak-tahu :-). "No, it is just a race." Belakangan, ketika kami sedang stop kencing di washroom yang hari ini terakhir dibuka untuk umum (dan ditutup sampai winter berakhir), lewatlah rombongan pelari itu. Menarik memperhatikan cewek-cowok yang berlomba di cross country 5km tersebut. Yang paling depan, potongan tubuhnya ramping-ramping, larinya elegant sekali termasuk yang sudah gaek. Otot pahanya tidak kalah dari tukang beca prenku di Betawi Bang Asan :-). Yang membuatku kagum adalah melihat para opa yang kuduga sudah berumur 60 70-an masih kuat berlari dan ada di barisan depan. Bukan saja practices make perfect, endurance and persistence pays off. Sambil meneruskan enjotan sepedaku, kumelamun sampai kapan aku mampu untuk bersepeda. Konon, kendala mereka yang sudah tua untuk bersepeda adalah soal keseimbangan. Wong jalan saja ada risiko jatuh karena sempoyongan, apalagi naik sepeda. Suatu ketika kubertanya kepada isteriku, "Menurutmu, sampai umur berapa kita kuat mendayung kanu dan portaging?" Jawabnya cukup membuat hati oke, "Kurasa sampai 70-an kita masih kuat." :-) Tidak mustahil sih meski sejauh ini belum ada contoh anak 'made in Batavia' atau produksi Pekalongan yang kami jumpai berkanu seusia itu :-). Almarhum Pierre Trudeau kami memang tahu masih suka canoeing sampai tidak lama sebelum ia meninggal.
Seseorang dengan 'rollerblade' meluncur kencang dari suatu persimpangan jalan dan mendahului kami. Ia memakai dua buah tongkat yang mirip dengan 'ski pole' sehingga roller-blading atau inline skating-nya menjadi laju banget. Kujadi teringat kemarin interaksiku dengan Cak Indratmo mengenai risiko programmer terkena RSI, Repetitive Strain Injury. Bila anak muda itu seorang programmer kuyakin sampai umur 70 pun bila ia masih di depan komputer, ia tidak akan terkena RSI :-). Selain kakinya terlatih, kedua tangannya bekerja berat menyodok menekan sang tongkat ke belakang. Tak heran comberanku sekarang memodali 'fitness centre' lengkap dengan segala macam mesin untuk melatih cem-macem otot. Sayang kelab kebugaran itu tidak terbuka untuk para isteri maupun suami pegawai, lebih sayang lagi, pensiunan juga engga boleh :-).
"Kamu mau sampai kemana?," tanya Cecilia di trail sepanjang Don River. "Terserah, semaumu," kataku. Hari Minggu adalah hari berekreasi, hari untuk mengagumi-Nya :-). Masa bodoh kerjaan di comberanku sudah menumpuk, sedemikian sehingga hari Jum'at kemarin juraganku masuk ke dalam "bedengku" alias kamar-kamaran di kantorku yang sekarang. "Jusni, you can work overtime as much as you need, I already got the approval for you to work overtime for this project," katanya. Memang pengaturan jumlah jam kerja lembur di comberan kami ketat sekali karena tidak ada manager yang mau masuk bui bila pegawainya ketangkep melanggar peraturan jam kerja maksimum. Mengetahui sebentar lagi saya akan memasukkan surat permohonan pensiun :-), ia memberikan aku proyek istimewa yang harus dikebut siang malam. Baru Senin esok saya akan mulai memikirkan atau merencanakannya :-). "Don't you worry about my overtime," kataku tanpa melanjutkan kalimat itu dengan, "I will try not to" :-).
Lamunanku beralih kepada temanku yang kisahnya secara anonim pernah kumuat di dalam serial THP-ku. Siang malam pagi sore ia bekerja untuk kumpeni kami dan ketika ia mau di-PHK, ia menjadi THP kelas berat. Ia tidak dapat menerima perlakuan perusahaan terhadap pegawai mahasetia seperti dirinya. Kalau saja kutidak-nasihati dia, ia sudah men-sue atau memperkarakan comberan kami. Hidupnya sudah tidak terlalu kebelangsak. Anaknya yang paling tua sudah lulus sekolah dan mulai membantu nafkah keluarganya. Terakhir kubercakap-cakap dengannya ketika melaporkan kantorku pindah, nomor teleponku ganti, hingga bila ia membutuhkan 'claim form' untuk pengobatan kesehatan, ia tetap bisa menghubungiku. Ya, ia hidup dari disability insurance yang tibang pas. Suatu diskusi di milis Psikologi akan tayangan ulangku Reality Therapy membuatku merenung lagi. Seseorang mengatakan bahwa kita perlu memaafkan untuk menjadi oke kembali. Sayangnya tidak semua manusia bisa demikian dan bagi temanku di atas, sampai ia matipun ia tidak akan mau memaafkan. Itu sudah kuyakini. Ia memilih hidup 'disabled' dan membenci musuh-musuhnya daripada memaafkan. Sayang. Semoga Anda mempunyai pilihan lain bila suatu ketika menjadi THP karena perilaku manusia terhadapmu.
Kami sudah sampai ke ujung Pottery Road. Pemandangan terindah di Don River Trail adalah sampai ke jalan itu. Wan Kohan anak Arab tukang sosis disitu tidak berdagang hari ini. Panjang juga akalnya :-). Siapa yang mau beli hotdog, siapa yang mau keluar rumah bersepeda di hari yang hujan ini kecuali beberapa orgil :-). Cecilia sudah mau berbelanja darinya dan tidak jadi. "Balik deh," kata si bos dan ogut sih ikut wae :-). Sepeda kugenjot balik dan kami meluncur pulang menuju parkiran mobil di awal trail. Sampai tayangan berikutnya dan doakan salju turun di Hari Natal saja bila Anda senang akan serial ini. Bai bai lam lekom.