Karena banyaknya pohon-pohon bunga di kota ini, setiap saya bersepeda saat- saat ini, bau harum bunga tanjung, melati, mawar, kemboja, cempaka, dst :-) (maklum ilmu tumbuh-tumbuhan ijazah melayu) semerbak mewangi dan memuaskan indera penciumanku. Kalau sedang seperti itu, saya suka kasihan kepada para pengendara mobil, apalagi yang kacanya tertutup semua sebab mereka tak mungkin dapat menikmati apa yang saya nikmati. Tetapi hari Selasa lalu, mungkin para pengemudi mobil yang giliran kasihan kepada saya. Gini ceritanya.
Saya memang sedang melamun pada saat itu. Kog di tanjakan yang pertama sudah terasa berat kayuhan sepedaku? Oh, engga salah lagi deh, karena saya membawa bekal cukup berat berupa spaghetti lengkap dengan sausnya hasil karya Cecilia. Memang hari Selasa adalah hari 'biathlon' saya alias selain naik sepeda ke kantor di siang hari, malamnya saya berenang bersama nyonya. Jadi supaya otot tahan maka saya dibekali makanan berkarbohidrat tinggi. Kalau tidak ingat itu, mungkin sudah saya buang spaghettinya :-). Lalu saya jadi teringat ketika pertama kali saya mendaki Gunung Pangrango. Ransel atau beban di punggung rasanya seperti titipan dedemit saja. Kalau tidak kwatir kedinginan dan kelaparan, tentu sudah saya tinggalkan ransel itu di jalanan. Ya, memang kalau sedang menghadapi aral atau "tanjakan", rasanya beban hidup ini mau kita lemparkan saja, padahal kita tahu bahwa sebetulnya "beban" itu akan bermanfaat untuk kita. Eh, sedang asyik melamun seperti itu, tiba-tiba, tesss ... tesss ... tesss. Tidak salah lagi, dewa-dewi di langit sedang membuang amonianya, kata Ira :-). Betul, hujan mulai turun dan lekas-lekas saya masuk ke pondokan di halte bis setelah turun dari sepeda. Spaghetti sih aman karena ada di dalam kotak plastik, namun sedikit surat-surat yang ada di ransel itu, saya bungkus ke dalam kantong plastik. Lalu saya berpikir beberapa detik, apakah saya menunggu hujan di halte, atau terus saja. Baru setengah jalan soalnya. Ah, nekad lah. Waaah, tidak berapa lama, hujan lebat betul-betul turun dan saya menjadi basah kuyup, termasuk baju kausku berwarna turquoise bertuliskan University of ..., hadiah salah seorang penggemar tayanganku :-).
Lho, kenapa nasib jadi seperti ini, padahal mestinya ramalan cuaca oke untuk hari Selasa itu? Ngga salah lagi, kwalat :-). Kenapa? Lah hari Seninnya saya baru saja complain kog ke Lab Director-ku. Saya katakan, shower room yang cuma ada 2, kurang sekali sehingga kalau pagi, kami para pengemudi sepeda mesti antri untuk mandi. Tolong ditambah dong. Nah, rupanya 'whining' saya itu didengar para dewa-dewi sehingga keesokan harinya, langsung saya diberikan shower alam yang luar biasa, tinggal pakai sabun memang dan pasti bersih deh. Tuh Bung Lukas manggut-manggut, "Emang kalu elu kebanyakan 'whining' jus, nasib elu bakalan jelek :-)." Akur Bung, aye lupe :-). Melenceng dikit Bung, kog kumpul-kumpulan non-kebo di darat ntu, bole ajak ortu sih? :-). Ngga aci dong, nanti mane ade nyang berani kaje si Awi mewek? :-). Sampai dimana lamunan tadi itu? Wah, jadi lupa deh, gara-gara si Awi :-). Gitu dulu ah, salam lekom kepada semua calon peserta Turat, ngga peduli ortu atau bukan.