Lamunan Bersepeda XXVII

Hari ini, 15 Agustus 1997 di Toronto, hari perayaan Santa Perawan Maria diangkat ke surga, masih merupakan hari cuti bagi saya. Direktris PT Tempe mempunyai tugas mengantarkan pesanan tempe pagi-pagi, seusai Misa Kudus. Jadi saya lalu menemaninya bersepeda mengantar sang pesanan. Ya, mungkin tidak ada di dunia ini pesanan tempe diantar pasutri bersepeda :-). Saya jadi teringat pada saat mengayuh tadi. Sekitar 2 tahun lalu, seorang teman yang juga di Net, mengirimkan email berisi pesanan tempe kepada Cecilia. Saya katakan, "Wah, aku yakin ini pesanan tempe pertama di dunia lewat Internet." Soalnya mana ada bakul tempe dimanapun juga yang punya akses ke Internet :-). Ngga tahu sekarang, mungkin sudah ada bakul gudheg Yogya yang dimodali Pras untuk langganan ISP :-).

Saya lalu jadi teringat kembali kepada pertanyaan "sewot-sewot" ('so-what so-what' :-)) dari Ira kemarin sehubungan dengan tayangan top hit pekan ini, kreasi Bung Aloy, Menara Jakarta. Jawab saya ke Ira, kalau nanti Menara Jakarta dengan antena super-duper sudah jadi dan saya berkunjung ke Betawi, kemungkinan besar saya akan naik. So that I can say, I have been there, to see the cloud (of smog) from Menara Jakarta, whose simulation program was written by my cyber-friend Jos Tetuko :-). Saya yakin setiap orang akan mempunyai jawaban atas "sewotnya" Ira :-), apalagi orang Indonesia yang bangga akan serba ter-nya negeri tercinta :-).

Kembali ke lamunan sambil mengayuh, karena sepinya trail bersepeda sehabis kami mengantar tempe tadi, saya dan Cecilia dapat berdampingan bersepedanya. Katanya, "Hmm, udara ngga wangi lagi kaya waktu musim semi yah?" "Hmm, bener, bau apaan sih nih?" "Bau gituannya anjing," katanya yang penciumannnya memang tidak kalah dari pemilik gituan itu :-). "Kalau musim rontok, bau apek, pokoknya tiap musim lain-lain baunya," kata Cecilia lagi. Yah, memang orang yang mempunyai anjing sering menjalankannya sepanjang trail dan meski ada peraturan untuk 'poop and scoop', namun karena tidak ada polisi yang menangkap majikan para "pooper" ini, yah begitulah, udara menjadi "harum gituan".

Hidup di negeri 4 musim memang bervariasi, tidak membosankan. Kalau udara terus wangi, jelas kita tidak akan menghargainya lagi, 'take things for granted' gitu. Kalau udara terus "bau gituan", jelas kita akan empet-pet-pet dan lalu mengambil keputusan, terus tabah dan "mati-matian" tinggal di udara seperti itu, dengan kemungkinan besar, lama-lama kita menjadi terbiasa. (Lihat tayangan saya 'Renungan Tahu dan Tempe' di hompejku yang menceritakan menjadi biasanya orang yang tinggal di sebelah pabrik tahu untuk tidak mencium baunya.) Pilihan satunya lagi adalah, pindah dari "udara berbau gituan". Nah, kalau Anda termasuk yang terakhir dan tinggal di luar batang, jangan merasa "gerah" meskipun Mas Jos secara tidak sadar mungkin, sudah berusaha melakukan apa yang namanya 'instilling guilt feeling' waktu ia menganjurkan mereka yang bersekolah di luar negeri untuk kembali ke tanah air :-). Salam dari Toronto.

Home Next Previous