Musim panas baru dimulai sekitar seminggu lalu tetapi bersepeda di Toronto hari-hari ini seperti mengayuh di dalam panggangan :-). Untung saya "lulusan" trayek sepeda rumahku-Cilincing p.p., sehingga panas itu masih tertahankan buatku. Jadi tidak heran saya dan Cecilia mulai bertemu dengan perempuan tidak berbaju di dalam trayek kami bersepeda. Kalau Anda masih ingat tayangan LSPerenang saya, saya pernah memberitahukan bahwa berbuka baju alias telanjang dada sudah tidak lagi illegal di propinsi Ontario, baik bagi laki-laki maupun bagi perempuan. Kata hakim di pengadilan tinggi, "We do not legalise morality anymore." Nah, sekarang ini malah jadi ramai karena sekelompok perempuan sedang melakukan lobbying agar keputusan pengadilan itu dianggap tidak pernah ada alias di-annulment-kan :-). Dalih mereka, "It's downgrading and immoral."
Tanya saya ke Cecilia, "What do you think Yang, melihat perempuan tidak berbaju itu?" "Lama-lama juga biasa," katanya. Ya, saya setuju. Lalu saya jadi melamun ke akhir tahun 60-an waktu saya masih mahasiswa dan kempingan ke Bali. Masih sedikit turis yang melanda Pantai Sanur maupun Pantai Kuta waktu kami kemping di kedua pantai itu, apalagi turis lokal. Turis luar negeri menginap di rumah-rumah penduduk di sekitar pantai. Suatu ketika kami jalan-jalan ke Denpasar dan bertemu dengan seorang perempuan Bali tidak berbaju. Dari jauh memang sudah saya lihat dan waktu saya mendekatinya, dengan kesal ('disgusted' bahasa Inggrisnya) ia menutupi BD-nya. Saya lalu melihat ke sekelilingku dan ternyata temanku yang tidak terpuji, sedang ketawa cekikikan. Pantes. Hal itu tak akan dapat saya lupakan.
Bagi saya yang bernama moralitas bukan ditentukan apakah ada wanita berbuka baju ('bare breast', istilah kami disini) tetapi oleh yang melihatnya. Lalu kata satu dua warga Net ini, "Tapi Mas, kalau si Suan (SUsu kelihatAN) tidak membuka bajunya di depan umum seperti itu, ogut kan engga "kelenger" dan jatuh dalam dosa. Jadi memang si Suan yang tidak bermoral." Good excuse. Dalih Adam (yang menyalahkan Hawa) tidak laku tuh :-). It is YOUR choice how you behave when you see a bare breast woman. Masih belum puas ada lagi yang berkata, "Tapi Mas, BD itu kan bukan kuping, telinga, hidung, mata, rambut, yang innocent." Lha, yang innocent kamu atau anggota tubuh manusia? Kalau kamu melihat rambut lalu jatuh dalam dosa juga, apakah kamu akan meminta hakim untuk melarang rambut dipertontonkan di depan umum?
Sekalian menulis, sekarang kita beralih ke lamunan lain. Waktu saya sedang bersepeda tadi, tiba-tiba, saya melihat seekor kucing tergeletak di pinggir jalan dan isi perutnya sudah amburadul :-(. Beberapa detik saya berpikir. Apakah saya stop dan mengambil sang kucing lalu membuangnya? Ah, nanti yang empunya tak tahu dong bahwa kucing kesayangannya sudah mati tertabrak (kucing tidak memakai tag atau pening di kota ini, lain dengan anjing). Bagaimana mengambilnya? Oh ya, aku kan bawa kantong plastik. Ngga geli apa dengan segala isi perut itu? Ah, ambil gundu kecemplung dengan tangan di got kota Betawi kog aku ngga geli, masakan bangkai kucing geli. Wah, sudah jauh deh, malas balik, biarkan saja kucing itu disitu. Begitulah keputusan hati nurani saya tadi. Lalu saya jadi teringat cerita teman-temanku maupun rasanya pernah ada yang menayangkannya di Net ini. Dari waktu ke waktu, kita sering dihadapi dengan keputusan hati nurani beberapa detik. Misalnya memberi sedekah kepada pengemis, menolong orang kecelakaan di jalan, membantu orang yang sedang kemalangan. Terkadang banyak waktu untuk berpikir, termasuk menuliskan tayangan dan meminta pendapat rakyat P-Net ini, apakah baik untuk membantu imam yang sudah menikah :-). (Jawabku: go ahead, jangan minta pendapat atau konperensi dulu!) Terkadang, keputusan harus diambil dalam beberapa detik. Saya lalu mengenang tante saya almarhum, yang setiap melihat pengemis, pasti memberikan sedekah. Jawabnya selalu, "Kasihan." Saya sendiri, hanya kadang-kadang, kalau sedang tergerak "roh ngga begitu kudus" :-). Dalih saya, 'it is an enabling behaviour', karena diberikan sedekah, si pengemis tidak mempunyai motivasi untuk mencari atau melakukan pekerjaan lain. Dalih lainnya, saya lebih suka memberikan sedekah lewat "jalur resmi" atau "sesuai dengan prosedur" :-). Tentu Anda dapat menambahkan dalih-dalih lainnya. Namun karena akan selalu ada orang seperti tante saya, maka akan selalu ada pengemis. Kemungkinan saya merubah pendapatku atau suara hatiku adalah bila katakan 40 warga Net ini ramai-ramai memberikan pendapatnya mengapa mereka selalu memberikan sedekah dan lalu menyentuh hati saya sebagian pendapat atau prinsip mereka itu. Kalau sampai begini, mungkin saya akan lebih dari beberapa detik memikirnya, semenit dua deh :-) dan kalau memang saya melihat Roh Kudus sungguh berkarya di hati yang bersangkutan, mungkin saya juga akan ikutan selalu memberikan sedekah. Sampai lamunan berikutnya, salam dari Toronto yang sedang puanas sekali.