Satu kilo satu ons, The HTML Sourcebook by Ian Graham; 350 gram, The Pursuit of WOW! by Tom Peters; satu kg, baju dan jacket dan singlet plus celana kancut :-). Ditambah tektek bengek lainnya, total tas ransel yang saya gendong tadi sepulang dari kantor sekitar 3 kg lebih. Sambil mengenjot sepeda sambil saya berpikir, apakah saya siap mendaki jembatan Highway 401 dengan beban cukup berat itu atau mengambil jalan-jalan lainnya. Di persimpangan Don Mills Rd. dengan Lawrence Ave., saya mengambil keputusan untuk belok ke kanan atau ke arah timur, menghindari jembatan 401. Anda yang pernah membaca tayangan kisah pendakian G. Pangrango saya mungkin ingat bahwa meski pendakian cukup terjal tetapi bila kita mendaki tidak berbeban, sama dengan "lenggang kangkung". Nah, di dalam keinginan ber"lenggang-kayuh" saya jadinya melewati jalan-jalan yang belum pernah saya lewati selama route bersepeda kali ini.
Ternyata route ke arah timur sepanjang Lawrence Ave. tidak semudah perkiraan saya. Turun naik tidak karu-karuan. Mana ada satu lagi jembatan melintasi Don Valley Parkway, suatu highway dari utara ke selatan di kota ini, yang harus saya lewati. Setelah lega rasanya selesai mendaki jembatan itu, masya- malaikat, ada tanjakan yang cukup terjal lagi sebelum bertemu Victoria Park Ave., suatu jalanan yang saya imingi-imingi untuk dipakai pulang ke rumah. Karena pernah beberapa kali bersepeda melintasi jembatan 401 di Victoria Park, saya tahu bahwa tanjakan disitu enteng. Tetapi ternyata, untuk mencapainya, saya harus berjuang juga dan beberapa kali harus mengambil jalan pintas di beberapa percabangan. Saya menjadi teringat kepada Natali dengan "jalan bercabang" yang sedang dihadapinya. Setiap kali saya mengambil keputusan mengambil salah satu cabang, di dalam hati saya berkata, semoga aku tidak nyasar, dengan beban cukup berat ini. Untunglah saya tidak sampai harus kembali lagi ataupun kesasar, meskipun lupa berdoa :-).
Nah, beberapa hari lagi, ada warga Net ini yang ingin menyusul jejak Justine anak Tasik, yakni melihat dengan mata kepalanya sendiri, apakah segala cerita saya mengenai kehebatan Toronto, bohong belaka atau sungguhan :-). Kali ini ia sengaja datang dari kota kelahiranku, Betawi tersay. Mengetahui bahwa sepeda anak kami sudah tidak ketolongan "bangpaknya" (=jelek, istilah dialek dari dialek Betawi) maka iseng saya lalu mampir di suatu toko sepeda tidak jauh dari rumah. "Do you have a good secondhand mountain bike?," kata saya ke si pemilik toko. "Yes," katanya sambil mengambilkan sebuah sepeda bermerk (Niyata) buatan Jepun. Saya amati dan saya angkat sepeda itu, enteng sekali, setengah berat sepeda murahan saya :-). "How much is this bike?," tanya saya lagi. "Four hundred dollars, I will put new tires and new rims. This Shimano gear is a new design and we just put it." "Why did the previous owner sell it?" "Oh, he moved to the country." "Can I test ride it?" "Wait a minute, I will ask my mechanic to check it." Lalu montir di toko sepeda itu memeriksa dulu apakah sepedanya dalam keadaan siap untuk ditest. Ia memberikan okenya. "Can I put my backpack here and my bike over there?," kata saya lagi. "Do you have a driving license?" "What? Oh, you don't trust me." "No, not that I don't trust you." "Don't bother then, I do not carry my driving license." Dalam hati saya, 'it's a matter of principle', meskipun saya membawa rebewes, saya tidak akan jadi untuk mencoba sepedanya karena sudah tidak ada lagi hubungan kepercayaan di antara si pemilik toko, penjual, dan saya calon pembelinya :-(. Sebetulnya lagi, saya langganan di toko itu. Celana yang saya pakai bertuliskan nama tokonya, B... (Cycle).
Ya, itulah pengalaman sedikit mengecewakan saya sore tadi. Entah mengapa si pemilik toko yang kebetulan orang Asia juga, tidak percaya dan curiga saya mungkin melarikan atau mencuri sepeda 400$ itu. Apakah ia pernah ditipu, apakah ia seorang yang tidak percaya lagi kepada manusia, tak tahulah daku. Lalu sambil meneruskan sisa perjalanan, saya melamun. Kalau saya pemilik toko sepeda dan berada di dalam situasi itu, apakah keputusan saya? Apakah saya juga akan meminta rebewes, "KTP" kalau disini, sebagai jaminan bahwa orang tidak akan lari? Rasanya tidak. Untuk apa menjadi pedagang kalau serba tidak percaya seperti itu. Bukankah berdagang harus mengambil risiko. Ataukah memang saya tidak berbakat menjadi pedagang yang sesungguhnya sebab keputusan si engkoh Kroya adalah suatu yang lumrah di dunia dagang. Entahlah, lamunanku terputus sebab halaman rumahku sudah terlihat :-). Salam dari Toronto.