Lamunan Bersepeda XXXIV

Hari libur 'Labour Day' di seluruh Amrik dan Kanada dan si buruh satu ini ikutan libur. Seperti saya katakan, karena ada pesta pernikahan dimana aku dan si Mote duduk semeja :-) maka saya dan Cecilia "terpaksa" tidak kemping. Anda masih ingat tayangan 'LSProgrammer' saya yang terakhir? Kalau sudah lupa karena sibuk membaca tayangan forward :-), disitu saya dongengkan a.l. betapa beberapa kolegaku emotsi :-). Apa yang banyak dikeluhkan orang? Bahwa kamarnya tidak berjendela! Macam-macam komentar mereka yang kamarnya tidak berjendela dan merasa pengap. Meski kamar saya juga tidak berjendela, saya hanya menyimak saja. Saya tidak sangka bahwa kamar yang berjendela sangat didamba-dambakan manusia programmer. Memang saya pernah "mempunyainya". Namun waktu saya dipindahkan ke kamar tidak berjendela, saya biasa-biasa saja dan tidak protes. Lalu saya melamun, jangan-jangan aku gila kemping, sejak masih dari di tanah melayu karena kebutuhan satu ini. Ya, kebutuhan untuk berada di ruangan "berjendela" istimewa dan tidak merasa pengap karena menghirup udara segar.

Sambil bersepeda di suatu trail baru, 'where no Indonesian has boldly gone before' :-) (lama-lama kalimat ini dipatentkan oleh Theo) saya lalu melamun mengaitkan kebutuhan manusia yang terkadang tidak disadarinya. Itulah sebabnya saya senang bersepeda rupanya, karena kamarku di kantor tidak berjendela! Lalu saya teringat kepada Probo yang sedang ikutan era apologetica dan tadi pagi saya baca tayangan permintaan maafnya kepada almarhum Princess Diana. Saya tidak pernah membeli koran kuning atau sensasi modelnya National Enquirer di Amrik, Toronto Sun di kota ini. Sekali-sekali, kalau saya ikut ngantri bersama Cecilia belanja di supermarket, saya memang melirik koran sensasi itu untuk melihat apa judulnya. Itu saja. Ayah saya lain. Waktu saya masih kecil, ia berlangganan koran sensasi jaman th 50-an di Betawi, Berita Minggu. Dari Berita Minggu, hanya satu yang saya baca, tulisannya si Firman Muntaco, anak Betawi tetangganya wan Nawi dari Tanah Abang. Tulisannya kocak-kocak dan lucu belaka, tentu ditulis dalam bahasa Betawi, tetapi bukan gosipan mengenai keluarga istana yang mendapat bintang Mahaputeri dan ada main. Di jaman Harmoko, ayah saya berlangganan Pos Kota dan kalau saya jalan-jalan ke tanah air, terkadang saya suka ikut membacanya. Kembali bukan suatu kebutuhan, tetapi hanya ingin tahu sudah berapa nekadnya koran sensasi itu.

Nah, media massa saat-saat ini sedang ramai memberitakan segala macam hal mengenai meninggalnya Princess Diana termasuk ucapan saling salah-menyalahkan umat manusia. Saya hanya melamun, mengapa ayahku almarhum, dan ratusan juta manusia lainnya, mempunyai kebutuhan untuk membaca koran sensasi? Apakah ini sisa-sisa naluri homosapiens waktu masih tinggal di gua dan "haus darah"? Apakah ini sama dengan orang-orang yang senang menonton adu manusia bernama boksen alias tinju, senang menonton film-film sadis atau istilah kerennya 'action movies'? Entahlah. Sepertinya, it's a long way to Tipperary, it's a long way to go, sebelum manusia tidak lagi memiliki kebutuhan yang dapat membahayakan jiwa manusia lainnya. Selamat melamun, salam dari Toronto.

Home Next Previous