Taman bernama Taylor Creek di kota Toronto ini mempunyai trail yang lumayan bagusnya dan kalau di awal musim rontok, aduhai indahnya. Hari ini saya dan nyonya bersepeda, antara lain kesitu sebab panjangnya cuma 3 km doang. Pohon-pohonnya hampir semua masih berwarna hijau, paling 5-10% perubahan warnanya. Sambil mengenjot sepeda kesayangan saya yang tidak patah meskipun tulang selangkaku pernah amblas bersama-samanya :-), saya mulai melamun.
Beberapa hari yang lalu, di suatu milis saya ditegur. Kata si penegur, kira-kira, janganlah memakai 'lam lekom' tapi assalam mu'alaikum. Maksudnya, "Elu kog seenak jidat elu mempermainkan kalimat sakral itu." Saya lalu menjawab bahwa saya tidak bisa berbahasa Arab. Di dalam bahasa Betawi, bahasa ibu saya (dan emak engkong saya), saya tahunya salam damai itu diucapkannya lam lekom. Syukurlah ia tidak memperpanjang "perkara" dan dapat menerima apa yang saya kemukakan. Hanya dari satu dua kalimat saja, sering karena tiadanya toleransi manusia memang bisa menjadi saling bersengketa dan lalu jadi THP, The Hurting People.
Tidak ada satu iota-pun maksud saya untuk mempermainkan, apalagi melecehkan iman kepercayaan orang lain. Hari Senin esok, saya akan mengikuti suatu konperensi seharian penuh berjudul "Understanding Islam" di University of Toronto, St. Michael College. Kata si Karen yang menerima pendaftaran saya, "We are delighted you are joining us." Jawab saya, "Thank you and I really look forward to be there." Bukan saja topiknya bagus-bagus, pembicaranya juga berbobot dan satu dua namanya orbek alias orang beken. Beberapa adalah pakar Islam dari lingkungan akademis di Kanada dan Amerika Serikat. Saya juga 'look forward' untuk hadir di acara terakhir, suatu diskusi meja bundar berjudul 'Christian-Muslim Relations -- Where Do We Go From Here'. Bagi Anda prenku sekota yang masih belum pensiun sehingga tidak berkesempatan hadir tapi berminat, saya pasti akan membawa kertas dan menulis catatanku.
Saya yakin konperensi esok hari akan mencerahkanku sebab saya akan berada di tengah-tengah manusia yang serba toleran, satu kepada yang lainnya. Sudah tak banyak lagi tempat di Indonesia, tanah air sahaya dimana orang masih toleran kepada sesamanya manusia meski iman atau agamanya berbeda. En toh saya tahu pasti masih ada. Seorang sahabat saya yang tinggal di suatu desa tak jauh dari Yogyakarta pernah mensyer bahwa warga sekampung, Katolik dan Islam masih saling bantu-membantu, kunjung-mengunjungi di hari Natal maupun Lebaran, tak bergeming akan adanya larangan dari sementara "pemimpin" mereka. Membaca syering prenku (yang Katolik) seperti itu, bak menerima tetesan embun di kala kita sedang dahaga. Kalau itu contoh satu perumpian di darat, contoh lain yang bisa saya kemukakan ada di cyberspace adalah milis Sanbima, tempat para prenku yang pernah secangkulan ketika di Indonesia, bercengkerama.
Anda di milis Sanbima tidak mendiskusikan ide yang hebat-hebat, tidak membicarakan peristiwa besar yang ada di koran-koran, tetapi mengetengahkan dan mensyer apa yang terjadi dengan para pren kita dari waktu ke waktu. Konon, kata seorang admiral A.L. Amrik, "Great minds discuss ideas, average minds discuss events, small minds discuss people." Biarlah kita dijuduli demikian oleh si Admiral dan para bolonya :-), namun saya sreg dan senang di milis Sanbima sebab saya tahu isinya adalah manusia yang saling bertoleransi dan menerima "otak-otak kerdil". Keep up the good work guys and gals. Kalau saya boleh mengutip Bang Paulus dari Tarsus :-) untuk mengakhiri lamunan hari ini, "Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing. Di milis manapun Anda ngerumpi, semoga itulah inti-sari perdiskusiannya. Bai bai lam lekom, wasalam mu'alaikum.