Lamunan Bersepeda LX

Saya tidak mengada-ada kalau saya berkata bahwa hari ini, sedikitnya 10 orang temanku di kantor menegurku mengenai berita utama dunia, 'turunnya tuan suharto' di hari raya kenaikan Tuhan kita kemarin. Dari yang mulai bertemu di lorong, di WC :-), yang datang ke kamar kantor saya sampai yang menelepon mengira ia menyampaikan kabar gembira. "This is nothing," kataku, "It is only a small beginning, but a good one." Namun, sungguh tidak memalukan para kolegaku itu. Ada yang berkata, "Isn't he just a puppet?", mengomentari numero duo yang sekarang mendadak tercapai ambisinya. "I don't think situation will be better because the Indonesian do not like him too, right?", kata yang lainnya. Memang semua koran dan TV dunia pasti memuat berita mengenai si prabu yang, semoga, masuk kotak untuk seterusnya. Semua setuju bahwa adalah tolol goblog blo'on kalau mahasiswa berhenti berdemo. Manusia "gendut-gendut" yang sudah mengenyam kenikmatan, tidak mungkin mau menyerah demikian saja.

Lalu lamunanku beralih ke diriku sendiri. Masih ingat di tayangan ke 55 yang lalu ketika mataku melotot melihat jarum timbangan menunjukkan 156 pound? Entah sudah berapa ratus km saya melamun di sepeda alias berolahraga terus sejak itu, namum perut yang buncit karena berhenti bersepeda selama musim dingin, rasanya belum kempes-kempes juga. Sukar sekali menurunkan berat tubuh kalau sudah kegemukan, sama seperti sukarnya menurunkan suharto. Suatu selebaran yang ditempel orang di tiang lampu jalanan kubaca. Lose weight 30 lbs in 30 days starting from $ 30. Akalan macam apa lagi ini, kataku dalam hati. Nah, Bang Jeha yang berolahraga segala macam, boro-boro 30 pound, 3 pound lemak saja sukar untuk dibuang. Program seperti ini kemungkinan bisa beberapa macam. Pertama, menjadi kurus karena ongkosnya $ 30 per hari alias hati menjadi susah karena kantong dikuras dan lalu menjadi segan makan. Kedua, dimasukkan ke dalam kerangkeng, dikejar-kejar Kopassus :-) dan kalau tertangkap alamat nasib seperti mahasiswa Trisakti. Ketiga, selama sebulan hanya diberi nasi satu bungkus tok dengan lauk tempe dan tahu secuil.

Memang hesbats para mahasiswa angkatan tahun '98 ini. Tidak kalah beraninya dengan angkatanku :-), apalagi Bang Jeha yang takut mati, kata Mas Gendeng. Seperti Mbak Ira yang terharu membaca suharto aut, saya terharu juga, tetapi membaca mereka tidak punya WC :-). Soalnya hobiku sama dengan Mbak Ira, senang sekali ser-seran. Pernah kutayangkan ceritanya, yakni sejak sembuh dari mau amblas terkena malaria kedua kalinya dan lalu digilir dimandikan suster Carolus :-). Seriusan, tidak makan berhari-hari bisa ditahan, tetapi tidak membuang gituan sukar ditahannya, apalagi mendapat nasi bungkus dari Romo Sandy dkk :-) yang bikinnya pakai celana :-). Saya lalu teringat lagi kepada pengalamanku jaman demo. Modal utama kalau tidak ada WC, sarung! Memang sarung besar sekali manfaatnya. Bukan saja ia mampu menutupi seluruh tubuh kita dari gigitan nyamuk (ada tekniknya sedikit agar meski seluruh tubuh dibungkus sarung, kita masih dapat bernapas), ia juga dapat dipakai sebagai "WC". Modalnya hanyalah kemampuan untuk jongkok dan tersedia cukup banyak kertas koran. Kalau bisa kertas koran terbitan kaum penjilat. Anak- anakku pasti tidak bisa menunaikan panggilan alam cara demikian. Saya lalu jadi teringat lagi di dalam lamunan, ke airport di Changi, Singapore. Ada 2 pilihan buat para tetamu, WC a la Kanada/Amrik atau gaya jongkok. Bang Jeha tentu langsung memilih yang terakhir, maklum anak didikan kampung Betawi :-).

Sampai dimana lamunan? Ya, perutku yang masih buncit. Saya sedang membaca dongengannya Scott Peck alias novel berjudul 'In Heaven As On Earth'. Bila Anda termasuk penggemar 'The Road Less Traveled', si Scott mendongeng tentang kehidupan di negeri abadi alias tanah kahyangan. Konon, tokoh utama bernama Daniel, suatu ketika berjumpa dengan seorang terokmok bernama Letitia. Daniel memperkirakan si Tish, nama lain Letitia, beratnya 300 pound padahal tinggi- nya hanya sekitar 5 feet. Ia sungguh heran, kog di kahyangan ada orang yang tetap gemuk. Menurut Injil (tanya ayatnya ke Mo Lex yang mendadak jadi rajin sekhalei mengirimkan tayangan :-)), mereka yang sudah meninggal, akan menjadi cantik rupawan. Yang awewek akan seperti peragawati meski dulunya terokmok, yang cowok seperti binaragawan meski semasa hidupnya perutnya sebesar gentong. "Kog bisa (tetap) begini kau?," tanya si Daniel. "Yah, karena aku masih merasa diriku jelek, sehingga yang kau lihat adalah hasil proyeksinya, berupa tubuhku yang sama gendutnya seperti waktu di dunia," jawab Letitia. Daniel lalu mengambil kesimpulan inilah yang bernama api pencucian, ketika yang sudah meninggalkan dunia, ke mayapada, tetap menganut pandangan yang serupa dan tidak mau mengubah dirinya.

Jalanan mendaki di jembatan 401 terasa berat sekali. Bukan saja karena tubuh sudah lelah dan otak dipakai menjelaskan keadaan tanah melayu kepada para sahabatku di kantor, tetapi karena angin utara yang dingin menghembus dengan kecepatan 40 km per jam. Untung otot-ototku sudah lumejen, dibandingkan otot yang tidak pernah melamun bersepeda, pasti lebih terlatih. Hanyalah satu harapanku, agar mahasiswa tidak langsung mundur bila terkena hembusan angin di saat-saat ini. Semangat untuk segera pulang ke rumah, tidak mengendorkan enjotanku, hanya kupindahkan persneling ke gigi yang paling ringan. Semoga mahasiswa dan demonstran lainnya juga mahir memindahkan persneling mereka. Selamat berjuang angkatan '98, semoga Anda tidak pernah mencontoh sebagian dari angkatan '66-ku yang sungguh memalukan bangsa ulahnya. Salam dari TO.

Home Next Previous