Hari Selasa lalu cuaca sungguh cerah dan ideal untuk bersepeda. Sekitar 10C di pagi hari dan 20C di sore hari pada saat saya mengayuh sepedaku pulang dari kantor. Badan cukup segar dan menjelang tanjakan jembatan Highway 401, saya merasa akan dengan mudah mendaki lintasan ini. Bila Anda masih ingat tayangan LB yang lalu, saya pernah bercerita bahwa tanjakan di jembatan itu, bagian terberat dari rute pulangku dengan panjang hampir 1 km, adalah batu ujian apakah saya masih segar-bugar atau sudah loyo. Tiba-tiba, pada saat saya sedang di awal tanjakan, terdengar dari jauh bunyi "uiiiiii, uiyo, uiyo, uiyo, uiyo, uiiiiii, uiyo uiyo uiyo uiyo, uiiiiiii." "Bunyi apa itu,?" kata sementara Anda.
Saya dan Cecilia suatu ketika ketamuan pasutri sahabat kami dari LA, Amrik, yang menginap beberapa malam. Kata si suami, "Wah, gue demen bener ame kote elu ini, ngga perne gue denger bunyi sirene sekali juga." Kata saya, "Gue ude bilangin ame oom polisi kalu lewat deket rume gue sirene dimatiin lantaran mau ketamuan elu." :-) Katanya lagi, "Di LA, siang malem pagi sore, bunyi sirene terus bekaok-kaok." Ya, itulah bunyi sirene mobil polisi yang melintasi saya dengan kecepatan lebih dari 100 km per jam sambil lampu di atas mobilnya berkelap-kelip. Sebetulnya biasa melihat mobil polisi lewat dengan sirene mengaung-ngaung seperti itu dan saya lalu meneruskan saja kayuhanku. Eh, pada saat saya mencapai puncak jembatan itu beberapa menit kemudian, mobil polisi itu saya lihat sudah minggir dan sang polisi keluar serta melihat dari atas jembatan ke bawah. Karena dahulu pernah menjadi "wartawan" Radio Angkatan Muda, saya tentu berhenti dan turun dari sepeda, lalu ikut melihat ke bawah. Masya malaikat! Mataku terpana melihat tubuh seorang perempuan terbujur di atas aspal jalan raya. Di mukanya berhenti suatu truk gandengan dan juga tidak jauh di sisinya ada truk sebesar alaihim lainnya. Bajunya terbuka dan terlihat bekas-bekas alat pemacu jantung (CPR) yang sudah dihentikan :-(. Saya tanya kepada orang di sisiku, "What happened?" "She jumped." "Oh my, she committed suicide," kataku. Orang itu mengangguk. Ya, jembatan itu setinggi dadaku alias lebih dari 1 meter. Tidak mungkin orang dapat jatuh karena misalnya sedang mabuk atau sempoyongan, tanpa sengaja meloncat ke bawah. Tidak lama kemudian, si perempuan malang yang masih cukup muda diangkat ke atas sosongan dan lalu ditutupi seluruh tubuhnya :-(. Saya meneruskan perjalananku.
Lamunan saya yang sedang mengharapkan dapat memecahkan rekor kecepatan rata- rata pulang kantor memang sudah terhenti sejak saya turun dari sepeda dan lalu beralih ke lamunan lainnya. Perempuan tadi adalah seorang, yang memakai istilah kami, 'coloured people'. Kata saya dalam hati, "Life is hard enough, but for coloured people it must be harder." Entah mengapa ia membunuh diri, pasti ada seribu satu kemungkinannya. Saya lalu menjadi teringat kepada orang- orang "berwarna kuning" di tanah air, terakhir di Banjarmasin, yang sering senasib dengan orang "berwarna hitam dan coklat" di kota ini. Dahulu, kedua anak kami banyak berteman dengan kelompok mereka. Namun demikian, sesekali mereka suka mengucapkan 'racist remark' ataupun menirukan aksen orang-orang itu. Saya hanya dapat berkata, "Remember, we moved to this country to avoid racism, how could you do such thing." Mudah-mudahan mereka selalu ingat, sebab saya dan Cecilia hanya dapat memberikan contoh-contoh soal. Ya, sebagai ortu kita hanya dapat berusaha agar lingkungan kita "buta warna" alias memperlakukan semua orang berwarna sebagai manusia yang setara. Tidak mudah untuk menjadi manusia tanpa praduga, apalagi kalau kita "buatan" Indonesia. Namun asalkan kita sadar, kita dapat selalu berusaha. Bila sesekali kita juga terjebak ke dalam perangkap rasialisme, semoga kita sendiri ingat bahwa warna kulit bukan- lah pilihan manusia, tetapi bersikap itulah suatu pilihan. Salam dari Toronto kepada manusia aneka warna di Net ini. Have a nice week-end everybody.