Bulan Desember masih dapat bersepeda dengan nyaman di Toronto, memang hampir tidak pernah atau jarang sekali. Oleh karena itu, ketika kuberikan pilihan kepada Cecilia apakah ia lebih mau berenang atau bersepeda hari ini, jelas banget pilihannya. Memang suhu di sore hari sekitar 6C masih termasuk hangat bagi kami, warga negeri kutub utara. Moga-moga bulan Desember ini akan sama hangatnya dengan Nopember lalu, yang sudah memecahkan rekor bulan terhangat sepanjang sejarah, dengan suhu rata-rata 7.6 C. "Global warming," kata temanku bersepeda J di kantorku. Ia pun masih belum mengerek sepedanya ke atas garasinya, sama denganku yang belum menyimpan sepeda ke basement rumah kami.
Tujuan utama lamunan kali ini adalah melihat matahari terbenam di atas air danau Ontario, yang letaknya cukup jauh dari rumah kami, tidak seperti dari rumahku di Gang Tepekong ke Pantai Ancol tinggal nyemplak sepeda 10 menitan. Sambil mulai mengenjot sepanjang trail yang relatif baru, dari Cherry Beach menuju Tommy Thompson Park, saya membayangkan akan jadi apa daerah itu, kalau saja Toronto tidak dikalahkan Beijing ketika dilakukan "pertandingan" pemilihan kota tuan-nyonya rumah Olympiade 2008. Sekarang real-estate-nya menjadi tidak jelas masa depannya. Konon sih akan tetap dipugar. Yang pasti harga tanahnya tetap mahal dan kuteringat suatu lahan yang setiap bersepeda dari kantor kulewati. Suatu bekas kebun jagung di Steeles dan Warden Avenue. Besarnya tidak kalah dari lapangan sepakbola Persija dan kalau Anda seangkatan denganku, lapangan Ikada pun muat disitu. Artinya, paling sedikit 100 kali 100 meter persegi. Sampai satu dua tahun lalu, sang petani yang empunya dan tidak butuh duit, masih menanaminya dengan jagung. Hari-hari ini baru kulihat tanda 'for sale' di lahan itu. Kataku ke Cecilia setiap lewat dan melihat beberapa ratus pohon jagung disitu, "Pastilah ini jagung yang paling mahal di Kanada, kalau bukan sedunia." Berapa duit Anda beli jagung selusinnya di Toronto? Kalau Anda tahu dimana belinya, selusin dapet 2$. Katakan satunya 20 sen deh. Berapa harga tanah itu, 10 ribu meter persegi kali 1000 $ per m2. Berapa tuh, 10 juta dollar dan berapa bunga dari modal segitu selama 3 bulan masa tanam jagung. Ambil nilai bunga dari tahun-tahun lalu ketika belum sebego sekarang dan lahan masih berjagung. Kalau kuambil 8% setahun, mestinya tidak banyak yang protes alias 2% kali 10 juta $ nilai sang tanaman jagung. Dua ratus ribu dollar katakan dibagi 1000 jagung alias 200 $ per jagung :-). Ya, tidak seluruh lahan ditanami jagung soalnya, jadi kuduga paling ada 1000 jagung. Kalau Anda menganggap aku melebihkan di dalam mendongeng dan melamun, silahkan dikalikan angka 20, satu jagungnya masih 10 $ :-). Pokoke, jagung termahal di dunia ada di dekat rumahku. Setiap melamunkan nilai jagung itu, selalu kukatakan juga kepada Cecilia, "Inilah contoh petani yang tidak rakus akan uang dan masih tetap ngotot bercocok-tanam" :-). It is a very rare species of mankind. Nah, hari-hari ini teoriku salah, akhirnya tanah atau lahan itu mau dijual juga oleh sang petani yang butuh duit.
Jalanan sepanjang park si Tommy bukan Suharto tapi Thompson, emangnye :-), mulai kami lalui. Mulus sekali dan lurus. Disinilah isteriku belajar melepas tangan di dalam bersepedanya dan seperti suka kusyer, ia sudah jago sekali. Apalagi sepedanya juga asyik untuk dipakai lepas tangan, sangat stabil, tidak seperti sepedaku yang rada gemeteran sejak saya menabrakkannya. Kalau mobil, sepedaku itu sudah di-"total" alias di-write-off ketika tulang selangka saya amburadul jatuh bersamanya. Namun, dasar sepeda yang bandel, dengan modal 100 $, yang bengkak bengkok berhasil kuperbaiki tetapi ya itu, doi rada-rada gemeter kalau kulepas tanganku. Ga pa pa, yang penting masih bisa dienjot. Matahari semakin condong dan Cecilia yang kesengsem dengan sang batara surya sudah mulai melihatnya dari waktu ke waktu. "Memang kalau dilihatin terus, matahari itu kaya berputer deh, warnanya juga berubah-ubah dari biru ke ungu balik ke merah," katanya lagi, Ia berkata demikian karena teman-teminnya suka melihat matahari dansa-dansi di tempat-tempat yang dianggap keramat. Kataku setelah mencoba ikut melihatnya dan masih kesilauan,"Ati-ati lu, retinamu bisa amblas." Memang ada kasus kebutaan yang dialami satu dua pejiarah itu ketika ngotot melihat matahari yang kog engga dansa-dansa.
Trail sepanjang 5 km di dalam Tommy Thompson Park mulai menuju ke bagian ujung yakni jazirah di selatan kota Toronto yang paling menjorok ke danau. Manusia yang kami temui sudah semakin sedikit, bisa dihitung dengan jari. Kami melihat seorang yang masih memancing di pinggir suatu jembatan yang kami lalui. Ia pemancing sejati. Ia bela-belai harus berjalan kaki bolak-balik 10 km hanya untuk melempar dan menarik kailnya. "Did you catch any?," tanya Cecilia dan si doi menggeleng, pertanda ia termasuk kaum fanatikus pancingensis. Ya, ia pasti cinta akan hobinya, bisa melamun berjam-jam sendirian tanpa ditemani seorang pun. Ia tak butuh kawan maupun sedulur. Saya jadi teringat dua prenku di 'cyberspace' yang sedang THP karena silang-sengketa email. Main Internet memang berbahaya, sering-sering menulis tak kalah mencelakakannya. Sudah satu sedulurku yang karena kukirimi email embatan :-), eh :-(, sampai mati ia tidak mau bersalaman lagi denganku. Hari-hari ini saya baru sadar, bahwa saya dapat satu sedulur lagi yang sedang memusuhiku gara-gara apa yang kutulis, bukan untuknya tetapi untuk memberi dukungan kepada anaknya (yang memang rada-rada toxic untuknya). Karena "keisengannya" mencuri baca email sang anak pakai password malingan, suratku terbaca olehnya, yang antara lain mengatakan ia butuh konseling sepikologi. Amblaslah masa depanku untuk tetap menyebutnya 'my sister in law' :-(. Nasiibbb. Memang, lebih aman tidak menulis saja prens sadayana. Tidak akan pernah dibenci orang, apalagi dimusuhi sedulur. Namun apa daya, memang sudah jadi hobiku menulis, sama fanatiknya dengan si tukang pancing yang kami lihat tadi. Biarlah daku dimusuhi. Yang penting matahari tetap dengan indahnya terbenam di langit barat di atas permukaan air. Tidak apa-apa daku dibenci satu sedulurku saat ini. Yang penting langit di seputar matahari yang akan berpamitan semalaman, tetap dahsyat warna-warninya. Sukar untuk dapat melihat keindahan di setiap insan manusia, lebih mudah melihat dan mengagumi alam sahaja. Ombak yang menggelegar di ujung taman menyadarkanku, sudah waktunya untuk mulai mengenjot balik, pulang ke rumah ke peradaban lagi yang terkadang penuh manusia yang galak-galak. Bai bai lam lekom, sampai lamunan berikutnya.