Lamunan Bersepeda I

Matahari di belahan bumi utara sini sudah semakin singkat "karyanya" karena ia perlahan-lahan sedang "menuju" tempat tinggal Yo Riono, Thres, Lani dan warga P-Net lainnya di Oz. Jadi kalau saya naik sepeda menuju kantor pagi-pagi jalanan masih gelap. Beberapa hari lalu saya ke toko sepeda langganan saya dan bertanya kepada salah satu pegawainya yang saya tahu aktif bersepeda juga, "Would you have a portable light that I can attach to my back or my backpack?" Ada, katanya dan ia memberikan saya strobe-light kecil yang memang portable. Katanya lagi, "This is the best and I am using it, I found the cars are passing me wider. They thought I am some sort of an emergency vehicle." Hemmm, benar juga teorinya, sejak saya memakai "kunang-kunang" era internet ini, memang mobil melewati saya lebih jauh padahal biasanya mereka hanya beberapa puluh senti saja dari setang sepeda saya. Sambil asyik mendayung saya lalu melamun. Dipicu oleh ide ayahnya Ira yang mengusulkan agar gereja dibuat tahan api, saya melamun bagaimana kalau dipasang strobe-light 1 Megawat di atas gereja agar calon perusuh menghindar sama seperti pengemudi mobil menghindar karena mereka sudah biasa "alergi" terhadap "emergency vehicle" :-). Ah lamunan picik. Perusuh itu kan bukannya seperti model di Amerika sini yang melakukannya secara diam-diam dan sembunyi namum terang-terangan (ya di siang hari) dan massal lagi.

Saya lalu teringat akan Romo Kunarwoko yang pernah bertamu ke rumah kami di Toronto. Karena belum kerasukan :-) net-netan waktu itu, saya mempunyai banyak waktu untuk ngobrol dengan beliau sampai larut malam. Yang saya masih ingat, ia "penganut" filsafat "lubang" yang mengatakan, manusia keluar dari lubang dan pada akhirnya akan masuk lagi ke dalam lubang, segala sesuatu yang menyangkut makhluk bernama manusia selalu dapat dikaitkan dengan berbagai macam lubang :-). Itu side story-nya :-). Nah Romo Kun bercerita bahwa waktu ia melayani di Paroki Cilandak, dari waktu ke waktu ada mahasiswa IAIN Ciputat yang "kuliah kerja" alias menghadiri Misa Kudus! Tentu setelah mendapat penjelasan dan persiapan secukupnya akan apa-apa yang bakal mereka saksikan di "ruang kelas". Inilah bagi saya yang lebih oke dibanding sungkan masuk atau terpaksa menghindar karena efek "strobe-light".

Makanya saya sedih bukan kepalang kalau yang namanya intelektuil Islam yang pendidikannya di "luar batang", calon pemimpin bangsa, pendapatnya banyak yang ngawur dan horison pandangannya sempit, bagaimana rakyat jelata pemeluk Islam? Makanya lagi, waktu teman saya, anak Mapala UI teman kempingan saya waktu masih di tanah air bertandang belum lama ini ke rumah dan ia bercerita (ia Batak keiristen tapi "asli" Betawi) bahwa anaknya ia pindahkan atau masukkan SMA-nya ke sekolah negeri, saya agak kaget. "Lho, gile juge lu?" "Iya Jus, itu perlu kite lakukan, kalu kite mau anak-anak kite tinggal di masarakat Indonesia, nyang elu tau sendiri mayoritas Islam, bagaimane bise kite engga suru begaul ame anak-anak Islam? Kalu die sekole kristen terus kan temen-temennye banyakan kristennye, mane die nanti apdol begaul di masarakat." "Hebat lu, emang elu engga malu-maluin ngaku jadi temen gue," demikian kata saya lagi :-). Memang ia yakin bahwa dasar iman anak remajanya ini sudah "lumayan" alias tidak akan dipengaruhi meski mendapat "dakwah" setiap harinya karena ia dan isterinya penganut kristen yang saleh. Juga mereka tidak canggung karena banyak saudara sepupu dan kakak adiknya yang beragama Islam. Sekali lagi pendidikan, 'is the name of the game'. Satu hal ingin saya tambahkan, meski anak-anak saya bersekolah di sekolah Katolik, sejak dari SD mereka sudah diajarkan toleransi antar agama termasuk melakukan kunjungan ke tempat-tempat ibadah, antara lain sinagoga. Saya masih ingat ini karena anak saya yang kecil, Toby, yang masih 'cute' waktu itu bercerita bahwa ia memakai yarmulka atau topi kecil yang ditaruh di atas kepala untuk orang yang mau memasuki sinagoga. Tidak heran ya Toronto terpilih sebagai kota nomor satu untuk ditinggali di dunia :-). Kalau saja banyak atau mayoritas pemeluk Islam seperti mahasiswa IAIN di atas, sekolah-sekolah seperti sekolah Katolik (yang umumnya bermutu dimana saja) atau ortu berprinsip seperti teman saya, saya sangat yakin tidak lama lagi semakin banyak bermunculan pemenang hadiah-hadiah di Indonesia baik Nobel, maupun kota yang terpilih apdol untuk dihuni manusia :-). Hanya sayangnya, semua ini masih bertarap lamunan :-), di kala saya bersepeda ke kantor, "menikmati" suhu yang sudah hampir 0 derajat dan memandangi pohon warna-warni yang sebentar lagi akan gugur. Menyimpang sedikit, kalau ada yang mau menyumbang P-Net 2-3-4 milyar Rp. saya bawakan ke Indonesia bukan saja 40 helai daun maple, tetapi pohonnya sekaligus dengan 40 ribu helai daun yang berwarna- warni :-). Ya, melamun memang masih gratis dan bebas kan? Tak peduli berapa tingkatpun "kadar OTB-nya" lamunan kita, pasti akan aman selama apa yang kita lamunkan tidak diketahui "tukang cekal". Sekian dulu sebelum ada yang bangun dari tidurnya :-). Salam dari Toronto.

Oktober '96

Home Next Previous